Bab 21

36.8K 1.8K 117
                                    

Happy Reading!

Angin malam terasa berembus ringan dengan santainya, membuat orang-orang yang berpakaian kurang tebal kedinginan. Namun, kehangatan yang diberikan dari keluarga adalah salah satu kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi dinginnya suhu udara malam ini.

Algha pernah membaca tentang sebuah teori fisika yang mengatakan bahwa sebenarnya dingin itu tak benar-benar ada. Kita merasakan dingin karena tidak adanya kehangatan yang kita dapatkan. Dan, Algha merasa bahwa Raina adalah sumber kehangatannya. Mau sedingin apa pun dunia ini, Algha masih tetap memiliki sang mama yang menjadi tempatnya mencari kehangatan.

Algha mendongak, ditatapnya takut-takut sang mama yang justru masih saja menatapnya lembut. Ia takut telah membuat Raina kecewa, ia takut jika sebenarnya Raina marah besar padanya, dan asumsi-asumsi negatif yang berseliweran di kepalanya itu membuat Algha menjadi makin tak keruan.

“Mama,” ucap Algha dengan lirih.

“Iya, Sayang. Algha mau bicara apa, Nak?” sahut Raina.

Namun, Raina masih mau menjawab panggilannya dengan nada lembut seperti tadi. Hal itu sedikit-banyak membuat Algha dapat kembali tenang.

“Maafkan Algha, Ma. Algha cuma mau dimengerti, tapi Algha nggak mau ngertiin Mama. Algha salah.”

Raina mengangguk, ditariknya tubuh anak itu, lalu membawanya ke dalam pelukannya.
“Mama paham maksud Algha. Mulai sekarang, kalau ada hal yang buat Algha senang, marah, kecewa, atau apa pun itu, Algha bisa ceritain ke Mama. Mama bakalan dengarin semua keluh kesah Algha,” ujar Raina, “Algha mau, ‘kan cerita semuanya yang Algha alami ke Mama?”

Sejenak Algha terdiam, tetapi beberapa detik kemudian, anak itu dengan ragu mengangguk. Dapatkah mulai sekarang ia membuka diri pada sang mama? Dapatkah ia berbagi cerita pada Raina? Dapatkah ia mengatakan penyebab semua apa yang ia rasa pada wanita yang telah mengandung dan melahirkannya ini?

“Kamu pasti bisa, Sayang,” ucap Raina tiba-tiba, seolah-olah tengah menjawab semua pertanyaan yang terlintas di pikiran Algha. “Hari sudah makin gelap, angin malam tidak baik untuk kesehatan. Ayo, masuk dan tidur. Mama temani Algha malam ini.”

Raina lantas berdiri, dikembalikannya kursi yang dipakainya lalu mengulurkan tangan pada Algha, yang diterima baik oleh anak itu. Keduanya berjalan memasuki rumah.

Tanpa sadar, Algha tersenyum. Ini yang ia mau. Ia berharap semua ini akan bertahan lama, ya semoga saja.

❄️❄️❄️

Raina menutup pintu kamar Algha sembari tersenyum lega. Riana membawa langkahnya menuju kamar. Setelah tiba, tanpa banyak kata, ia pun membuka pintu lantas memasuki kamar. Perempuan itu berjalan menuju walk in closet, tak lama, ia kembali keluar dengan pakaian yang berbeda.

Raina melangkah ke arah meja rias. Ia memulai rutinitas malamnya; bersolek. Mula-mula ia memoleskan krim malam pada wajahnya, kemudian menyisir rambutnya. Tak lama, tiba-tiba Farrell datang menghampirinya lalu mengambil alih sisir yang berada di tangan Raina.

“Bagaimana keadaan Algha?” tanyanya sembari menyisir rambut Raina dengan lembut.

Raina tersenyum, ditatapnya pantulan wajah Farrell yang terdapat  pada cermin.

“Tadi aku sudah berbicara banyak padanya, berusaha memberikan pengertian bahwa kekerasan itu tidak baik dan tidak boleh dimaklumi. Alhamdulillah, dia sudah lebih baik dan berusaha untuk memahami,” ucap Raina, “dia hanya merasa kekurangan kasih sayang. Algha merasa bahwa kita lebih menyayangi Alva. Dia berpikir bahwa kita tidak peduli padanya.”

Menghela napas panjang, Raina kemudian melanjutkan kalimatnya, “Aku tahu, dia hanya kecewa. Jika dipikir ulang, memang benar. Selama ini kita lebih berfokus pada perkembangan Alva karena dia masih kecil. Sering kali kita lupa bahwa sebesar apa pun seorang anak, dia juga pasti memerlukan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, termasuk Algha.”

Farrell mengangguk paham, ia meletakkan sisir yang dipegangnya di atas meja usai memastikan rambut raina sudah rapi.

“Aku bukan Mama yang baik untuk anak-anak kita, Mas,” lirih Raina.

Farrell memegang kedua pundak Raina, meminta agar wanita itu agar menghadap ke arahnya. Pria itu lantas menggeleng. Biarlah ia menurunkan ego dan gengsinya untuk malam ini. Ia tak bisa melihat perempuan menangis di hadapannya, apalagi sosok itu termasuk dalam daftar orang-orang yang dekat dan berada di sekitarnya.

“Rai, dengerin Mas. Meski saat ini kamu masih belum menjadi mama yang baik, tapi setidaknya kamu sudah mau berusaha. Semuanya perlu proses, bahkan makanan yang katanya instan saja masih perlu diolah. Mungkin semua ini akan terasa sulit, tapi kita harus percaya, bahwa Allah tidak pernah menutup mata. Allah bersama kita.”

Raina mengangguk paham, ia segera memeluk erat pinggang Farrell, lantas menenggelamkan wajahnya di perut kotak-kotak sang suami. Tanpa disadari, Raina menangis. Ia tak sekuat dan sebisa apa yang ia bayangkan. Ia lemah. Kejadian tak terduga ini jelas saja membuat batinnya terguncang. Untung saja Raina masih mampu bertahan dan bersikap baik-baik saja.

“Nangis aja yang puas malam ini, setelah itu kamu tidur. Masih ada hal yang harus diperjuangkan besok.”

Raina kembali mengangguk. Ia ingat ucapan mamanya yang dahulu kala ketika ia sedang bersedih.

“Mentari tidak pernah benar-benar pergi, meski hujan, badai, dan malam menghadang. Ia hanya tertutupi oleh mereka, sebelum nantinya ia akan bersinar dan menjadi yang paling terang. Begitu pun kamu, Sayang. Mungkin saat ini kamu sedang bersedih, kecewa, dan merasa ingin menyerah atas suatu hal, tetapi percayalah bahwa suatu saat kamu akan menjadi seseorang yang bersinar paling terang karena kebahagiaan,” ucap Reni kala itu.

“Sekarang kita tidur, ya?” ajak Farrell ketika Raina sudah menghentikan tangisannya.

Raina tak menjawab, ia hanya mengangguk. Langkahnya mengikuti Farrell yang menuntunnya menuju ranjang. Keduanya lantas naik, kemudian berbaring. Perlahan Farrell dan Raina mulai menutup mata, mendatangi alam mimpi sembari berpelukan.

❄️❄️❄️

Raina menarik napas panjang sembari menatap langit-langit kamar. Ia menoleh, tatapannya jatuh pada sosok suaminya yang sudah tertidur pulas dengan tangan yang memeluknya erat. Sudah sejak tadi ia berusaha untuk terlelap, tetapi tetap saja matanya kembali terbuka. Raina belum mengantuk. Kemudian, perempuan itu pun memiringkan tubuhnya. Tangannya terulur menelusuri setiap jengkal wajah Farrell yang terpahat sempurna.

Farrell terlihat mempesona, hanya saja mulutnya yang beberapa kali asal bicara menjadi poin minus pada lelaki itu. Namun, tetap saja, ketampanan yang dimilikinya tidaklah mengurangi daya tariknya. Usai puas mengagumi ciptaan Tuhan yang dijodohkan dengannya ini, Raina pun memutuskan untuk membangunkannya.

“Mas,” panggilnya pelan sambil menepuk pipi Farrell beberapa kali.

Setelah usaha beberapa menit, Farrell akhirnya terbangun.
“Kenapa, Rai?” tanya Farrell dengan suara lesu. “Tidur lagi, ya?” gumamnya, memberi perintah. Pria itu kian mengeratkan pelukannya dengan mata yang hampir kembali terpejam.

Raina menggeleng ribut. Ia berusaha melepaskan dekapan Farrell. Sungguh, ia tak merasa mengantuk sama sekali. Matanya terasa sangat segar.

To be continued ....
A/n: Ada yang bisa nebak cerita ini berakhir sampai bab berapa?

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang