Bab 27

29.5K 1.4K 38
                                    

Happy Reading!

Di dapur yang terdapat di rumah sang papa, Raina terlihat sibuk memotong sayuran. Ini kali pertama ia berkunjung ke rumah asing yang terasa familier di hatinya. Namun, rasanya ia seperti berada di tengah-tengah, antara kebahagiaan dan keresahan. Ia merasa nyaman dan aman bila berada di dekat Geo, dan ia merasa dalam bahaya jika terus berdekatan dengan ibu serta kakak tirinya itu. Aura yang mereka miliki terlalu membuatnya merasa tak aman, seolah-olah hawa gelap menyelimuti kedua orang yang selalu berusaha terlihat ramah di hadapannya itu.

Terlalu asik dan bersemangat melakukan kegiatannya, Raina sampai tak menyadari jika Salsa datang menghampirinya dan berdiri tepat di sampingnya. Senyum angkuh terlukis di bibir perempuan itu. Hilang sudah wajah ramah yang sejak tadi diperlihatkan pada Raina dan anggota keluarganya. Mungkin julukan si Muka Dua sungguh tepat untuk disematkan pada wanita itu. 

Salsa menoleh ke arah Minah yang tengah sibuk membuat minuman. Melihat wanita tua itu yang sepertinya juga tak menyadari kehadirannya, ia pun sedikit mencondongkan tubuhnya, hingga posisi bibirnya tepat berada beberapa sentimeter dari telinga Raina.

“Aku bisa saja merebut Farrell dari pelukanmu, adikku tersayang,” bisiknya sambil menyeringai.

Raina sedikit berbalik. Dengan gerakan cepat, diacungkannya pisau di tangannya ke arah Salsa, yang membuat perempuan itu spontan terlonjak kaget dan seketika menahan napas. Raina tertawa kecil melihatnya, tawa yang terdengar meremehkan. Namun, tak bertahan lama. Ekspresi wajahnya perlahan berubah, menjadi terlihat sinis dan lebih serius.

Masih dengan pisau yang bertahan di posisinya, Raina berkata,
“Jika kau bisa merebut suamiku, maka ....” Raina menjeda ucapannya, ia melirik pisau di tangannya dan Salsa bergantian, lantas tersenyum semanis mungkin. “Pisau ini juga bisa melayang dan memutuskan urat nadimu.” Usai itu, Raina pun menurunkan pisaunya dan kembali pada aktivitas sebelumnya.

Salsa segera menghela napas dalam-dalam dan mengembusnya perlahan, berusaha menyelamatkan jantungnya yang sudah berdetak sangat cepat selama beberapa menit. Pasokan udara pada indra pernapasannya terasa krisis. Siapa yang akan menyangka, jika perempuan yang dulunya adalah seseorang pendiam, kini telah berubah menjadi harimau yang siap menerkam siapa saja yang berani mengusik ketenangannya.

“Aku bisa saja menjadi malaikat mautmu suatu saat nanti. Ingat itu, Salsa,” ucap Raina tanpa menatap sang lawan bicara.

Salsa tak menjawab, mulutnya seketika bungkam, suaranya seperti tertahan di ujung tenggorokan. Otaknya terasa kosong tiba-tiba. Tanpa banyak kata, wanita itu bergegas pergi begitu saja menuju kamarnya dan mengunci pintu. Dengan napas terengah-engah, ia mendudukkan diri di atas ranjang.

“Hahaha, dia mengancamku?” gumamnya sambil tertawa remeh. Lantas, matanya mengarah ke depan dengan tatapan marah. “Sial, wanita itu sungguh berhasil membuatku kesal.”

Salsa mengepalkan kedua tangannya, giginya menggelatuk, menahan amarah yang perlahan menguasai jiwa dan raganya. Ini tak biasa dibiarkan. Salsa benci diremehkan seperti tadi, apalagi oleh orang yang ia benci kehadirannya. Salsa juga benci melihat senyum kemenangan yang sempat ia lihat dari wajah Raina ketika ia memutuskan untuk pergi tadi.

Sementara Raina yang berada di dapur justru hanya dapat menggeleng sembari tertawa pelan. Tingkahnya barusan cukup mengejutkan, bahkan bagi Raina sendiri. Walau jika boleh jujur, Raina kagum dengan dirinya. Sebelumnya, Raina tak pernah berani mengancam orang lain, apalagi sampai menodongkan senjata tajam seperti tadi. Namun, ia percaya bahwa hal ini bisa terjadi karena kekesalan yang jiwa Raina asli pendam dalam hati.

