13 - 7 : KEPAKAN BESAR SEEKOR KUPU-KUPU

110 13 12
                                    

Juri, Jaesu, Wadir Lee dan Penata Yoo turut berduka cita atas kematian ayahnya Munyeong, tapi mereka hanya bisa berkumpul di ruang tengah rumah Ibu Kang dengan pakaian hitam tanpa pergi ke pemakaman atau ke rumah Munyeong di tengah hutan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Juri, Jaesu, Wadir Lee dan Penata Yoo turut berduka cita atas kematian ayahnya Munyeong, tapi mereka hanya bisa berkumpul di ruang tengah rumah Ibu Kang dengan pakaian hitam tanpa pergi ke pemakaman atau ke rumah Munyeong di tengah hutan. Jujur, mereka tidak begitu berani menunjukkan bela sungkawanya langsung di depan Munyeong.

“Setidaknya,” Jaesu mencoba mencairkan suasana, “kan beliau punya penyakit serius, tapi bisa bertahan sangat lama. Bukankah itu keajaiban?”

“Keajaiban macam apa, begitu?” Ibu Kang datang membawa makanan, “Yang namanya kematian, apa pun penyebabnya, tetap saja menyedihkan,” dan duduk bersama keempat anak muda ini.

“Tapi, setidaknya Munyeong punya dua bersaudara itu yang bisa menemani,” pikir Wadir Lee, positif.

“Ah, suasana rumah sakit pasti akan sangat suram beberapa hari ke depan,” pikir Ibu Kang, lelah.

“Yah, walau bagaimanapun, Pak Go Daehwan itu adalah pasien terlama di sana. Semua orang pasti merasa sangat kehilangan.” Juri menambahkan.

Ada telepon masuk ke ponsel Ibu Kang.

“Ya, Kangtae? Oh. Iya, ke sini saja.” Ibu Kang selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk siapa pun, termasuk untuk Kangtae yang datang hanya untuk meminta telur puyuh kecap buatannya.

Ibu Kang segera membungkuskannya ketika Kangtae datang—sementara Kangtae menunggu dengan perasaan tidak enak karena telah begitu merepotkan, dan, Ibu Kang berkata, “Mungkin ucapanku ini tidak cocok untuk dikatakan di saat seperti ini, tapi rasanya … kau seperti anak gadis yang pulang ke rumah orang tua demi memberi makan suaminya yang menyebalkan.” Kangtae pun sedikit terhibur berkat ucapannya itu.

“Kau sendiri? Baik-baik saja?” tanya Ibu Kang, kemudian.

“Saya?” Kangtae agak heran.

“Ya. Anehnya,” Ibu Kang merapikan bungkusannya, “aku selalu ingin bertanya keadaanmu kalau bertemu denganmu.”

“Saya baik-baik saja,” jawab Kangtae, menguatkan diri, “pasti akan baik-baik saja. Saya bahkan merasa tidak enak pada ibu saya karena berusaha bahagia sendiri begini.”

“Omong kosong macam apa itu?” Ibu Kang memarahi, “Anak yang mengorbankan kebahagiannya sendiri demi orang tua adalah anak yang tidak berbakti. Jangan berpikir macam-macam, berbahagialah terus sesukamu mulai sekarang. Itu baru anak yang berbakti. Nah, ambil.”

“Terima kasih. Terima kasih banyak.” Kangtae mengambil bungkusan besar yang Ibu Kang berikan padanya, dan sangat bersyukur.

” Kangtae mengambil bungkusan besar yang Ibu Kang berikan padanya, dan sangat bersyukur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
PSYCHO BUT IT'S OKAYWhere stories live. Discover now