16 - 3 : BUKAN MIMPI

80 8 0
                                    

Wadir Lee dan Munyeong bertemu di kafe, sebagai pimpinan perusahaan dan penulisnya, dan tentu saja Wadir Lee berusaha terlihat seberwibawa mungkin di depan penulisnya kali ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wadir Lee dan Munyeong bertemu di kafe, sebagai pimpinan perusahaan dan penulisnya, dan tentu saja Wadir Lee berusaha terlihat seberwibawa mungkin di depan penulisnya kali ini. Dia bersedekap dan mengadili, “H-hey, bagaimana kau akan bertanggung jawab atas kejadian ini?”

“Memangnya pernah aku bertanggung jawab?” celetuk Munyeong.

“Aih, tapi kan kau sudah menyebar berita kalau kita akan menerbitkan buku terakhir Pembunuhan Penyihir Barat. Gara-gara itu, semua orang pikir aku ini penipu. Nama baikku jatuh, bagaimana ini?!” Wadir Lee kesal sekali, tapi Munyeong hanya, “Pungut saja lagi.”

“Ah,” Wadir Lee frustrasi, “kalau kau memang hanya menggunakan berita itu untuk umpan, yah, seharusnya kau kompakan dulu kek, gitu, dengan Kritikus Jung-nya. Jangan jadi aku yang diseret-seret.”

“Nah,” Munyeong mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang telah tua dari tasnya, menyodorkannya pada Wadir Lee.

“Apa ini?” Wadir Lee mengambilnya dan membukanya, dan ternyata itu adalah naskah buku terakhir Pembunuhan Penyihir Barat! Wadir Lee otomatis membelalak.

“Gila! Pembunuhan Penyihir Barat? Jadi selama ini kau punya naskahnya?” Wadir Lee penasaran sekali.

“Hardcopy-nya hanya itu,” kata Munyeong, “terserah kau mau membuangnya atau menerbitkannya. Aku tidak akan ikut campur. Kalau kau menerbitkannya, artinya semua kerugian yang kusebabkan selama ini impas sekaligus.”

“Munyeong-ah,” Wadir Lee terharu sekali.

“Pilih,” kata Munyeong.

“Apa?”

Munyeong mengeluarkan amplop lain yang berwarna mint. Katanya, “Ini naskah terakhirku. Sudah direvisi.”

“Gila.” Wadir Lee langsung menyerobot amplop itu, tapi Munyeong menahannya. Katanya, “Jangan diambil dua-duanya dong.”

“Ah,” Wadir Lee bingung sekali.

“Kau harus pilih, menerbitkan Pembunuhan Penyihir Barat atau buku terakhirku. Jangan serakah.” Munyeong menyudutkan Wadir Lee.

Wadir Lee pun berpikir, menimang-nimang antara amplop cokelat atau amplop mint, melirik Munyeong yang menunggu, dan memilih. Dia mengambil amplop cokelat dan katanya, “Orang yang menyusun naskah ini telah membuatmu menderita selama ini. Tidak mungkin aku akan menerbitkannya.” Wadir Lee angkat tangan dari amplop cokelat itu dan mengambil amplop mint.

Munyeong puas.

“Kau yakin, tidak akan menyesal? Karya terakhir Do Heejae pasti akan jauh lebih menguntungkan daripada karya terakhir Go Munyeong,” kata Munyeong, meyakinkan.

“Munyeong-ah, aku JAUH lebih menyukai tulisanmu dibanding tulisan siapa pun,” kata Wadir Lee, menyejukkan.

“Sudah lama kita tidak pegang pisau. Makan daging yuk?” kata Munyeong, sambil minum, dan tentu saja Wadir Lee setuju. Mereka pun beranjak untuk makan daging di restoran lain dan Wadir Lee tanpa sengaja menyenggol meja saat pergi hingga gelas tinggi ketiga yang ada di meja oleh menumpahkan isinya ke amplop cokelat.

PSYCHO BUT IT'S OKAYWhere stories live. Discover now