Bab 56

16.1K 875 34
                                    

Happy Reading!

Tak ada yang berwajah ramah di sini. Ruangan berwarna putih cerah dengan didominasi barang-barang khas wanita feminim itu kini tak menampakkan sedikit pun kedamaian. Dua pasang mata manusia yang berada di sana terlihat saling memandang penuh permusuhan pada salah seorang wanita sisanya yang justru menampilkan wajah santai—yang jelas saja membuat Sandra kian merasa berang, sebab merasa diremehkan.

“Kau!” seru Sandra, jari telunjuknya mengarah tepat di depan wajah Raina.

“Apa?” tanya Raina. Dengan tenang ia menurunkan jari Sandra. Perlahan, raut wajah kalemnya mulai hilang, tergantikan dengan wajah serius dan tegang. “Dengar baik-baik, Aku tidak akan pernah membiarkan rencana kalian berjalan mulus. Jika kalian tidak mau menghentikan ini semua, maka jangan terkejut bila nanti apa yang kalian rasakan akan dua kali lipat lebih sakit daripada apa yang kalian lakukan. Karena aku tidak akan tinggal diam, apalagi yang ingin kalian celakai adalah papaku sendiri. Nyawa dibalas nyawa.”

“Kau akan tau akibatnya jika berani ikut campur!” ancam Sandra.

Raina lantas tertawa. “Ya, aku tunggu saat itu tiba.  Sekarang silakan kalian buat rencana sematang mungkin. Jangan biarkan aku berhasil menggagalkannya, ya‽” Tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara, Raina langsung melangkah keluar dari ruangan yang membuatnya merasa pengap dan emosi ini.

“Raina!”

Teriakan dari Sandra itu hanya dibalas acungan jari tengah oleh Raina. Ia tak peduli pada apa yang dikatakan oleh wanita itu. Yang harus Raina lakukan sekarang adalah berusaha untuk menghancurkan rencana yang dibuat oleh Sandra dan Salsa. Raina tak bisa membiarkan mereka berhasil. Sebab Raina yakin, yang menjadi ancaman bukan hanya Geo atau dirinya, tetapi keluarganya tentu akan mendapat imbasnya pula. Sandra memang tak bisa dianggap remeh.

Harta memang kerap kali menggelapkan mata manusia. Hati yang semula bersih dan suci, bisa saja perlahan menjadi ular berbisa hanya karena harta. Harta dapat mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Namun, semua itu tergantung pada diri sendiri. Entah keserakahan atau kesadaran yang akan lebih memang. Dan, Sandra telah dibutakan oleh harta, hingga orang lain terkena akibatnya.

Usai kepergian Raina, Salsa menatap mamanya khawatir.
“Bagaimana ini, Ma?” tanyanya. Lantas, perempuan itu berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kukunya yang terpoles kuteks mahal berwarna merah menyala—sangat berkombinasi dengan warna lipstik yang dikenakan oleh sang mama.

“Kita harus berhasil, Salsa! Kita tidak akan kalah dengan upik abu itu. Kalaupun rencana kita memang gagal, kita harus menggunakan rencana cadangan. Kita tidak boleh membiarkan Raina menang,” ucap Sandra. Terlihat ambisi kuat di matanya. Sampai kapan pun, ia tak akan mau terkalahkan dan tak akan menerima kekalahan.

Salsa seketika berbalik dan berjalan mendekati sang mama.
“Ma,” panggilnya. Ia mengulum bibirnya tatkala wanita yang dipanggilnya sudah menoleh. Memejamkan mata sejenak, Salsa pun membuka suara dan menyampaikan apa yang selama ini telah mengganjal di hatinya. “Sebenarnya, selain ingin menguasai harta Papa, apa Mama punya tujuan lainnya?”

Namun, bukan jawaban yang diharapkan yang Salsa dengar, melainkan hanya sebatas keterdiaman Sandra. Bahkan, jarum jam yang berdetak pun dengan leluasa mengisi keheningan.

“Kamu tidak perlu tau, Salsa. Kamu hanya perlu melakukan apa yang Mama suruh. Masalah ada atau tidaknya ‘tujuan lain’ itu, biar jadi urusan Mama.”

Salsa hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi yang mampu dilakukannya selain menuruti semua keinginan sang mama? Tidak ada. Bahkan ia sudah hidup seperti boneka yang selalu dikendalikan oleh sang mama.

❄️❄️❄️

“Kamu pulang aja, Rai. Kasihan anak-anak sendirian di rumah,” suruh Geo. Pria yang sampai kini hanya dapat berdiam diri di ranjang pasien itu menatap sang anak yang duduk di sofa.

“Rai mau di sini, temenin Papa,” jawab Raina. Matanya enggan untuk menatap pada sang papa. Perempuan itu justru sibuk membuka acak majalah yang tersedia di sana—yang sebelumnya telah ia ambil di atas meja.

“Nak,” panggil Geo, yang mau tak mau membuat Raina beranjak menghampirinya setelah meletakkan kembali majalah di atas meja. Tatapan sayunya mengarah lembut, penuh kasih sayang pada putri kesayangannya. “Kalo ada masalah, kamu bisa bicarakan baik-baik. Haram hukumnya seorang istri keluar rumah tanpa izin dari suami.”

Bukan tanpa alasan Geo berkata seperti ini. Sedikit-banyak Geo mengenal bagaimana anak bungsunya itu. Lagi pula, tingkah Raina yang enggan meninggalkannya di rumah sakit itu membuat Geo merasa ada yang tidak beres.

“Pa ...,” lirih Raina. Ia langsung menerjang Geo dengan pelukan tatkala pria itu merentangkan tangan. Raina menangis sejadi-jadinya di dekapan sang papa. Ternyata ia tak sekuat tak ia kira. Raina sadar, selama ini ia hanya berpura-pura. Selain khawatir dengan keadaan Geo dan ingin menjaga pria itu, kehadiran Raina di sini juga sebagai pelarian, menjauh sejenak dari masalah yang tercipta di rumah. Raina jelas tahu, makin masalah itu dihindari, maka ia akan lebih laju mengejar. Namun, Raina belum sanggup. Raina bukan tak ingin mendengarkan penjelasan Farrell. Hanya saja perempuan itu takut jika apa yang akan ia dengar nanti ternyata sama negatifnya dengan apa yang saat ini ia pikirkan.

“Nak, jika tidak segera diselesaikan, maka kamu akan makin keteteran dengan masalah selanjutnya. Selesaikan sekarang, jika bisa sampai ke dasarnya. Jangan sia-siakan kesempatan yang Tuhan berikan.”

“Nanti Papa sama siapa kalo Raina pulang?” tanya Raina setelah melepas pelukannya dan menghapus air matanya.

“Kamu tenang saja, Papa masih punya Fajri. Biar dia yang jagain Papa di sini.” Geo tersenyum. Ditepuknya kepala Raina beberapa kali. “Oh iya, kamu udah ketemu sama mama dan kakakmu?”

Sejenak Raina bergeming. Ia tak mungkin memberikan kepada papanya bahwa dua wanita ular itu justru asik bersantai di rumah. Lagi, sangat tak mungkin jika ia juga memberitahukan rencana jahat Sandra dan Salsa kepada Geo. Selain karena khawatir kondisi sang papa akan makin buruk jika mendengarnya, Raina juga belum memiliki cukup bukti untuk mengungkapkan kejahatan dua wanita itu. Sekarang Raina hanya dapat menahan diri sembari mengumpulkan lebih banyak bukti. Raina tak akan tinggal diam. Jika bisa, Raina ingin sesegera mungkin memberikan balasan yang setimpal untuk Sandra dan Salsa.

“Mungkin Mama dan Kak Salsa lagi sibuk, Pa, makanya nggak sempat jenguk Papa di sini,” ucap Raina. Senyuman di bibirnya begitu manis, berbeda sekali dengan batinnya yang tengah memaki dua perempuan itu.

Geo hanya mampu menghela napas berat. Lantas, tatapannya kembali melembut ketika memandang sang anak.
“Ya sudah, sekarang kamu pulang.”

“Papa cepat sembuh, ya. Kabari Raina kalo terjadi apa-apa. Raina bakalan sering-sering jenguk Papa,” ucap Raina. Ia menyalimi punggung tangan Geo dan mencium pipi kanan pria itu sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan yang berdomisili dengan bau obat-obatan ini.

 

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang