Bab 23

33.2K 1.7K 49
                                    

Happy Reading! 

Dengan ditemani oleh sang mama, Alvarez berdiri di depan kamar Algha. Lantas, segera membuka pintu di hadapannya dengan kaki yang sedikit berjinjit. Ia melangkah kecil memasuki kamar, ditatapnya sang abang yang sudah sedang duduk di atas ranjang dengan ponsel di tangannya dan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Kepala pemuda itu sesekali bergerak ke kanan dan kiri, mengikuti alunan musik yang sedang di dengarnya.

“Abang,” panggil Alvarez setelah usahanya memanjat naik ke ranjang berhasil. Ia duduk bersila, tepat di hadapan Algha. Alvarez meletakkan kedua tangannya di atas paha sang abang.

Algha menoleh, ia melepas earphone-nya, kemudian menatap sang adik yang juga tengah menatapnya.

“Maafin Al kemalin (kemarin), ya? Al salah sama Abang.” Alvarez menunduk penuh penyesalan.

“Iya,” jawab Algha seadanya.

Alvarez segera mendongak. Tanpa banyak kata, anak itu segera menerjang Algha dengan pelukan.

“Makasih banyak, Abang!” serunya girang. Ia lantas kembali ke posisi saat Algha melepaskan pelukan mereka.

Sejak tadi, Raina hanya diam sembari melihat apa yang anak bungsunya lakukan. Perempuan itu tak dapat tidak tersenyum begitu melihat kedua anaknya telah berbaikan. Raina berjalan menghampiri keduanya lalu duduk di sisi ranjang.

“Abang ikut, yuk,” ajaknya.

Algha menoleh. “Ke mana, Ma?”

“Ayo kita lali (lari) pagi, Bang!” Bukan Raina yang menjawab, melainkan Alvarez dengan suara bahagianya.

Algha menggeleng. “Algha malas, Ma.”

Mendengar itu, Alvarez segera menarik tangan sang abang.
“Aaa, ayo, Bang. Kita lali-lali (lari-lari). Ayo, Bang!” Alvarez berseru sembari terus berusaha menarik tangan Algha agar remaja itu mengikuti maunya.

Algha menarik napas panjang. Mau tak mau ia mengangguk. Nasibnya sungguh sama seperti Farrell, hanya saja berbeda orang. Farrell yang dipaksa oleh Raina, sedangkan ia yang dipaksa oleh Alvarez. Poor father, poor son.

❄️❄️❄️

Pagi hari memanglah waktu yang pas untuk menghirup udara segar. Dengan ditemani angin yang berembus pelan, tarikan napas perlahan terasa begitu dapat membuat  tubuh seperti kembali mendapatkan asupan dari alam.

Di pagi yang cerah ini, sebuah keluarga kecil yang berisikan empat orang itu tampak asik berlari-lari kecil mengelilingi taman.

“Ayo, semangat!” seru Raina, berusaha untuk menyemangati si kecil yang sudah mulai lelah, sangat terlihat jelas dari raut wajahnya. Wanita itu berdiri paling depan sambil menggerakkan tangannya.

“Al capek, Ma,” sahut Alvarez lemah lalu memilih berjongkok.

“Ayo dong, Sayang. Semangat!” jawab Raina. Ia berjalan menghampiri Alvarez, lantas mengusap peluh di wajah mulus anak itu dengan handuk yang menggantung di lehernya.

“Gendong, Ma,” pinta Alvarez. Kaki kecilnya tak mampu lagi untuk diajak kerja sama.

Raina berdesah pelan. Tatapannya beralih pada sang suami yang sudah berlari dan berjarak sedikit jauh dari mereka.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang