11 - 7 : WE ARE FAMILY

124 12 1
                                    

“Hoah,” Penata Yoo berkuap dengan ada hitam-hitam di bawah matanya pada semalam tidur pulas. Dia terbangun karena harus membukakan pintu untuk Wadir Lee.

“Heh, kenapa matamu lelah begitu?” tanya Wadir Lee, curiga.

“Pak Wadir,” Penata Yoo curhat, “sepertinya saya gak cocok sama rumah ini. Semalaman saya gak bisa bergerak, seluruh tubuh gemetar menggigil, dan pegal-pegal di—”

“Aiy, terserah! Munyeong di mana?”

“Ruang baca.” Penata Yoo sebal sekali pada Wadir Lee.

Sambil menari-nari, Wadir Lee pergi menuju ruang baca, dan langsung bisa melihat Munyeong sedang mengetik-ngetik sesuatu di notebook-nya.

“Ouw! Penulis Go yang sedang duduk di depan notebook-nya! Lama tak berjumpa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Ouw! Penulis Go yang sedang duduk di depan notebook-nya! Lama tak berjumpa. Kali ini ide apa yang akan kauangkat? Uh, semalaman aku tak bisa tidur karena bahagia. Hahahah. Ah, tapi idemu itu pasti luar biasa. Iya, kan? Sebentar. Sebentar? Aku siap-siap dulu. Huh. Sudah. Katakan. Apa?” Wadir Lee sangat tidak sabar untuk mendengar ide cerita Munyeong kali ini, sampai gugup dan sebagainya.

“Ini, lihat.” Munyeong menyerahkan ringsekan gambar Mobil Terbang Sangtae pada Wadir Lee, untuk dilihat.

“Ini sih, mm,” Wadir Lee menebak-nebak dengan tidak yakin, “ceritanya tentang anak-anak yang mengendarai boom-boom car?”

“Ceritanya masih dalam proses.” Munyeong sibuk mengetik.

“Judulnya?” tanya Wadir Lee.

“Belum,” jawab Munyeong.

“Amanatnya?”

“Belum.”

“Target selesainya?”

“Suatu hari nanti?”

“Huhuhuhaha! Haha!” Wadir Lee frustrasi sekali, “Kesimpulannya kau belum ngapa-ngapain dong, kalau begitu. Huh?”

“Mungkin?”

“Terus siapa yang akan menggambar ilustrasinya?”

“Partner-ku.” Munyeong yakin untuk yang satu itu, sementara partner yang dimaksudnya itu masih berada dalam kebimbangan untuk mengambil keputusan. Uangnya jelas-jelas tidak cukup untuk membayar denda tiga kali lipat yang menjadi enam kali lipat itu. Haruskah Sangtae menghabiskan semua uangnya itu?

Sangtae menelepon Kangtae untuk bertanya, tak ada pilihan lain. Tapi, karena sibuk, Kangtae tidak sempat menjawab telepon kakaknya itu dan baru bisa beristirahat lama setelahnya di bangku dekat pantai. Sangtae meneleponnya lagi saat itu.

Kangtae menjawab, “Ada—”

“Sudah makan?!” Sangtae menodong, dan Kangtae terdiam seketika karena ini tidak biasanya.

“Sudah makan?” Sangtae mengulang.

“Oh. Belum. Tadi ada keadaan darurat,” jawab Kangtae, lapar tapi bahagia.

PSYCHO BUT IT'S OKAYWhere stories live. Discover now