“Non, Bibi mau antar minuman untuk Tuan dan Den Farrell dulu, ya,” ucap Minah berpamitan.

Raina menoleh, ia segera mencuci tangan lalu menghampiri Minah.
“Biar Raina saja, Bi,” ucapnya sembari mengambil alih nampan berisi minuman dan camilan dari tangan sang lawan bicara yang hanya mampu menurut.

Setelahnya, Raina berjalan menuju gazebo yang berada di belakang rumah, tepatnya di dekat kolam renang. Dari jauh, dapat dilihatnya wajah serius kedua pria yang berperan besar dalam hidupnya. Sebuah bulan sabit terukir di bibir Raina. Perempuan itu melanjutkan langkah, lalu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Ia mengambil gelas itu, dan memberikan masing-masing pada sang papa dan sang suami.

“Papa tak pernah bisa mengalahkanmu, Rel,” ucap Geo sambil menerima gelas berisi minuman yang disodorkan oleh putrinya. “Terima kasih, Sayang.”

“Papa harus lebih banyak berlatih,” sahut Raina.

Geo tersenyum, ia menghela napas, lantas menyandarkan tubuhnya di kursi, setelah meletakkan gelas di atas meja.

“Jika Farrell tak ke sini, tak ada yang bisa Papa ajak bermain catur, Nak. Semua yang tinggal di sini perempuan, kecuali Papa dan Pak Toni.”

Raina tersenyum menanggapinya, ditatapnya sang suami yang tengah minum.
“Kalau Mas Farrell tidak sibuk dan ada waktu luang, pasti akan Raina ajak ke sini, Pa.”

Geo mengangguk setuju, walaupun tahu bahwa kata-kata Raina barusan hanyalah sekadar taktik untuk menenangkan hatinya saja. Geo sudah tahu itu semua, sebab Raina pasti akan mengatakan hal yang sama jika ia memberikan kode bahwa ia adalah pria yang kesepian.

Meskipun banyak orang yang menemaninya di rumah ini, Geo tetaplah menginginkan kehadiran Raina di sini, sebab putrinya itulah satu-satunya harta peninggalan paling berharga dari Hilda, dan juga wajah keduanya yang hampir mirip membuat rindu Geo pada Hilda sedikit terobati.

“Papa akan selalu menunggu waktu itu, Nak.” Pria itu lantas berdiri dari duduknya dan mengelus kepala Raina. Ia berjalan, saat tepat di samping Farrell, lelaki itu menyempatkan diri untuk menepuk pundak sang menantu. “Papa masuk dulu, lagi pengin main sama cucu-cucu Papa.”

“Iya, Pa,” sahut Raina. Ia mengambil duduk di kursi bekas sang papa. Matanya terus tertuju pada punggung Geo, hingga tubuh pria itu hilang di balik tembok dapur. “Papa hanya kesepian, kedua Nenek Lampir itu hanya menjadi beban saja,” gumamnya, yang masih dapat didengar oleh Farrell.

“Kenapa kamu terlihat sangat tidak suka dengan ibu dan kakak tirimu itu?” tanya Farrell. Ia mengubah posisi kursinya hingga menghadap ke arah kolam renang.

Raina mengikuti arah pandang sang suami. “Karena feeling-ku berkata bahwa mereka bukanlah orang yang baik. Mereka menyembunyikan watak asli mereka di balik topeng. Merekalah dua orang yang mengatur siasat agar hidupku tak baik-baik saja. Namun, aku belum memiliki bukti bahwa mereka benar-benar bukanlah orang yang baik,” ucap Raina lalu menoleh ke arah Farrell, ditatapnya pahatan wajah sempurna sang suami. “Kamu percaya padaku?”

Farrell ikut menoleh, sejenak keduanya saling berpandangan, seolah-olah tengah saling menyelami kisah pasangan masing-masing lewat mata sang lawan bicara. Setelah beberapa saat, laki-laki itu lebih dulu memutuskan untuk mengakhiri sesi saling pandang itu, lalu mengeluarkan suaranya.

“Ya, meski aku tak pernah melihat mereka melakukan kejahatan secara langsung, tetapi aku percaya kepadamu.”

Jawaban itu membuat Raina mengembangkan senyumannya. Walaupun ini semua hanya sekadar opini, setidaknya ada seseorang yang percaya kepadanya. Karena satu kepercayaan dapat membuat Raina lebih percaya diri untuk menghadapi ini semua.

To be continued ....
A/n: Haha! Maaf gaiss baru update. Aku teh lagi sibuk war Shopee, walau sekarang gratong Shopee dah nggak asik, huhu!

Mau aku dobel up?

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang