Bab 49

16.5K 795 70
                                    

Happy Reading!

Mobil sewaan yang dikendarai oleh Rizal itu berhenti di lobi hotel. Farrell mau datang ke sini semata-mata untuk memenuhi undangan dari salah satu kolega bisnisnya yang tengah menyelenggarakan sebuah pesta ulang tahun pernikahan. Jarang sekali ia menghadiri acara seperti ini, apalagi acara kali ini diadakan saat siang hari—berbeda dari biasanya, orang-orang lebih banyak memilih untuk menyelenggarakan pesta di malam hari.

Di samping Farrell, terdapat Rizal yang berjalan beberapa langkah di belakangnya. Farrell mengibaskan kedua sisi depan jas mahalnya, lantas memasuki bangunan hotel. Pria itu melewati karpet merah yang digelar sepanjang jalan, dari lobi hingga pintu yang terhubung langsung dengan ruangan yang dijadikan sebagai tempat pesta.

“Wah, Pak Farrell datang juga, ya? Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memenuhi undangan saya.” Ucapan itu datang dari seorang pria yang usianya berkisar sekitar 60 tahun. Di sela wajah keriputnya, senyum pria itu tidak luntur.

Farrell mengangguk. “Terima kasih kembali, Pak Fajar. Semoga pernikahan Bapak dan istri bertahan hingga maut memisahkan.”

“Aamiin,” sahut Fajar, “saya dengar, Pak Farrell datang ke kota ini karena ingin melebarkan sayap bisnis, ya? Kali ini di bidang apa?”

“Kami berencana mengembangkan perusahaan di bidang kuliner. Sekarang sedang dalam tahap seleksi lokasi,” jelas Farrell.

Ia sudah sangat hapal sekali, pertemuan seperti ini pasti tidak hanya berbasa-basi tentang pesta yang tengah diselenggarakan. Sesama seorang pengusaha, tentunya yang berhubungan dengan bisnis tak pernah lepas dari topik obrolan mereka. Sudah menjadi kebiasaan, bahkan sering kali acara yang dihadiri hanya akan menjadi formalitas semata dan menghargai rekan kerja. Selebihnya, banyak oknum yang memanfaatkan pesta seperti ini untuk urusan bisnis mereka. 

“Wah, menarik sekali. Pak Farrell memang keren,” puji Fajar.

Farrell tahu, beberapa orang melontarkan pujian seperti ini hanya sekadar menghargai. Beberapa ada yang bermuka dua, di depan memuji, di belakang berusaha mencari cara agar bisnis lawannya segera pailit dari dunia industri.

“Ya sudah, saya ingin menyambut tamu lainnya. Pak Farrell silakan menikmati hidangan yang telah kami sajikan,” lanjut Fajar, kemudian berlalu dari hadapan Farrell.

Usai kepergian Fajar, Farrell pun memilih berjalan menuju stand makanan, tentunya masih dengan Rizal yang setia membuntutinya.

“Pak, saya izin ke toilet, ya?” pamit Rizal.

Farrell tak menjawab, ia hanya mengangguk sekilas. Pria itu lantas mengambil sebuah kue berukuran sekali makan, lalu melahapnya.

“Eh, Farrell ada di sini juga?”

Ucapan itu membuat Farrell menoleh. Di sampingnya, sudah berdiri sosok Salsa dengan tampilan modisnya. Farrell tahu, kakak iparnya itu tentunya tak pernah mau ketinggalan zaman. Bahkan, long dress dengan belahan sebatas paha yang mempertontonkan kaki mulusnya itu adalah pakaian keluaran terbaru.

“Raina tidak ikut, Far?” Salsa kembali melontarkan pertanyaan, tanpa memedulikan raut wajah milik Farrell.

Farrell mengangguk sekilas. Rasanya ia sangat malas untuk menanggapi kakak iparnya itu. Mungkin orang lain yang melihatnya akan menganggap wajar apabila adik dan kakak ipar saling bercengkrama. Namun, Farrell merasa tidak nyaman berada di dekat wanita itu. Ia juga ingat ucapan istrinya yang mengatakan bahwa wanita di sampingnya saat ini seperti serigala berbulu domba.

“Pelayan!” panggil Salsa ada seorang pelayan yang berada tak jauh dari mereka berdiri sambil membawa nampan berisi minuman. Salsa meraih dua gelas minuman yang berasal dari nampan yang dipegang pelayan itu, lantas memberikan salah satu gelas kepada Farrell. “Minum, Far.”

Farrell mengangguk sekilas. Ia mengambil gelas itu, lantas tanpa curiga sedikit pun, ia mulai meminum minuman itu hingga tersisa setengah gelas. Farrell meletakkan gelas yang dipegangnya di atas stand makanan. Tak tahu saja ia bahwa sejak tadi Salsa menatapnya sambil tersenyum miring, terlihat seperti seseorang yang tengah memiliki maksud misterius.

Farrell mengibaskan jas yang dikenakannya. Ia mulai merasa ada yang salah dengan dirinya. Entah kenapa Farrell tiba-tiba merasakan sedikit puisng dan hawa panas pada tubuhnya, padahal jelas-jelas sejak ia masuk ke ruangan ini, suhu yang dirasakannya terasa normal.

Lantas, tatapan Farrell beralih pada Salsa yang masih meminum minumannya dengan pandangan yang mengarah pada kumpulan orang di sana. Wanita itu bersikap seolah-olah tak ada yang salah.

Merasa diperhatikan, Salsa pun menoleh.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu, Farrell? What happen?”

“Kau ... apa yang kau berikan pada minumanku?” tanya Farrell. Suaranya tak biasa, terdengar nada marah di dalamnya. Pusing yang dirasanya kian menjadi. Tatapan pria itu mulai berkunang-kunang. Sedikit-banyak. Farrell mengutuk Rizal yang tak jua kembali dari toilet.

“Farrell, ayo aku antar berisitirahat,” ucap Salsa.

Ia memegang kedua sisi lengan Farrell. Tanpa mengindahkan penolakannya dilakukan oleh Farrell, waniita cantik itu menggiring Farrell menuju salah satu kamar yang berada di hotel ini. Ia membuka pintu, lantas menguncinya dari dalam. Salsa pun membaringkan Farrell di atas ranjang hotel.

❄️❄️❄️

Algha memantulkan bola basket di tangannya ke arah lapangan ber-paving saat ini dipijaknya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hanya ada ia dan Bryan di tempat ini. Sebenarnya latihan basket hari ini masih diliburkan, sebab Pak Bima belum kembali dari urusannya.

Namun, karena Algha tak memiliki kegiatan untuk dilakukan di rumah, maka anak itu memilih untuk bermain basket di sekolah. Hitung-hitung sebagai latihan dan mengembangkan kemampuannya di bidang basket. Apalagi hari diadakannya turnamen basket makin dekat.

“Istirahat dulu, Bro!” ujar Bryan. Ia melempar sebotol air mineral pada Algha, yang langsung ditangkap baik oleh lawan bicara.

Algha mengangguk, ia meletakkan bola basket di bawah kakinya. Algha membuka tutup botol, lalu meminum isinya.

“Enggak mau beli sepatu lagi, Gha?” tanya Bryan. Pandangan remaja itu mengarah pada sepatu basket Algha yang sudah tampak usang. Bagaimana tidak, Bryan ingat sekali bahwa sepatu itu telah dikenakan Algha sejak dua tahun lalu.

Algha hanya menggeleng sambil menatap ke arah depan tanpa minat. Lelaki itu menoleh tatkala mendapati tepukan di pundaknya.

“Om Farrell masih di luar kota?” tanya Bryan, yang dibalas anggukan oleh Algha. Lantas, Bryan tersenyum sambil menepuk pundak Algha beberapa kali. “Kalo boleh kasih saran, coba lo minta sepatu basket ke Om Farrell. Om Farrell pasti bakalan langsung beliin. Selain itu, lo juga bisa jadiin ini sebagai bentuk usaha buat memperbaiki hubungan lo sama Om Farrell.”

Algha bergeming. Yang dikatakan oleh Bryan memang ada benarnya. Algha pun mengangguk.
“Oke, thanks. Nanti gue pikir-pikir lagi.”

Bryan kembali tersenyum. Ia menepuk pundak Algha sekali lagi, kemudian berdiri.
“Ayo pulang. Udah makin sore.”

Algha menurut. Remaja yang mengenakan jersei basket itu pun berdiri. Ia memakai tas punggungnya, lalu serta-merta membawa bola basket. Kedua remaja itu mulai berjalan meninggalkan area lapangan dengan posisi tangan Bryan merangkul pundak Algha.

To be continued ....
A/n: Dobel apa triple up nih? Mood kalian aman, ‘kan? Hhe!

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang