Bab 67

13.8K 735 17
                                    

Happy Reading!

“Algha, Rea, Widia, kalian harus persiapkan diri kalian sebaik mungkin karena waktu kita hanya tersisa hari ini saja. Besok kalian akan menghadapi olimpiade yang kalian tunggu-tunggu.” Ucapan berisi petuah dari seorang guru yang menjadi mentor persiapan olimpiade matematika mereka itu membuat tiga siswa yang duduk bersisian itu mengangguk. Tak ada lagi waktu bersantai bagi mereka, sebab hari olimpiade sudah di depan mata.

“Kalo kita kalah gimana, Bu?” Pernyataan itu keluar dari bibir Rea, diiringi matanya yang terlihat penuh keraguan.

Bu Anggun tersenyum menanggapinya.
“Tak apa, Rea. Anggap saja menang itu sebagai bonus. Dengan kalian bersedia menjadi perwakilan sekolah saja Ibu merasa sangat berterima kasih.”

“Kalah setelah bertarung lebih baik daripada menyerah sebelum dimulai,” ucap Algha. Tentu saja hal itu membuat tiga pasang mata di sekitarnya seketika tertuju padanya, karena sejak setengah jam lalu mereka berkumpul, tidak ada satu pun suara yang dikeluarkan oleh Algha. Remaja itu seakan-akan selalu setuju dengan apa yang mereka katakan, tanpa mau repot-repot mengeluarkan sanggahan.

“Ibu setuju dengan apa yang dikatakan Algha,” tutur Bu Anggun. Setelahnya, wanita itu memberikan masing-masing satu selebaran kepada ketiga murid di hadapannya. “Ini bisa kalian pelajari di rumah agar kalian lebih mudah untuk mengingat rumus-rumus matematika yang telah kita pelajari. Oh iya, besok kalian sudah harus standby di lokasi pukul 07.30, ya. Karena waktu pelaksanaan olimpiade pukul 08.00,” pesannya.

“Siap, Bu. Kalau begitu, kami permisi, Bu,” ucap Widia berpamitan. Ia kemudian berdiri dan menyalimi Bu Anggun, diikuti oleh Algha dan Rea yang melakukan hal yang serupa.

Setelah tiba di depan ruang guru, rangkulan akrab yang diberikan seseorang membuat Algha menoleh. Di sampingnya, sudah ada Bryan yang menatapnya dengan penuh semangat, tak lupa seorang perempuan yang sudah beberapa Minggu ini berkumpul bersamanya.

“Mulai olimpiadenya besok jam berapa, Gha?” tanya Bryan, seiring dengan kaki mereka yang melangkah menuju kantin.

“Jam delapan, tapi gue harus tiba di lokasi setengah jam sebelumnya,” jawab Algha.

“Cie, yang mau bertarung dengan rumus-rumus,” goda Alsa. Ya, Alsa. Kalian masih mengingatnya bukan? Gadis yang pernah mengganggu Algha saat di perpustakaan agar diperbolehkan membaca komik incarannya terlebih dahulu. Alsa yang memang sejatinya tak pernah mempunyai teman, kini memutuskan untuk mengikuti Algha saja, remaja yang tak sengaja dikenalnya dan memiliki hobi yang sefrekuensi dengannya.

Algha menoleh, hanya tatapan tak berminat yang ia tujukan pada Alsa. Tanpa memberikan tanggapan via suara, Algha lebih memilih untuk mempercepat langkahnya, lantas memesan makanan dan membawanya menuju salah satu meja yang kosong.

“Temen lo gitu amat responsnya, Bry?” tanya Alsa. Bibir perempuan itu cemberut. Selalu saja begini, Algha yang selalu dingin dan menanggapi kalimat orang dengan apa adanya.

Bryan tertawa pelan. Sejenak matanya tertuju pada Algha yang sudah duduk anteng, lalu kembali menatap Alsa yang berjalan di sampingnya.

“Jangan heran. Dia emang gitu, Sa. Dari dulu dia termasuk orang yang susah didekati. Kalo pun bisa, mungkin dia bakalan jawab seperlunya aja. Ya, kecuali kalo lo udah temenan lama sama dia. Kayak gue yang udah temenan dari kecil sama dia.”

Alsa mengangguk mafhum. Ya, ia memang beberapa kali menemui orang seperti Algha, dan menurut analisanya, ada berbagai penyebab yang menjadikan seseorang bersikap dingin. Yang pertama, karena pengalaman buruk yang pernah dialami. Kedua, terlalu banyak hal yang dipendam dan enggan menceritakannya pada orang lain. Ketiga, mengidap trust issue. Terakhir, memang itu sikap aslinya.

“Besok lo datang ke olimpiadenya Algha?’ tanya Alsa, memilih untuk mengganti topik dan mengabaikan topik sebelumnya, lantaran jika mengulas topik tadi lebih jauh, Alsa hanya takut kebablasan saja.

Sembari memasukkan koin pada mesin minuman, Bryan mengangguk.
“Ya jelas gue datang, masa bestie gue satu-satunya lagi berjuang menghadapi rumus sialan itu gue nggak datang sih.”

Alsa mendelik mendengarnya, spontan tangannya menepak lengan Bryan. “Jadi gue bukan bestie lo?”

Bryan tak menjawab, terlebih dahulu tangannya mengambil minuman yang telah keluar dari mesinnya, lantas menoleh pada Alsa yang masih menatapnya kesal.
“Lo kan cuma orang asing yang ngintilin Algha.”

Jleb!

Seperti belati tak kasat mata, senjata itu berhasil menikam Alsa tepat di ulu hatinya. Apa yang dikatakan Bryan memang fakta, tetapi tetap saja rasanya Alsa tak terima mendengarnya. Tutur Bryan terlampau jujur. Tak bisakah Bryan berbohong sedikit untuk menjaga perasaannya? Memang benar, ya, mulutmu adalah harimaumu. Mungkin bagi orang ini hanyalah serangkai kalimat sepele, tetapi Alsa sudah terlanjur memasukkannya ke dalam hati, bahkan tembus usus jika bisa.

❄️❄️❄️

Usai makan malam, kegiatan keluarga Farrell kali ini adalah berkumpul di ruang keluarga, yang merupakan sebuah ide dari Raina yang ingin mereka meluangkan waktu sejenak untuk saling berbagi cerita. Rasanya, sudah lumayan lama mereka tak berkumpul santai semacam ini.

“Gimana sekolah kamu, Gha?” Itu adalah pertanyaan dari Farrell yang dikeluarkan dengan nada canggung. Ya, sejak konflik Algha yang salah paham dan mengiranya bermain di belakang Raina kala itu, hubungan mereka tak jua kunjung membaik.

Algha yang tengah duduk di seberang Farrell itu mengangguk kecil.
“Seperti biasa, baik,” ujarnya. Tatapannya kemudian mengarah pada Raina yang tengah membantu Alvarez belajar mewarnai. “Mama besok sibuk nggak?” tanyanya.

Raina mendongak, tatapannya menatap pada Farrell dan Geo sebentar, sebelum mengarah pada Algha.
“Enggak, kenapa emangnya, Sayang? Ada yang bisa Mama bantu.”

Algha mengangguk. “Mama nggak lupa, ‘kan, kalo besok hari Algha olimpiade?”

Raina tersenyum kecil, sebuah senyum tulus tanpa maksud apa pun.
“Tentu Mama ingat. Algha mau kami datang?”

Helaan napas terdengar dari bibir Algha. Remaja itu terlebih dahulu meminum air putih miliknya, sebelum kembali menatap sang mama yang masih menunggu jawaban darinya.

“Algha nggak terlalu ngarepin yang lain datang, tapi Algha sangat berharap Mama mau datang,” ucap Algha, kemudian bola matanya bergerak ke samping dengan kepala menunduk. “ ... untuk yang pertama kalinya,” lanjutnya dengan suara pelan, tetapi orang-orang di sana masih bisa mendengarnya.

Raina terkesiap dari duduknya. Ia sadar betul, luka yang sudah terlanjur tergores tak akan pernah bisa mengembalikan sesuatu seperti semula, meskipun telah melakukan berbagai cara. Manusia mungkin bisa melupakan di mana ia meletakkan benda berharganya, tetapi manusia tak akan pernah dengan mudah melupakan luka yang telah seseorang toreh di hatinya. Seperti sebuah kutipan yang mengatakan: “aku memang bisa memaafkan, tapi perlu diingat bahwa aku bukanlah seorang pelupa”. Tentunya makna yang terkandung di dalamnya dapat dengan mudah ditangkap.

Seperti ucapan Algha, bagi orang lain, mungkin itu hanyalah serangkai kalimat tak bermakna, tapi bagi Raina, kata itu mengandung lara yang selama ini terus berusaha dikubur dalam-dalam oleh anak sulungnya itu.

Raina menoleh kala merasakan elusan di punggungnya, entah sejak kapan suami tampannya itu sudah duduk di sampingnya. Raina tersenyum, mencoba meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Mama pasti datang, Mama janji, Nak,” ucap Raina kemudian, penuh ambisi. Kali ini, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan hidupnya. Kesempatan memang bisa saja datang berkali-kali, tapi Raina tak pernah yakin kesempatan hidup akan serupa konsepnya dengan kesempatan lainnya.


 To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang