Bab 35

24.2K 1.2K 25
                                    

Happy Reading!

Pagi ini suasana rumah tampak amat tenteram dan damai sekali, terlihat dari anggota keluarga yang sedang melakukan aktivitas sarapan di meja makan sambil sesekali diselingi obrolan ringan.

“Alva nanti mau ikut Mama nggak?”

Tawaran dari Raina itu membuat Alvarez yang tengah menyuap makanan ke mulutnya itu menoleh.
“Mama mau ke mana?” tanyanya dengan suara tak jelas sebab sambil mengunyah.

Raina tertawa pelan melihatnya. Diusapnya lembut kepala Alvarez yang duduk tepat di sampingnya.
“Mama mau antar Abang, terus nanti mampir ke supermarket.”

Mendengar kata supermarket, seketika membuat mata kecil Alvarez berbinar-binar.  Toko yang dipenuhi dengan berbagai macam makanan itu telah menjadi tempat favorit Alvarez. Apalagi ketika ia dibelikan susu kotak dan cokelat kesukaannya.

“Alva ikut!” seru Alvarez dengan nada  sambil mengangkat sebelah tangannya. Ia adalah orang yang akan paling bahagia bila diajak ke sana.

“Ya sudah, Adek habisin makanannya dulu,” ucap Raina.

“Mama mau beli apa di sana?”

Raina menoleh, ditatapnya sang empu yang bertanya.
“Belanja, sama ada yang mau Mama beli,” jawabnya yang dibalas anggukan ringan oleh Algha. “Abang mau titip sesuatu?”

Sejenak Algha berpikir, lantas mengangguk dan menjawab,
“Algha titip beliin makanan Poli aja, Ma.”

“Ya sudah, selesaikan sarapannya dulu, baru kita berangkat,” ajak Raina, semuanya pun mulai makan dengan khidmat.

❄️❄️❄️

Sebuah mobil yang ditumpangi oleh keluarga Farrell berhenti tepat di depan sekolah swasta dengan nama SMA Taruna Bakti yang terukir indah di atas gerbang sekolah. Lantas, Algha dengan seragam rapi dan tas gendong berwarna hitam itu menatap ke arah luar kaca, sebelum kembali menatap orang tuanya.

“Algha turun, Ma,” ucapnya. Diraihnya tangan Raina lalu Farrell dan mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.

Raina mengangguk, posisinya yang duduk di kursi penumpang samping kemudi membuatnya sedikit memiringkan tubuhnya ke belakang. Tak lupa, perempuan itu memberikan senyumannya pada si anak sulung.

“Belajar yang rajin, ya, Nak? Nanti pulangnya Mama jemput.”

Algha tersenyum sambil mengangguk kala Raina mengusap kepalanya dengan lembut. Remaja itu menoleh kala merasakan tarikan kecil di tasnya.

“Alva mau salim,” ucap Alvarez, diiringi dengan senyum polosnya. Anak itu segera menyambut tangan Algha ketika lelaki itu mengulurkan tangannya.  “Abang sekolah yang lajin, bial jadi bos kayak Papa, hehe.”

Algha tak dapat menahan senyumnya, kedua sudut bibirnya terangkat begitu saja. Diacaknya rambut Alvarez yang duduk di kursi sampingnya.

“Alva yang nurut sama Mama.” Alvarez segera mengangguk. “Ya udah, Algha turun dulu, ya, Ma, Pa.”

“Hati-hati, Gha.”

Ucapan singkat itu berhasil membuat gerakan Algha yang ingin membuka pintu menjadi berhenti. Kepalanya mendongak, menatap sang papa yang melihat lurus ke depan, seolah-olah tak mengatakan apa pun.

Melihat respons Farrell, Raina hanya dapat menggeleng kecil. Suaminya itu terlalu sayang dengan gengsi besarnya. Namun, tak apa. Bagi Raina, ini sudah menjadi sebuah kemajuan.

“Algha turun, Ma,” pamit Algha sekali lagi lalu membuka pintu. Baru saja kakinya menginjak tanah, sebuah suara sahabatnya berhasil masuk ke telinganya.

“Oi, Algha!” seru Bryan. Seperti biasa, anak itu selalu terlihat riang, apa pun kondisi dan situasinya. Setelah posisinya dekat, rangkulan tangan langsung dilakukan di pundak Algha. “Pagi, Tante, Om,” sapanya kala Raina membuka kaca mobil.

Raina tersenyum. “Pagi juga, Bryan,” sapanya balik, “Tante titip Algha, ya, Bry?”

Bryan langsung mengangguk sambil meletakkan tangannya di pelipis. “Siap, Tante. Laksanakan!”

“Ma ....” Berbeda dengan Bryan yang semangat, Algha justru menampilkan wajah kesalnya. “Kita masuk dulu, Ma,” ucapnya. Ia segera menarik lengan Bryan untuk memasuki gerbang. Bryan itu tipe orang yang banyak bicara, ia tak akan diam, apalagi jika menemukan seseorang yang sefrekuensi dengannya seperti Raina.

Raina hanya mampu menggeleng sembari tertawa pelan. Wajah kesal Algha terlihat lucu di matanya. Tak biasanya anak itu berekspresi seperti itu. Raina kembali menutup kaca mobil lalu menoleh ke belakang.

“Alva mau duduk dipangku Mama?” tawarnya, yang tanpa ditawarkan dua kali langsung diangguki.

Alvarez berdiri, ia berusaha untuk maju dan duduk di pangkuan Raina dengan bantuan Farrell yang mengangkat tubuhnya.

Setelah memastikan anaknya duduk dengan tenang, Farrell pun kembali menjalankan mobilnya menuju supermarket. Tak memerlukan waktu lama, bangunan supermarket sudah terlihat di depan mata. Farrell menghentikan laju mobilnya dan memarkirnya di parkiran yang tersedia.

“Mas berangkat ke kantor aja,” ucap Raina.

“Kamu nggak apa-apa sendirian?”

“Mama nggak sendilian, kan Alva nemenin Mama di sini,” jawab Alvarez dengan polosnya.

Raina menyengguk dengan tangan yang sibuk menyugar kepala Alvarez yang tengah bersandar di dadanya.

Farrell menghela napas, mau tak mau ia mengangguk. Pria itu meraih dompetnya dan mengambil kartu ATM unlimited, lantas memberikannya pada Raina yang langsung diterima baik oleh wanita itu.

“Padahal Mas nggak perlu repot-repot ngasih lagi, lho, tapi kalo Mas maksa juga aku bisa apa,” ucap Raina sambil tersenyum malu-malu. Wanita mana yang akan menolak uang? Apalagi itu adalah uang pemberian suaminya sendiri. “Ya udah, aku sama Alva turun dulu, ya? Mas hati-hati di jalan. Salim dulu sana Papa, Dek,” ucap Raina yang diakhiri suruhan untuk si bungsu.

Alvarez menurut, diciumnya punggung tangan sang papa.
“Papa kelja yang lajin, bial dapat uang banyak, telus beliin Alva banyak mainan.”

Farrell mengangguk, ditepuknya pelan kepala Alvarez sambil tersenyum. “Doakan Papa, ya, Nak.”

Always, Papa!”

Setelahnya, Raina dan Alvarez turun dari mobil. Keduanya berjalan bergandengan memasuki area supermarket. Kemudian, Farrell yang masih berada di dalam mobil mulai kembali mengendarai mobilnya kala melihat anak dan istrinya sudah aman sampai masuk ke dalam supermarket.

Raina mengambil sebuah troli dan menaikkan Alvarez ke sana. Perempuan itu berjalan keliling dan mengambil apa saja barang yang diperlukannya sembari melihat daftar belanjaan yang sebelumnya sudah ia persiapkan dari rumah.

“Mama, Alva mau itu!” seru Alvarez dengan jari yang menunjuk ke arah susu kotak berbagai merek yang berjajar di rak yang berada tak jauh dari mereka.

Raina menurut, ia mendorong troli ke arah rak tersebut dan mengambil beberapa macam susu dan memasukkan ke dalam troli.

Raina berbelok menuju rak sayuran. Namun, ketika hampir mendekati rak sayuran, seseorang tak sengaja menabrak bahu Raina.

“Maaf, Tante. Aku nggak sengaja,” ucap orang itu.

Raina menoleh, ditatapnya orang itu yang ternyata adalah seorang gadis yang kira-kira seusia anak sulungnya. 
“Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati, ya?” katanya dengan nada lembut.

Gadis itu mengangguk. “Terima kasih dan sekali lagi maaf, Tante,” sahutnya, “Permisi dulu, Tante.”

Raina menoleh, ia menatap punggung gadis itu yang terlihat makin menjauh. Gadis dengan potongan rambut sepundak itu masih terlihat menggunakan seragam putih-abunya, hanya saja seragamnya sudah tak terlihat rapi, dengan baju yang dikeluarkan dan dasi yang tergantung begitu saja di leher. Sangat tidak mencerminkan sebagai siswa disiplin di sekolah. Memilih untuk tak ambil pusing, Raina kembali mendorong troli dan membeli barang apa saja yang sudah masuk ke dalam daftar belanjaannya.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang