Bab 64

14.6K 762 15
                                    

Happy Reading!

"Jadi, Papa mau menceritakan masa lalu itu?" tanya Raina. Nada suaranya terdengar hati-hati. Ini sudah dua jam setelah Geo sadar dan pria itu berkata ingin menceritakan apa yang masih menjadi tanda tanya di kepala Raina.

Sejenak Geo menarik napas pelan, beberapa detik setelahnya, pria itu memilih menyanggupi permintaan sang putri.

❄️❄️❄️

Ada kalanya orang tua yang lebih mementingkan harkat dan martabat akan lebih mengedepankan anak yang lebih berpotensi menaikkan gengsi mereka. Geo, cucu sulung dari keluarga Pradika itu harus mendapatkan konflik dengan Jovan-sepupu seumurannya-hanya karena da selalu dipuji-puji ketika adanya pertemuan keluarga besar. Sejak lahir, Geo dan Jovan selalu bersama, bagi anak kembar yang sulit dipisahkan.

Namun, ketika keduanya sudah menginjak bangku SMA, keluarga besar itu makin menyanjung Geo karena prestasi yang berhasil diraihnya. Hingga kemudian, Jovan mulai berbalik arah. Lelaki itu mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada Geo. Bahkan, ia tak segan-segan menghancurkan apa saja yang menjadi kesenangan Geo.

Seperti semesta tak henti menguji mereka, keduanya pun jatuh cinta ada orang yang sama. Hilda namanya, perempuan cantik nan lemah lembut itu telah berhasil menyabet hati dua sepupu itu. Tentu saja ada persaingan di antara keduanya untuk mendapatkan cinta seorang Hilda. Kemudian, Hilda lebih memilih Geo dan membangun rumah tangga dengan lelaki itu. Keduanya dikaruniai seorang putri cantik bernama Raina. Ya, tentunya Raina yang kalian kenal selama ini.

Selama ini, Geo sudah berkecimpung dalam dunia gelap yang ia buat, dunia mafia yang jadi pelampiasan atas segala rasa marah dan emosi yang dipendamnya selama ini. Tuntutan untuk menjadi kebanggaan keluarga telah membuatnya lelah sendiri.

Masih berhubungan dengan Jovan, pria itu pun menikah dengan seorang gadis yang dulu satu sekolah dengan mereka. Jovan juga ikut membangun kelompok mafia, yang sering kali membuat ulah terhadap Geo. Entah apa maksudnya, yang pasti Jovan tak henti mengganggu kehidupan Geo.

Hingga suatu ketika, puncak konflik telah berada di depan mata. Kematian Hilda dimanfaatkan oleh kelompok mafia lain. Ia menghadirkan seorang pengadu domba kepada Geo dengan mengatakan bahwa Jovanlah penyebab meninggalnya Hilda. Geo yang begitu mencintai sang istri pun menjadi gelap mata. Ia menyusun strategi, kemudian menyerang ke markas Jovan sembari membawa banyak pasukan.

"Jovan, keluar kau!" Geo berseru setelah berhasil menendang pintu di hadapannya. "Kau sudah membunuh istriku!" lanjutnya. Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, pria itu mengangkat tangan kanannya yang memegang pistol, lalu menarik pelatuknya, yang jadi isyarat bahwa perseteruan akan dimulai.

Pertarungan pun tak terelakkan. Bunyi tembakan terdengar saling bersahutan. Dua kelompok mafia itu saling berusaha memperjuangkan pertahanan mereka. Kemudian, satu per satu orang mulai tumbang dengan luka tembak di tubuh mereka. Genangan darah pun berhasil menutupi warna dasar lantai putih yang menjadi tempat mereka berpijak saat ini.

Masih dengan duka yang menyelimuti atas perginya sang istri, Geo dengan sadar mengarahkan moncong pistolnya ke jantung Jovan. Peluru itu melesat dalam waktu cepat, menembus kulit, dan akhirnya menumbangkan tubuh tegap Jovan. Sejenak Geo mematung di tempat. Matanya menatap kedua tangannya yang kini sudah bergetar hebat, kemudian pandangannya beralih pada Jovan yang sudah tergeletak dengan perut yang sudah dipenuhi oleh darah.

Dengan pelan, Geo berjalan menghampiri Jovan yang tengah mengerang kesakitan. Air mata pria itu menetes begitu saja. Dadanya terasa sesak.

"Jovan ...," lirihnya.

Jovan menoleh, sebuah senyum tipis terlihat di bibirnya.
"Bukan aku yang membunuh Hilda. Seseorang telah mengadu domba kita," ucap Jovan. Tangan pria itu bergerak, mengambil sebuah flashdisk dari saku celananya, lantas memberikannya pada Geo. "Kau bisa melihat bukti-bukti dari kejahatan orang itu pada Hilda lewat flashdisk ini. Maaf atas segala kesalahanku padamu. Maaf atas dendam tak berkesudahan dan emosi yang selama ini aku lampiaskan kepadamu."

Geo hanya mampu menggeleng, ia tak pernah membenci Jovan. Ia tak pernah merasakan dendam pada sepupunya itu. Geo hanya selalu berpikir bahwa Jovan melakukan semua itu adalah sebagai bentuk rasa tidak terima atas perlakuan yang ia dapatkan, walau Geo tahu hal itu tidak dapat dibenarkan.

"Maaf, Jovan," lirih Geo.

Jovan menggeleng. "Aku yang selama ini lebih banyak salah padamu, Geo," sahut Jovan, "boleh aku meminta satu permintaan terakhirku?"

Dengan berat, Geo pun mengangguk. Bukan berat menuruti permintaan Jovan, hanya saja ia merasa begitu berat melihat sepupu terdekatnya dalam kondisi sekarat begini, apalagi hal ini disebabkan olehnya.

"Tolong jaga istri dan anakku, mereka satu-satunya harta terindah yang aku punya." Setelah berhasil mengucapkan kalimat itu, Jovan pun menutup mata, meninggalkan Geo yang kini menangis sembari meraung kencang.

Ini semua salahnya, seharusnya ia mencari kebenaran di atas kebenaran, bukan malah bertindak gegabah hingga melayangkan nyawa sepupunya seperti ini. Penyesalan memang selalu berhasil memberi pelajaran atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Memang apalagi yang dapat dilakukan? Memutar waktu dan memperbaiki semua ini pun mustahil untuk terjadi.

❄️❄️❄️

"Jadi karena itu Papa mau menikah dengan mama Sandra?"

Geo mengangguk, menjawab pertanyaan yang Raina lontarkan.
"Ya, Papa tak tahu lagi bagaimana harus menebus kesalahan yang telah Papa perbuat. Papa sudah menghilang nyawa seorang suami dan ayah dari keponakan Papa sendiri. Rasa bersalah Papa terlalu besar, hingga Papa memilih keputusan untuk menikahi Sandra untuk menggantikan posisi Jovan sebagai tulang punggung keluarga mereka."

Raina menyengguk paham.
"Apa selama ini Papa ... mencintai Mama Sandra?"

Geo menoleh sebentar pada Raina, sebelum pandangannya terarah pada jendela ruang rawatnya.

"Cinta Papa hanya untuk mamamu dan Papa sudah berjanji tidak akan mencintai wanita lain selain mama kamu. Cinta Papa sudah dibawa mati oleh mamamu, hingga Papa tak bisa jatuh cinta lagi dengan yang lain."

Raina mengangguk, tangan perempuan itu bergerak untuk mengambil kedua tangan sang papa, lalu menggenggamnya. Sejenak Geo menikmati elusan tangan Raina. Geo berusaha menenangkan diri agar tetap terlihat baik-baik saja. Membuka lagi memori masa lalu itu bukanlah hal yang mudah. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyelami kembali kenangan-kenangan yang telah tersimpan apik dalam otak. Entah kenangan baik atau buruk, semua itu akan tetap kita hadapi. Apalagi, Geo harus menceritakan kisah memilukannya pada sang anak.

"Maaf jika keputusan Papa ternyata menyakitimu," ucap Geo, penuh penyesalan.

Raina menggeleng. Perempuan itu berdiri dari duduknya, lantas memeluk erat sang papa.
"Semua itu udah jadi masa lalu, Pa. Baik dan buruknya ambil sebagai pelajaran. Anggap semua itu sebagai takdir, sebab ada beberapa hal yang memang berada di luar kendali kita sebagai manusia. Terlepas dari dosa di masa lalu, Raina cukup merasa bahagia dan bersyukur memiliki papa sehebat Papa."

Ucapan sang putri tentu saja membuat mata Geo berkaca-kaca. Anak yang dulunya ia gendong di punggungnya, kini tanpa terasa sudah sedewasa ini. Anak yang dulunya hanya bisa merengek ketika meminta susu, kini bahkan sudah bisa memberikannya pelukan dan kata-kata yang menenangkan. Geo bersyukur, setidaknya ia masih memiliki putri kesayangan yang tetap mau menerimanya sebagai ayah, meski sudah tahu dosa besar yang pernah ia lakukan dulu.



To be continued ....
A/n: Saia makin sibuk, jadi nggak pernah dobel up lagi, ya? Xixi! Selamat berpuasa gengs!

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang