12 - 1 : BAGAIKAN PERMEN KAPAS

99 8 0
                                    

Leher Ibu Dooly, boneka Sangtae, menjulang dari lantai hingga cukup jauh melewati ranjang pemiliknya, seolah sedang mengamati seseorang lain di ranjang lain yang masih tidur pulas selagi pagi mulai menghangat di luar sana

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Leher Ibu Dooly, boneka Sangtae, menjulang dari lantai hingga cukup jauh melewati ranjang pemiliknya, seolah sedang mengamati seseorang lain di ranjang lain yang masih tidur pulas selagi pagi mulai menghangat di luar sana. Orang itu adalah Kangtae.
Dia menggeliat dan kemudian bangun sambil peregangan rahang. Menyadari pagi sudah lama datang, Kangtae pun buru-buru turun ke dapur untuk menyiapkan makanan. Tapi, ruang tengah saja nampak sudah selesai dibersihkan dan di dapur … ada gosongan roti-roti yang tak tertolong. Sepertinya ‘orang-orang yang bukan dirinya’ di rumah ini telah mencoba memasak sendiri dan begitulah hasilnya.

Memasuki ruang makan, terlihat suatu kesibukan mengapit piring-piring roti dan telur ceplok gosong. Munyeong mengunyah roti sambil mengetik dan Sangtae menggarpu bagian tengah roti yang tidak gosong di samping sketchbook-nya. Wahah, Kangtae agak bingung melihatnya.

“Eh? Mau roti bakar? Aku bisa kok bikinin. Topping-nya mau pakai apa?” Munyeong sambil mengunyah dan sibuk sekali. Kangtae pun menolak, karena tidak mau merepotkan dan … tidak ‘berminat’ pada roti bakar yang gosong-gosong itu. Tapi, meski begitu, Munyeong tetap membuat roti untuk dimakan Kangtae dengan saus tomat di atasnya—dengan sedikit cemberut.

“Waktu Partner bikin roti, aku memcuci, bersih-bersih, sampai sakit pinggang, tapi kau enak-enakan tidur.” Sangtae bercerocos, dan Kangtae jadi merasa tidak enak karenanya.

“Kenapa aku tidak dibangunkan?” kata Kangtae.

“Sudah,” Munyeong menyambung, “bahkan aku juga menamparmu supaya kau bangun, tapi kau tidak bangun juga. Seperti Putri Tidur.”

“Kalau Putri Tidur sih, h-harus dicium, baru bangun,” komentar Sangtae, selagi Kangtae pun mengetahui alasan di balik ketidaknyamanan yang terasa di rahangnya saat baru bangun tadi.

“Oh, itu juga sudah kucoba. Hi.” Munyeong nyengir pada Kangtae, yang terkejut dalam diam.

“Ah,” Sangtae mengobrol, “mereka-mereka, harus diberi nama dulu ini.” Sangtae membicarakan tentang dongeng yang akan dirinya dan Munyeong buat, sementara Kangtae menyegel-nyegel bibirnya, yang katanya tadi sudah coba dicium Munyeong, dengan berbagai pikiran.

“Ini,” Munyeong menjawab obrolan Sangtae sambil menunjuk-nunjuk karakter dongeng dalam gambar Mobil Terbang Sangtae, “Bocah Tanpa Jati Diri, ini Putri Tong Kosong Tak Berperasaan, dan kalau yang ini ….”

“I-i-itu bukan nama itu, bukan. Nama itu misalnya, mm, Moon Kangtae, Moon Sangtae, itu baru nama. Yang tadi bukan.”

“Hari ini aku libur lho?” Kangtae memberi tahu, di tengah kesibukan.

“Gak pakai nama juga oke. Itu trend-nya.”

“Trend? Apa itu trend?”

“Ada-lah pokoknya.”

“Kalau mau, kita bisa jalan-jalan hari ini.” Kangtae menawarkan diri menjadi sopir, tapi dia sama sekali tak didengar.

“Jangan banyak TANYA deh.”

PSYCHO BUT IT'S OKAYOù les histoires vivent. Découvrez maintenant