Bab 30

26.7K 1.4K 49
                                    

Happy Reading!

“Teman yang mana, Den?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Doni, disertai keheranan yang begitu kentara dirasakannya. Bagaimana tidak heran, jika yang ia tahu selama ini Devan selalu sendirian, tiba-tiba berkata bahwa anak itu memiliki teman.

“Kalo Pak Doni mau antalin Devan ke sana, nanti Devan kasih tahu olangnya yang mana,” jawab Devan.

Doni menggeleng takjub. Kecil-kecil sudah bisa membuat kesepakatan yang menguntungkan dirinya sendiri. Apakah ini yang disebut bibit unggul? Meskipun jarang sekali ia melihat sang tuan dan Devan berinteraksi, tetapi memang benar, darah lebih kental daripada air.

Doni pun mengulurkan tangannya untuk memegang kedua pundak Devan. Ditatapnya kedua mata Devan sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.

“Kalo mau keluar ke mana pun, Den Devan harus izin sama Papa. Takutnya nanti Papa Aden nyariin, terus marah besar karena nggak nemuin Aden di rumah ini,” tuturnya, berusaha selembut mungkin.

“Tapi selama ini Papa nggak pelnah peduli sama Devan. Papa sibuk telus. Devan ajak jalan-jalan aja Papa nggak mau,” jawab Devan dengan bibir yang mengerucut kesal.

Doni mengangguk. Ia paham betul perasaan Devan. Anak sekecil ini harus merasakan hidup dengan minimnya kasih sayang orang tua. Apalagi, setelah meninggalnya sang istri, papa Devan telah berubah menjadi seorang workaholic. Bahkan, ketika hari libur tiba, pria itu sulit sekali melepaskan diri dari pekerjaan yang sebenarnya dapat dilakukan esok hari. Pria itu sama sekali tak terlihat lelah dan muak dengan segala kertas-kertas yang setiap hari memenuhi meja kerjanya.

Padahal, Doni ingat jelas, bahwa saat nyonyanya dikabarkan hamil, pria yang menjadi tuannya itu terlihat sangat bahagia dan selalu menantikan kehadiran bayi yang dikandung sang nyonya. Namun, ternyata kepergian sang istri berhasil membawa separuh semangat hidup pria itu.

Sungguh malang nasib Devan, orang tua satu-satunya justru tak peduli padanya. Meskipun kebutuhan materinya sangat tercukupi, tetapi Devan tetaplah seorang anak yang membutuhkan kehadiran orang tuanya, membutuhkan kasih sayang dari mereka.

“Aden tunggu sebentar, ya. Biar Pak Doni telepon Papa Aden buat minta izin, ya?” pinta Doni yang dibalas anggukan menurut oleh Devan.

Doni segera meraih ponselnya yang berada di atas meja. Lelaki itu mencari kontak atas nama tuannya, lantas menekan tombol telepon.  Dengan sengaja Doni menekan tombol  pengeras suara agar Devan juga dapat ikut serta mendengarnya. Tak membutuhkan waktu lama, suara dari seberang sana pun muncul dan terdengar.

“Halo, Don. Ada apa?”

Sejenak Doni melirik kecil pada Devan, sebelum menjawab,
“Halo, Tuan. Ini Den Devan minta diantarkan ke alamat yang katanya rumah temannya.”

“Antarkan saja ke mana dia mau pergi. Teleponnya saya matikan, sebentar lagi saya ada rapat penting.”

Belum sempat Doni menyahut, telepon itu langsung dimatikan begitu saja. Doni kembali menatap Devan sembari meringis.

“Boleh, ‘kan, Pak?” tanya Devan yang dibalas anggukan oleh Doni. “Pak Doni tunggu sini dulu, Devan mau ke kamal sebental.”

Devan segera berlari menuju kamarnya. Tak lama, anak itu kembali lagi dengan sebuah kertas gambar berukuran sedang di tangannya.

“Ayo, Pak.”

Doni menyengguk. Ia segera menaikkan Devan ke kursi mobil bagian depan, lantas memakaikan sabuk pengaman. Pria itu masuk ke kursi pengemudi dan mulai mengendarai mobil, sesekali Doni melirik Google Maps yang menunjukkan arah jalan menuju alamat yang diberikan oleh Devan tadi.

Sementara si Tuan Muda terlihat anteng di tempatnya. Tubuh kecilnya sedikit miring ke samping, kemudian memegang sisi kaca mobil. Devan menoleh pada Doni.

“Pak Doni, Devan bisa tolong bukain kaca mobilnya nggak?”

Doni memperhatikan jalan sambil sesekali menoleh ke arah Devan. Tangannya bergerak memutar kemudi mobil sebab Google Maps menunjukkan bahwa jalur yang akan mereka lalui adalah ke kiri. 

“Tapi Aden jangan ngeluarin tangan dan kepala, ya?”

Devan mengangguk cepat. Anak itu kembali ke posisi setelah perlahan kaca mobil mulai turun. Devan memejamkan mata sambil tersenyum, menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Devan bahagia, sebentar lagi ia akan menemui teman perdananya. Devan makin tak sabar untuk tiba di rumah Alvarez dan bermain dengan anak itu.

Devan menoleh ke sekitar kala merasakan mobil yang ditumpanginya berhenti. Di depannya, kini terdapat sebuah rumah yang dapat ia lihat dari sela-sela gerbang yang mengelilingi rumah itu. Rumah yang besarnya tak jauh berbeda dari rumah sang papa.

“Cari siapa, ya, Pak?” tanya seorang satpam yang baru saja menghampiri mereka dan berdiri di samping mobil mereka.

“Cari siapa, Den?” tanya Doni pada Devan karena bingung harus menjawab apa.

“Devan cali Alva, Pak.”

Sang satpam mengangguk, ia berlari dan membukakan pintu gerbang, membiarkan mobil yang dikendarai oleh Doni memasuki pekarangan rumah.

“Ayo, Den. Kita turun,” ajak Doni. Pria itu turun, ia memutari mobil, lalu membuka pintu samping Devan lalu menurunkan anak itu.

Kedua laki-laki berbeda usia itu berjalan beriringan menuju rumah besar itu. Mereka berdiri di depan pintu, setelah Doni memencet bel rumah.

Tak sampai satu menit setelahnya, pintu itu terbuka, menampilkan tubuh seorang wanita.

“Maaf, cari siapa, ya, Pak?” tanya Ani dengan sopan.

“Apa benar ini rumahnya Alva, Bu?” tanya Doni.

Ani mengangguk. “Benar, Pak. Ada apa, ya?”

“Tuan muda saya ingin bertemu dengan Alva.”

“Kalau begitu masuk dulu, Pak. Biar saya panggilkan Den Alva.”

Doni dan Devan memasuki rumah setelah Ani mempersilakan dengan membukakan pintu makin lebar. Keduanya diarahkan ke ruang tamu dan duduk di sana. Sementara Ani bergegas menghampiri Alvarez yang saat ini tengah bersama Raina di kamar anak itu.

Tok-tok-tok!

“Masuk!” sahut Raina.

Ani segera membuka pintu itu. Ia melongokkan kepalanya, lantas berdiri di ambang pintu.
“Bu, di luar ada tamu. Katanya mencari Den Alva.”

Kening Raina mengernyit.  Ia menoleh pada Alvarez yang juga menatapnya.
“Ayo temui dulu, Sayang,” ajak Raina, ia mengulurkan tangannya pada sang anak. Pandangan perempuan itu kemudian beralih pada Ani yang tetap berdiri di posisi. “Ani, saya minta tolong buat beresin alat belajar Alva, ya.”

Dengan cepat Ani mengangguk. “Baik, Bu.”

“Siapa olang yang caliin Alva, Ma?” tanya Alvarez pada Raina yang memegang lengannya ketika mereka sedang menuruni anak tangga.

“Mama juga belum tahu, Sayang.” 

“Alva!” seru Devan kala melihat Alvarez sudah tiba di ruang tamu. Anak itu segera turun dari sofa dan berlari menghampiri Alvarez.

“Devan!” Alvarez ikut berseru. Ia ikut berlari. Ketika keduanya sudah berdiri berdiri berhadapan, mereka langsung memeluk satu sama lain. Sungguh terlihat seperti kawan lama yang melepas rindu.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang