Bab 52

16.3K 1K 90
                                    

Happy Reading!

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Mereka menghabiskan hampir setengah hari untuk berbagi dan mengunjungi salah satu panti asuhan. Setelah membersihkan diri dan tidur siang, kini Raina dan dua anaknya tengah duduk di ruang keluarga. Wanita cantik itu menghidangkan masing-masing semangkuk bubur kacang hijau untuk mereka.

“Setelah berbagi tadi, apa yang Abang sama Adek bisa pelajari?” tanya Raina. Ia terlebih dahulu meletakkan mangkuk di atas meja, sebelum menatap dua anaknya bergantian.

“Kita halus baik dan berbagi sama olang, Ma,” jawab Alvarez.

Raina mengangguk. Walaupun jawaban itu kurang tepat, tetapi Raina cukup puas dengan jawaban yang diberikan si bungsu. Untuk anak seusianya, pendapat seperti itu sudah dapat dikatakan cukup bagus. Lantas, pandangan Raina beralih pada Algha yang tengah duduk dengan mata yang mengarah pada televisi sambil sesekali memakan  bubur kacang hijaunya.

“Kalo Abang?”

Algha menoleh. Diturunkannya mangkuk hingga bertumpu pada pahanya.
“Tak semua orang bisa hidup seberuntung kita. Ada banyak orang yang cacat secara finansial, tetapi mereka tak pernah mau menyerah begitu saja pada keadaan. Yang harus kita tiru adalah bagaimana cara mereka bersyukur, meskipun hanya sedikit rezeki yang mereka punya,” jawab Algha, mantap.

Raina mengangguk puas. Namun, perempuan itu merasa bahwa masih ada kelanjutan untuk ucapan Algha itu.  “Ada lagi?”

“Setiap orang pasti memiliki ujiannya masing-masing, dan cara Allah menguji setiap hamba-Nya itu berbeda-beda. Ada yang diuji lewat kekayaan dan kemiskinan, ada yang diuji lewat teman, bahkan ada yang diuji lewat keluarga. Mungkin Algha memang tidak diuji lewat segi finansial, tapi Algha terus diuji lewat keluarga,” sambung Algha. Pandangan remaja itu kembali beralih pada tayangan televisi. Meskipun demikian, dirinya tak benar-benar menonton televisi. Sebab nyatanya, ingatannya justru berputar kembali pada masa di mana orang tuanya belum seperhatian ini padanya.

Raina bergeming, ia sadar betul apa ujian yang dimaksud oleh Algha itu. Wanita itu tersenyum tanggung, lantas membawa kepala Algha bersandar pada pundaknya.

“Mungkin kata maaf aja nggak bakalan cukup buat hapus semua kesalahan yang udah Mama sama Papa lakuin ke Abang dan Adek, tapi Mama tetap mau meminta maaf, dan Mama bakalan terus berusaha buat jadi Mama yang baik buat Adek dan Abang.” Raina mengecup puncak kepala Algha, seiring dengan air mata yang menetes di pipinya.

“Mama nggak perlu minta maaf ke Algha lagi. Bagi Algha, dengan adanya Mama, Algha sudah sangat bersyukur. Yang lalu biar berlalu. Karena mau diubah seperti apa pun juga nggak bisa, Ma. Yang bisa kita lakuin sekarang cuma bisa jadiin yang lalu sebagai pelajaran. The best teacher is experience,” sahut Algha. Ia memperbaiki posisi duduknya, lantas mengusap air mata Raina. “Algha lebih suka lihat Mama senyum, daripada menangis. Apalagi kalo Mama nangis karena Algha.”

“Mama sayang Algha,” ucap Raina. Perempuan itu lantas memeluk Algha dan Alvarez bersamaan. “Mama juga sayang Al,” lanjutnya, lalu mengecup kepala Alvarez.

“Assalamualaikum.”

Pelukan mereka seketika terlepas saat mendengar ucapan salam dari seseorang itu. Ketiganya kompak menoleh, menatap ke arah seseorang yang baru saja memasuki ruang keluarga sambil menggeret kopernya.

“Papa!” Alvarez yang pertama kali tersadar langsung berteriak girang. Anak itu segera turun dari sofa dan berlari ke arah sang papa yang langsung menyambutnya dengan pelukan dan ciuman di wajahnya.

Farrell tersenyum. Sembari menarik kopernya dan sebelah tangan yang digunakan untuk menggendong Alvarez, pria itu berjalan menghampiri Raina dan Algha.

“Mas udah pulang?” tanya Raina, berbasa-basi sambil mencium punggung tangan sang suami.

Farrell mengangguk. Lelaki itu terlebih dahulu mengambil duduk di samping Raina, lantas memangku Alvarez.

“Ya udah, sekarang aku siapin air buat Mas mandi, baru istirahat. Mas capek, ‘kan habis perjalanan jauh?”

Farrell mengangguk lagi. Wanita itu masih bersikap baik dan masih mau melayaninya. Farrell kian merasa bersalah. Bagaimana nantinya jika Riana tahu apa yang hampir saja dilakukannya pada Salsa? Bagaimana jika nanti Raina marah besar dan kembali seperti dulu? Berbagai spekulasi buruk mulai berkeliaran di otak Farrell.

“Tunggu sebentar, ya, Mas,” ucap Raina. Kemudian, perempuan itu beranjak, ia mengambil ketiga mangkuk bubur kacang hijau yang sudah habis isinya. Raina lebih dahulu membawa mangkuk itu ke dapur dan mencucinya, lantas berlalu ke kamarnya.

Sepeninggal Raina, pandangan Farrell beralih pada Algha yang sejak tadi tak henti menatapnya.
“Kenapa, Nak?” tanyanya.

 “Apa yang udah Papa lakuin di luar kota kemarin?” tanya Algha, lantas membuang muka ke samping. Sangat enggan rasanya menatap sosok yang dengan tega melukai hati Raina itu. 

Terang saja pertanyaan itu membuat tubuh Farrell seketika menegang. Tatapan pria itu masih belum teralihkan dari si sulung yang terlihat tidak mau menatapnya.

“Ka ... kamu tau?” tanyanya, terbata-bata.

“Apa Papa nggak mikir gimana nanti kecewanya Mama pas tau Papa main di belakang? Apa jangan-jangan keluar kota yang Papa maksud itu cuma sandiwara? Iya?” tanya Algha penuh penekanan, remaja yang emosinya belum benar-benar stabil itu tanpa sadar justru memperkeruh suasana dengan segala asumsi buruknya.

“Enggak gitu, Algha ....”

“Aku benar-benar kecewa sama Papa. Di saat Mama berusaha mati-matian buat jadi Ibu yang baik, Papa malah ngelakuin hal yang seharusnya nggak dilakuin oleh seorang pria yang sudah beristri,” potong Algha, tak memberikan Farrell kesempatan untuk berbicara lebih banyak.

“Kamu nggak tau apa-apa, Algha!” bentak Farrell tanpa sadar. Bahkan, Alvarez yang berada di pangkuannya pun terkesiap dan  menangis seketika.

“Iya, aku nggak bakalan ngerti. Karena bagi Papa, aku itu cuma anak kecil yang gampang dibodohi kayak Al, tapi apa pantas saat anak telepon orang tuanya, yang dia dengar justru hal yang nggak senonoh dan nggak pantas didengar anak seusianya?”

Hilang sudah rasa nyaman dan ketenteraman di ruangan itu. Algha dan Farrell yang saling beradu argumentasi, dan Alvarez yang menangis kencang, yang seolah-olah menjadi melodi penggiring perseteruan antara kepala keluarga dan si sulung Stephan itu.

“Mas?”

Baru saja Farrell ingin membuka mulut, suara seorang wanita yang berasal dari belakangnya itu membuat Farrell dan Algha bergeming khawatir. Farrell dengan rasa bersalahnya karena membuat sang istri kecewa, dan Algha dengan rasa takutnya telah membuat sang mama marah.

Raina, perempuan itu hanya mampu menarik kecil kedua sudut bibirnya. Apa yang tidak diketahuinya selama ini? Seberapa banyak rahasia yang ada di keluarga ini? Raina merasa seperti perempuan bodoh yang tak tahu apa pun di sini.

Raina berbalik, wanita itu melangkah kembali ke kamarnya. Ia mempercepat langkahnya dan langsung menutup dan mengunci pintu. Raina duduk di ranjang seiring dengan air matanya yang mulai mengalir deras.

 

To be continued ....
A/n: kepada rakyatku tercinta, tuliskan unek-unek kalian di sini ye! 😀👏

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang