Bab 25

31.5K 1.5K 42
                                    

Happy Reading!

Perjalanan menuju rumah sang papa memakan waktu selama kurang lebih satu jam. Selama itu pula, Raina asik bertamasya ke luar jendela. Melewati jalanan asing yang terasa familier ini membuat suasana hati Raina kian membaik. Tak lama setelahnya, mobil yang Farrell kendarai berhenti di depan gerbang. Pria itu membunyikan klakson mobilnya, lantas kembali mengemudi setelah pintu gerbang itu dibuka oleh seseorang.  Farrell kembali menghentikan mobilnya dan memarkirnya.

Yang pertama turun adalah Raina. Perempuan itu menatap lamat-lamat bangunan besar dan megah yang berdiri di hadapannya. Rumah itu terlihat modern, tetapi tak melupakan kesan tradisional di dalamnya. Dengan langkah pelan, Raina membawa kakinya memasuki rumah. Setelah suami dan kedua anaknya berdiri di sisinya, Raina pun mengetuk pintu. Tak perlu waktu lama, seorang wanita dengan kisaran umur sekitar lima puluhan lebih membukakan pintu, terlihat jelas raut terkejut di wajahnya.

“Non Raina!” seru wanita itu sembari memeluk erat tubuh Raina.

Raina hanya tersenyum sambil membalas pelukan itu. Ini terasa canggung baginya, tetapi ia tak mungkin menolak pelukan itu begitu saja. Ia tak tahu siapa wanita itu, tetapi Raina yakin bahwa perempuan itu adalah asisten rumah tangga di kediaman ini.

Ia pikir tak mungkin ini adalah ibu kandungnya, sebab wanita itu telah lebih dahulu menghadap Tuhan dan Raina seratus persen yakin bahwa wanita itu juga bukan ibu tirinya, karena dari penampilannya saja sudah tak mungkin jika istri kedua papanya itu mau berpakaian seperti ini.

“Non kenapa jarang ke sini?” tanya Minah—pembantu rumah tangga itu.

“Rai sibuk, Bi,” jawab Raina lembut usai pelukan mereka terlepas.  “Papa ada, Bi?” lanjutnya.

“Tuan ada di ruang kerjanya, Non.”

“Eum ... bisa Bibi antarkan Raina?” Raina menggaruk tengkuknya sambil tertawa kecil. “Sebenarnya Raina sempat lupa ingatan, Bi. Jadi, ya ada sebagian memori yang Raina lupakan.”

Minah menutup mulutnya terkejut. Wanita itu memegang kedua sisi wajah Raina, menolehkan ke kanan dan kiri bergantian.

“Tapi Non nggak apa-apa, ‘kan?”

Raina mengangguk. “Rai baik-baik aja kok, Bi.” Perempuan itu menunduk kala merasakan tarikan pada ujung bajunya. Ditatapnya si bungsu yang menjadi pelaku. Ah iya, hampir saja ia melupakan ketiga laki-laki itu.

Minah yang baru saja ikut menyadari itu tersenyum tak enak.
“Maaf, Bibi lupa. Mari masuk.”

Kelima orang itu berjalan memasuki rumah dengan posisi Raina paling depan. Mereka berhenti tepat di ruang keluarga, lalu mengambil posisi duduk masing-masing, kecuali Raina dan Minah.

“Sayang, Mama mau ke tempat Opa dulu, ya?” pamit Raina pada Alvarez yang masih setia memegang ujung bajunya.

Alvarez mengangguk, anak itu melepaskan pegangannya, kemudian berjalan menuju ke arah sang papa, dan duduk di pangkuan pria itu.

Raina tersenyum, ia menatap Algha dan Farrell bergantian, lantas berjalan mengikuti Minah dari belakang. Dua perempuan itu menaiki tangga, hingga tibalah di depan sebuah pintu berwarna cokelat tua.

“Bibi bisa pergi,” titah Raina dengan suara halusnya.

“Bibi permisi, Non.” Setelah mendapati anggukan, Minah pun pergi meninggalkan Raina sendirian.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang