Bab 3

57.7K 3.1K 19
                                    

Happy Reading!

Raina mendudukkan dirinya di sofa dengan Alvarez yang berada di pangkuannya. Tangannya meraih remote control, kemudian menghidupkan televisi. Ia meletakkan kembali remote control ke atas meja setelah berhasil menemukan channel yang tengah menayangkan film yang cocok untuk anak seumuran Alvarez.

“Ini makanannya, Nya.” Ani yang baru saja menghampiri mereka pun segera meletakkan sepiring nasi dan segelas air di atas meja. “Saya pamit kembali ke belakang, Nyonya.”

Raina tersenyum manis. “Iya, kamu ambil saja makanan yang kamu inginkan. Anggap rumah sendiri, ya.”

Ani mengangguk pelan. Ia kembali ke dapur dengan membawa sejuta kebingungan yang makin mendera otak. Sungguh, kejanggalan yang terjadi pada majikannya membuat otak kecilnya makin sulit untuk diajak berpikir jernih. Ia seperti menemui nyonyanya dalam versi yang berbeda.

Selepas kepergian Ani, Raina mendudukkan Alvarez di sampingnya, kemudian mengambil piring makanan. Perempuan itu mulai menyuapi Alvarez.

“Ma, kalau yang lambutnya (rambutnya) satu itu siapa?” Pertanyaan itu keluar dari bibir mungil Alvarez, diikuti oleh tangannya yang bergerak menunjuk sosok kembar berkepala botak yang tampak di layar televisi.

Raina menoleh. “Oh, itu namanya Upin. Yang bajunya ada gambar garis satu, itu Ipin.”

Alvarez mengangguk paham. Anak itu kembali pada tontonannya sambil sesekali menerima suapan dari sang bunda.

Di tengah keasikan keduanya bercerita, seorang lelaki dengan seragam putih-abu—yang sudah dalam keadaan tak terlalu rapi—hadir memasuki rumah.

“Nak,” panggil Raina. Nadanya terdengar begitu lembut, disertai tatapan teduh yang tertuju pada pemuda itu. Ia mengenal wajah itu. Wajah yang beberapa saat lalu dilihatnya di sebuah pigura keluarga yang terpajang apik di ruang tamu. Salah satu wajah orang-orang yang berusaha untuk ia ingat—yang mungkin nantinya akan menjadi wajah-wajah yang akan lebih sering ditemuinya untuk hari ini dan ke depannya.

Alghafar Arga Stephan, nama yang indah dan pemilik nama itu kini menatap datar sang wanita yang memanggil namanya. Tanpa ada niat untuk menjawab, Algha melanjutkan kembali langkahnya.

Namun, lelaki itu berhenti tepat di depan kamarnya yang berada di lantai dua. Ia berbalik, memandang kembali ke arah ruang keluarga dari pembatas lantai dua. Suara celotehan sang adik masih terdengar jelas di telinganya. Untuk sosok Algha yang sejak kecil tak pernah merasakan kasih sayang dari sang mama, nada yang terdengar bahagia itu jelas saja membuat sepercik rasa iri hadir di hati kecil Algha.

Jujur saja, Algha juga ingin merasakan berada di posisi Alvarez, setidaknya walau hanya sejenak. Ia juga ingin dengan bebas bercerita, bercanda, dan tertawa bersama ibunya, tanpa harus takut diabaikan. Seperti yang selama ini Algha lakukan. Ia hanya berani bercerita kepada Raina saat wanita itu dalam keadaan tidak sadar, alias tertidur. Algha akan menceritakan segala keluh kesahnya, meskipun hanya di dalam hati sambil memandangi wajah tenang wanita yang telah melahirkannya itu.

Algha juga ingin merasakan tidur di pangkuan sang mama dengan elusan lembut di kepala yang ia terima. Mungkin saja, ini adalah keberuntungan sang adik yang dapat merasakan apa yang tidak pernah Algha rasakan selama ini.

Algha hanya dapat menghela napas kecil. Lelaki itu menggeleng pelan, sebelum akhirnya lebih memilih untuk memasuki kamarnya. Tubuhnya terasa begitu lelah, ia butuh istirahat, sebelum nantinya terbangun, dan kembali menerima kenyataan bahwa mamanya masihlah tetap orang yang sama. Ini konyol, tetapi Algha berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja dilihatnya hanyalah mimpi indah yang ia temui sebelum tidur. Bukan bermaksud buruk, Algha hanya tak ingin rasa iri itu kembali hadir menguasai relung hatinya.

Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Algha, Raina pun turut merasakannya. Ada sesak dalam hatinya ketika melihat Algha mengabaikannya. Untuk Raina yang tak pernah diabaikan oleh siapa pun, apalagi orang terdekatnya, hal kecil seperti ini tentunya membuat hati kecil Raina terasa nyeri dan sakit.

Tekadnya untuk membuat sosok itu luluh makin tangguh. Ya, ia tak akan pernah menyerah. Apalagi jika Tuhan memberinya banyak kesempatan, tentunya Raina tak akan menyia-nyiakan satu pun kesempatan yang diberikan Tuhan.

“Mama.”

Panggilan itu berhasil menyentak Raina dari lamunannya. Pandangannya yang semula tertuju pada pintu kamar Algha, kini beralih menatap sang anak bungsu yang menatapnya dengan cemberut.

“Mamam lagi, Ma,” ucap Alvarez, ia membuka mulutnya lebar, sudah siap menerima kembali suapan makanan kesukaannya.

Raina tertawa ringan. Ia menyendok makanan, kemudian kembali menyuapi Alvarez.
“Kalau makanannya sudah habis, Alva duduk sebentar terus bobok, ya?”

“Tapi Mama temenin Alva bobok,” pinta Alvarez. Matanya menatap memohon ke arah sang mama.

Raina mengangguk, sungguh mana tega ia mengabaikan tatapan menggemaskan itu.

❄️❄️❄️

Algha mendudukkan dirinya di kursi meja belajar setelah mengganti seragamnya dengan pakaian santai. Remaja itu meraih tasnya dan mengambil sebuah buku dari dalamnya. Algha mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya. Matanya beralih memandangi sampul buku yang tengah dipegangnya itu, cukup lama ia menatapnya.

Meskipun buku ini hanyalah buku sederhana, hanya sebuah buku tanpa garis pembentuk. Buku yang sengaja ia beli dari salah satu toko buku, dan buku yang selama ini ia gunakan untuk melukiskan semua impiannya. Mulai dari impian kecil hingga impian terbesar dalam hidupnya.

Algha menghentikan aktivitasnya, lantas meraih sebuah buku serupa yang berada di tumpukan buku di dekatnya. Tak lupa, remaja itu serta-merta mengambil pensil yang terdapat di tempat alat tulisnya. Tangannya dengan terampil mulai menggoreskan bagian tumpul pada pensilnya ke atas lembaran buku yang masih terlihat putih bersih. Menggambar adalah salah satu proses penenangan diri paling ampuh bagi Algha.

Algha berhenti melukis setelah memberikan sentuhan terakhir pada gambar arsirannya. Tak mewah, hanya sebuah lukisan menara Pisa yang jadi salah satu bangunan kebanggaan negara Italia. Sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu, Algha adalah tipe orang yang akan menuangkan apa saja yang ada di dalam imajinasi ke dalam bentuk gambar. Sederhana, tetapi Algha cukup merasa nyaman dengan apa yang sama ini ia lakukan.

Mengembuskan napas pelan, Algha menutup buku itu lalu meletakkannya kembali ke tempat asal. Ia memilih untuk mengganti buku. Kali ini adalah buku pelajaran. Namun, baru beberapa kalimat ia baca dengan teknik baca cepat, ketukan di pintu kamarnya membuat Algha berhenti membaca. Sejenak matanya melirik kecil ke arah pintu, ketukan tiga kali itu kembali terdengar di telinganya. Menarik napas pelan, Algha pun mengeluarkan suaranya.

“Masuk!” ucapnya, lalu kembali ke posisi semula. Akan tetapi, bukan untuk melanjutkan kegiatan membacanya. Anak itu hanya memandangi bukunya dengan hati yang sedang menunggu sang pengetuk pintu kamarnya tadi membuka pintu dan masuk. Algha dapat menebak itu siapa, tetapi hanya sekadar dugaan yang ia harapkan memang benar.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang