Bab 5

55.7K 3.3K 26
                                    

Happy Reading!

Tepat pada saat jam menunjukkan pukul delapan malam, Farrell tiba di rumahnya.  Ia pun memarkirkan mobilnya di garasi. Sambil menenteng tas kerjanya, lelaki yang masih menggunakan setelan kantor itu keluar dari mobil, kemudian berjalan memasuki rumah.

Farrell mengerutkan keningnya heran saat menatap ruang keluarga. Biasanya, saat ia pulang ke rumah, hanya ada keheningan yang menyambutnya. Pun kedua anaknya pasti sudah berdamai dengan alam mimpinya, sedangkan sang istri, tentunya perempuan itu akan lebih memilih menyendiri di dalam kamar daripada menyambutnya di depan pintu. Farrell sudah biasa menghadapi hal seperti itu.

Namun, kali ini pria itu merasa ada yang berbeda. Kini, kepulangannya disambut oleh tawa ria si bungsu. Matanya masih memandang ke arah ruang keluarga, tempat di mana ketiga orang itu berada. Ya, orang itu adalah Raina, Algha, dan Alvarez. Pemandangan yang sangat langka atau bahkan tak pernah terjadi, kini telah ditangkap oleh retina matanya, dan telah direkam serta disimpan sebaik-baiknya oleh hippocampus otaknya.

“Papa!”

Seruan yang memanggil namanya itu membuat Farrell menghentikan obrolan singkat yang impulsif di otaknya. Pria itu tersenyum lebar sembari merentangkan sebelah tangannya yang bebas untuk menyambut seorang anak kecil yang tengah berlari ke arahnya.

“Anak Papa kenapa belum tidur, hm?” tanyanya sambil mencium wajah Alvarez beberapa kali.

Alvarez tertawa geli dan berusaha untuk menghindari ciuman sang papa. Setelah berhasil, kedua tangan kecilnya segera melingkar di leher sang papa, agar gendongannya tidak terlepas.

“Alva balu (baru) aja belajar hitung-hitung sama Mama, Pa,” jelas Alvarez.

“Alva sudah bisa menghitung angka berapa aja?”

Sejenak Alvarez tampak berpikir, tak lama kemudian ia mengangkat sepuluh jarinya di depan wajah sang papa.

“Segini, Pa.”

“Itu berapa? Coba hitung,” suruh Farrell sambil berjalan.

Alvarez mengangguk, ia memperhatikan jari-jemarinya, kemudian mulai berhitung.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ....” Alvarez menghentikan kegiatannya, kepalanya menoleh ke arah lainnya, di mana sang mama sudah berdiri tepat beberapa langkah di depannya. “Telus (terus) belapa (berapa) lagi, Ma?” tanyanya, tak ingat.

Raina tertawa kecil, ia mengajak pelan rambut Alvarez.
“Tujuh, Sayang,” jawabnya, lantas pandangannya beralih pada Farrell yang entah sejak kapan sudah memandanginya. Pandangan keduanya bertemu, selama beberapa menit keduanya saling menatap, sebelum akhirnya Raina terlebih dahulu memilih mengalihkan pandangannya. “Sini, Mas. Tasnya biar aku yang bawain,” pintanya sambil mengambil alih tas kerja yang sejak tadi masih dipegang oleh Farrell.

Lagi dan lagi Farrell merasakan keanehan. Ia seperti mendapatkan beberapa kejutan malam ini. Senyum itu, tawa itu, dan suara itu, sebelumnya tak pernah ia dengar sebahagia ini. Biasanya, hanya ada suara datar, dingin, sedih, atau suara kekesalan, dan amarah yang selama ini ditangkap oleh telinganya. Namun, kali ini semuanya telah berbeda, entah hanya sementara atau akan berlanjut ke depannya.

“Kamu mandi dulu, Mas. Setelah itu baru makan.” Raina kembali membuka suaranya. “Sekarang Alva sama Mama, ya? Biar Papa mandi dulu,” ucap wanita itu pada sang anak.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang