Bab 1

122K 3.7K 38
                                    

Happy Reading!

“Kamu kapan mau menikah, Rei?”

Pertanyaan itu spontan membuat Reina yang hendak menyuap martabak ke dalam mulutnya menjadi terhenti. Ia menoleh, menatap mama dan papanya yang sedang menatapnya sambil menunggu jawaban.

Reina menghela napas pelan, wanita berusia 25 tahun itu meletakkan kembali martabak di tangannya ke atas piring. Ia meraih tisu, mengelap kedua tangannya, lantas mengubah posisi duduknya menjadi tegak.

“Mamaku yang paling cantik dan papaku yang paling tampan,” ucap Reina sembari menatap papa dan mamanya bergantian. Ia memiringkan tubuhnya, lalu tersenyum simpul sambil memegang kedua tangan mamanya yang berada di atas paha. “Reina, kan sudah sering bilang, Reina hanya akan menikah dengan pria tampan yang berhasil menarik perhatian Reina.”

Jawaban yang sering kali mereka dengar itu membuat Rudi mengembuskan napas lelah. Pria paruh baya itu memilih untuk menyesap kopi hitamnya, lantas bersandar di sofa.

“Tapi Mama dan Papa udah pengin menimang cucu. Coba kamu lihat tetangga sebelah. Anaknya aja seumuran kamu sudah nikah, bahkan sudah punya anak umur enam tahun, dan sekarang lagi hamil anak kedua,” sahut Reni.

Reina mengangkat kedua bahunya tak acuh.
“Ya itu, kan dia. Bukan Reina.”

“Astagfirullah, Reina,” keluh Reni sembari memijat keningnya yang berdenyut nyeri. Ia harus kembali memendam keinginan yang selama ini diimpikannya. Namun, mau sampai kapan akan begini? Reni hanya takut ia tak sempat menimang cucu atau parahnya lagi tak sempat melihat anak semata wayangnya itu dipinang oleh seseorang.

“Mama jodohin kamu aja, gimana?” lanjut Reni, menawarkan. Ia menatap Reina dengan penuh harap.

Pertanyaan itu otomatis membuat Reina menoleh. Perempuan itu segera mengangguk cepat, tetapi berbeda dengan ekspresi wajahnya yang terlihat biasa saja. Seolah-olah apa yang baru saja dilakukannya itu hanyalah tindakan impulsif cuma-cuma.

“Kamu mau?” tanya Rudi tak yakin, sebab ia tahu betul bagaimana tabiat putri satu-satunya itu.

“Mau, asal Mama carikan calon suami buat Reina yang baik, saleh, tampan, sayang istri dan keluarga ... oh satu lagi, ya ini nggak susah-susah amat kok, asal duitnya setara sama Bernard Arnault aja, Reina udah ikhlas lahir batin dan bakalan dengan senang hati menerima dia sebagai pendamping hidup Reina.” Reina kembali menyengguk, kiranya kriteria suami idaman yang baru saja diucapkannya itu adalah hal yang biasa saja, alias masih dapat dibilang normal.

Mendengar itu, Rudi hanya dapat menepuk pelan keningnya sembari menggeleng. Sudah ia duga, Reina tak akan semudah itu menerima tawaran atau permintaan dari orang lain yang sekiranya tak menguntungkan baginya. Apalagi ini bukanlah sebuah tawaran untuk hal sepele, melainkan tentang perjodohan yang diharapkan bisa sampai ke pelaminan. Salah pilih sedikit saja, maka akan sengsara seumur hidup.

“Ya ampun. Apa salah hamba hingga Engkau memberikan anak semenjengkelkan ini, Ya Allah?” ucap Reni, mendramatisir keadaan.

“Sudah, ya. Mama tenang saja. Mungkin jodoh Reina sedang dalam perjalanan menuju rumah ini,” ucap Reina, berusaha menenangkan yang malah membuat kedua orang tuanya makin kesal. “Ya sudah, Reina mau istirahat, besok harus ke kantor lagi. Bye, Ma, Pa.”

Tanpa menunggu jawaban, Reina segera bangkit dari duduknya setelah mengecup pipi sang mama. Wanita itu pun pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang