Extra Part

11.1K 739 111
                                    

Happy Reading!

Apa itu bahagia? Sebatas kata atau hak setiap orang dapat merasakannya? Kata mereka, bahagia setiap orang itu ada porsi dan waktunya masing-masing. Namun, kapan Algha akan merasakan kebahagiaan itu benar-benar datang dan nyata dalam hidupnya?

Apakah benar, bahagia itu sifatnya hanya sementara? Apakah ia hanya datang sebagai hadiah atas rasa sakit yang diterima? Atau justru penenang agar tak terus-menerus menyalahkan takdir yang ada?

Algha tetap tak mampu menjawabnya. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mampu ia respons dengan logika pun tak lagi mampu Algha telusuri maknanya.

Kehilangan, ya, kehilangan kali ini membuat Algha merasa akal sehatnya telah mati bersama sang mama. Algha kalut. Ia belum menyiapkan diri atas apa yang akan terjadi. Tak pernah terpikirkan sedikit pun bagi Algha bahwa akhirnya akan seperti ini.

Ia kira, Tuhan telah berbaik hati memberinya kebahagiaan dengan berubahnya sang mama menjadi lebih baik, tetapi ternyata Algha salah. Lagi dan lagi hanya ujian yang ia dapat, bahkan Algha merasa ujian kali ini sangatlah berat. Lantas, apakah salah jika Algha menyalahkan takdir yang ada?

Ya, tak perlu dijawab. Algha sudah tahu jawabannya. Tentu salah betul jika ia menyalahkan takdir. Seharusnya Algha tahu bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Seharusnya Algha belajar dari yang sudah-sudah. Seharusnya ... banyak kata seharusnya yang seharusnya ia lakukan.

Kini Algha hanya dapat diam tanpa tahu harus melakukan apa. Semuanya sungguh di luar ekspektasinya. Wanita yang belum lama ini menyayanginya, memberikannya cinta dan kasih sayang seorang ibu, memberinya begitu banyak perhatian, kini telah tiada.

Padahal ini sudah terhitung hampir seminggu setelah kepergian sang mama, tetapi kesedihan yang ia rasa belum jua reda. Rumahnya kini telah tiada. Rumahnya kini telah bersemayam bersama bentala. Semua telah berubah sejak kepergian Raina, bahkan rumah yang kini ia tinggali pun tak lagi terasa kehangatannya. Rumah impian yang telah Raina bangun susah payah, sekarang telah runtuh, menyisakan puing-puing yang kapan saja dapat melukai si penghuni rumah jika tidak segera dibereskan dengan benar.

“Abang!”

Tak perlu lagi menoleh, Algha sudah tahu itu suara siapa. Ya, adiknya. Si bungsu yang masih belum mengerti apa-apa pun harus kembali menjadi korban kejamnya semesta.

“Den Al nangis terus, Den, terus minta diantarin ke Den Algha,” ucap Ani kemudian memberikan Alvarez pada Algha yang tengah duduk di atas ranjang.

“Al mau sama Mama.” Alvarez kembali menangis sembari memeluk erat leher sang kakak.

“Bibi istirahat aja, biar Algha yang urus Al.”

“Tapi nanti Aden kewalahan.”

“Enggak apa-apa, Bi. Ini juga udah jadi tanggung jawab Algha setelah Mama pergi,” sahut Algha.

Ani tak membantah lagi, perempuan itu pun memilih keluar dari kamar.

Setelah pintu kamar kembali tertutup, fokus Algha kembali beralih pada Alvarez. Ia cukup prihatin dengan keadaan sang adik. Tubuhnya kian kurus sebab jarang sekali mau makan dan hanya banyak menangis sembari terus mencari Raina.

“Al mau sama Mama, Bang.” Alvarez kembali bersuara di sela-sela isak tangisnya.

Algha tak menjawab. Ia hanya terus mengusap kepala dan punggung sang adik. Algha bukanlah tipe orang yang bisa menenangkan orang lain yang sedang kacau. Ia hanya meniru cara yang dulu Raina lakukan ketika Alvarez sedang rewel. Ajaibnya, perlahan tangis itu mereda.

“Mama ke mana, Bang? Kok nggak pulang-pulang? Mama nggak sayang lagi, ya, sama Al? Al nakal, ya, makanya Mama pergi?”

Algha terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Kenyataan yang mereka hadapi sama-sama membuat keduanya terluka. Mereka masihlah anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua, terutama dari sang mama. Namun, kini Raina telah pergi, lantas ke mana lagi mereka akan datang jika raga mereka memerlukan tempat untuk pulang?

❄️❄️❄️

Algha membuka pintu ruang khususnya yang berada di apartemen pemberian sang mama, setelah mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian biasa. Kemudian, Algha mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di depan sebuah papan lukis. Ditatapnya kanvas yang masih berwarna putih bersih itu dengan tatapan kosong.

Sejenak Algha menghela napas pelan sembari memejamkan mata, sebelum memulai aktivitasnya. Lelaki itu mulai menggambar apa saja yang ada di otaknya. Ia curahkan seluruh perasaannya pada lukisan itu. Tentang kehilangan, kehancuran, kesepian, dan ketakutan yang melandanya.

Namun, tak sampai lukisan itu selesai, Algha membanting kuas yang dipegangnya ke arah papan lukis. Setelahnya, ia berteriak kencang sembari meremas rambutnya.

“Algha capek, Ma,” lirihnya kemudian dengan air mata yang tak terasa sudah membanjiri pipinya.

Persetan dianggap lemah. Sebab pada kenyatannya , Algha memanglah lemah. Nyatanya, ia tak sekuat itu kehilangan sang mama. Nyatanya, Algha sangatlah lemah tanpa mamanya. Algha hancur, Algha berantakan, Algha perlu sang mama di sampingnya. Algha kehilangan arah, ia seperti kehilangan tujuan hidupnya setelah Raina tiada.

Ya, Rainalah tujuan hidup Algha. Algha merasa tenang jika ada sang mama, sekalipun wanita yang melahirkannya itu tak memedulikan kehadirannya. Sekalipun kehadiran wanita itu hanya menumbuhkan banyak luka di hatinya. Semua tak apa, asal mata Algha masih dapat menangkap kehadiran wanita itu di sampingnya, di sekitarnya.

Selama ini, Algha hanya berpura-pura kuat, berpura-pura tegar, berpura-pura baik-baik saja di depan orang lain. Algha hanya tak ingin mereka tahu bagaimana hancurnya Algha.

Algha kembali menangis kala kenangan bersama sang mama muncul di ingatannya. Algha merindukan Raina. Algha merindukan semua hal tentang wanita itu. Algha ingin bertemu sang mama. Namun, apakah bisa? Apakah Tuhan mengizinkannya?

Algha menoleh kala mendengar dering ponselnya. Di raihnya benda itu, terpampang jelas nama sang papa di sana.

“Halo, Pa?”

“Al sakit, Gha. Nanti Papa kabarin lagi, sekarang Papa tutup dulu teleponnya, Papa lagi buru-buru mau bawa Al ke rumah sakit.”

Setelah telepon itu terputus, Algha segera beranjak dari tempatnya. Lelaki itu bersiap-siap untuk menyusul sang papa. Biarkan kali ini ia mengesampingkan egonya demi sang adik. Biarkan kali ini Algha kembali mengubur kesedihannya dengan kekhawatiran hal lain. Anggap saja sejenak pelarian rasa sakit yang ada.

❄️❄️❄️

Algha menggendong Alvarez menuju ke taman rumah sakit. Ia tak tahu harus melakukan apa ketika adiknya itu terus saja menangis di ruang rawat, sedangkan Farrell tengah ada urusan mendadak, sehingga ialah yang bertugas menjaga sang adik.

“Mau Mama, Bang.”

Kalimat itu, lagi-lagi kalimat itu yang ia dengar keluar dari mulut Alvarez. Anak itu sudah terlanjur bergantung dengan Raina. Meski ia pun sama, tetapi Alvarezlah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan wanita itu.

“Al mau ikut Mama.”

Algha lelah menghadapi ini semua. Rasanya ia ingin berteriak saja pada semesta, atau setidaknya melambaikan tangan pada Tuhan. Bolehkah jika Algha ingin menyerah?

“Mama sudah pergi, Al!” bentaknya. Emosinya sudah meletup. Ketahuilah, tak selamanya yang sabar akan sabar, tak selamanya yang diam akan tetap diam. Algha juga manusia. Dia pun memiliki emosi dan egonya.

“Tidak, Mama tidak pelgi. Al tahu Mama di sini!”

“Mama sudah mati, Al!”

“Abang jahat! Al benci sama Abang!”Alvarez memberontak dari gendongan Algha. Anak itu kemudian berlari begitu saja menghampiri seorang wanita yang tengah duduk di kursi roda di temani seorang pria tua.

“Mama, Bang Al nakal!” adu Alvarez sembari menangis sebelum memeluk wanita itu.

“Alva ....”

Suara itu membuat Algha bergeming di tempat kala dengan banyak pertanyaan yang mulai melandanya. Ia merasa tak asing, tetapi Algha rasa ia tak pernah bertemu dengannya. Sebenarnya, siapa wanita itu? Batinnya mulai bertanya-tanya.


End ....
A/n: minal aidzin wal faizin, kalo ada salah maafin, sekalian juga bisa nih kirim THR ke rekening. Hhe🙏
Maafin ending yang kurang ini ye. Selamat lebaran!

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang