Bab 18

39.2K 1.8K 49
                                    

Happy Reading!

“Mama!”

Suara itu terdengar seiring dengan hadirnya sosok anak laki-laki kecil yang berlari kecil menghampiri Raina dan Farrell. Dengan segala upaya, Alvarez berusaha untuk naik ke atas ranjang, tetapi tubuh mungilnya tetap tidak mampu. Ia menatap sang papa yang posisinya paling dekat dengannya dengan tatapan meminta tolong. Hingga akhirnya Farrell mengangkatnya dengan mudah dan mendudukkannya di pangkuan pria itu.

“Adek sudah mandi?” tanya Raina.

Alvarez mengangguk cepat lalu mengendus aroma jeruk dari tubuhnya sendiri, tentunya berasal dari sabun pilihan Raina yang belum lama ini dikenakannya.

“Udah tadi sama Bi Ani. Alva juga udah wangi kok, Ma.”

Raina tersenyum. Perempuan itu berjalan menuju kamar mandi untuk menggantung handuk yang tadi dipakainya untuk mengeringkan rambut Farrell. Tak sampai satu menit, ia kembali berjalan ke arah ranjang. Raina mencium pipi Alvarez, lantas mengangguk puas.

“Iya, udah wangi banget.”

Alvarez tersenyum lebar. Ia suka pujian. Anak itu merentangkan tangan, meminta untuk digendong.

“Alva digendong Papa aja, kasihan Mama capek,” ucap Farrell.

“Emangnya Mama capek habis ngapain?” tanya Alvarez sambil menatap Raina dengan raut wajah penasaran. Seperti anak kecil pada umumnya yang memiliki rasa keingintahuannya yang tinggi.

Raina dan Farrell saling pandang. Semburat merah perlahan naik ke wajah Raina. Perempuan itu sampai memalingkan wajah demi menyembunyikan kedua pipinya yang merona. Sialan, ia kembali teringat kejadian semalam.

Mengerti bahwa sang istri malu-malu, Farrell pun segera mengusap kepala Alvarez, hingga kepala anak itu pun menoleh ke arahnya.

“Kemarin nangkap kodok besar,” jawab Farrell, sangat impulsif karena ia belum menemukan jawaban yang tepat.

“Memang di kamar Papa ada kodok?” Alvarez kembali bertanya.

Farrell segera mengangguk dengan wajah serius, berusaha membuat si bungsu percaya dan tak kembali menodongkannya dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana, tetapi membuat senam jantungnya itu.

“Ayo sarapan, Abang pasti udah nunggu,” potong Raina, cepat. Ia tahu, pasti suaminya bingung harus menanggapi bagaimana pertanyaan Alvarez yang seolah-olah akan terus berlanjut sampai anak itu mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Farrell mengangguk setuju. Ia segera berdiri dan berjalan menuju dapur, diikuti Raina di belakangnya.

Sesampainya di dapur, benar saja bahwa sudah ada Algha yang tengah duduk di kursi meja makan sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Lelaki itu menoleh kala merasakan kehadiran orang lain. Ditatapnya dengan heran sang papa yang tumben saja pagi ini memakai setelan santai. Namun, daripada harus bertanya, Algha justru memilih untuk bungkam. Terlalu malas membuang-buang suara hanya untuk bertanya perihal sesuatu yang menurutnya tidak terlalu penting.

Raina menyajikan masing-masing seporsi makanan untuk keluarganya, kecuali Alvarez yang hanya ia ambilkan dengan porsi yang lebih sedikit.

“Alva mau disuapi atau makan sendiri?” tanya Raina setelah mendudukkan diri di samping Alvarez dan di depan Algha.

Alvarez menoleh. “Alva makan sendili (sendiri). Kan Alva sudah besal (besar).” Ia kemudian mulai menyantap makanannya, walau masih berantakan.

Raina tersenyum, ia mengacak pelan rambut anak itu. Alvarez termasuk pintar di usianya yang baru menginjak umur tiga tahun. Raina bangga akan hal itu. Raina berusaha untuk tidak melarang apa pun yang dilakukan dan diinginkan oleh anak-anaknya, selagi itu masih dalam batas wajar serta tidak membahayakan diri mereka dan orang lain. Raina ingin anak-anaknya tumbuh dengan bahagia.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang