Bab 47

16.8K 996 58
                                    

Happy Reading!

Sejak sepuluh menit yang lalu, Raina hanya dapat terus memberikan elusan lembut di punggung Alvarez untuk menenangkan anak itu yang masih terlihat sedih setelah kehilangan ikan cupang kesayangannya.

“Al udah tenang?” tanya Raina pelan saat sudah tak mendengar suara tangis Alvarez, hanya isakan anak itu saja yang masih sesekali keluar dari bibir mungilnya.

Alvarez mengangguk, tetapi tak menjawab.

Raina tersenyum tipis, ia membawa Alvarez yang masih berada di gendongnya untuk bangkit menuju dapur. Perempuan itu menuangkan setengah gelas air, lalu duduk memangku Alvarez.

“Minum dulu, Al,” suruhnya. Ia membantu si bungsu minum, lalu meletakkan gelas itu ke atas meja. “Kita kubur, Neo, yuk,” ajaknya, kemudian.

Alvarez hanya mampu mengangguk.

Raina berdiri lagi, kali ini ia melangkah menuju akuarium.  Wanita itu mengangkat jasad Neo menggunakan jaring ikan, lantas meletakkannya ke dalam wadah makanan Neo—yang isinya telah habis.

Masih dengan posisi menggendong si bungsu, Raina serta-merta membawa wadah itu ke halaman belakang. Ia menurunkan Alvarez, sebelum berjongkok di hadapan anak itu.

“Alva tunggu sini dulu, ya? Mama mau pinjam cangkul dulu,” pamitnya.

Alvarez kembali mengangguk. Setelah menatap kepergian sang mama, mata anak itu beralih menatap sang ikan yang sudah tergeletak tak berdaya di dalam wadah, dengan tatapan kosong.

Tak lama, Raina kembali dengan membawa sebuah cangkul. Tanpa banyak kata, perempuan itu segera menggali tanah dengan ukuran mini, yang kira-kira cukup untuk mengubur ikan kesayangan si kecil itu.

Usai menggali tanah, Raina berjongkok di samping Alvarez. Ia mengambil jasad Neo, lalu memasukkannya ke dalam liang. Baru saja ingin menutup kembali liang itu dengan tanah, tangan kecil Alvarez langsung menahan lengan Raina.

Raina menoleh dengan dahi mengerut bingung.
“Kenapa, Sayang?”

“Nanti Neo kegelapan, Ma. Di sana nggak ada lampu,” ujarnya, polos.

Raina tersenyum tipis, ia mengusap kepala Alvarez dengan tangan kirinya yang masih bersih.
“Kalo nggak dikubur, nanti Neo busuk, terus bau, Sayang. Kita tutup sama tanah, ya? Biar Neo nggak bau.”

Alvarez hanya mampu menggeleng pelan. Ia perlahan menurunkan tangannya yang menahan lengan Raina. Setelahnya, sang mama pun melakukan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi.

“Nanti Neo bakal tumbuh nggak, Ma?” Alvarez kembali bertanya. Kali ini, raut wajah penuh keingintahuan terlihat jelas di wajah lucunya.

Raina tertawa kecil. Pemikiran anak kecil sangatlah polos. Mana mungkin ikan yang dikubur dapat begitu saja tumbuh pohon ajaib yang dapat membawa keberuntungan itu, seperti di salah satu film anak yang menceritakan tentang dua bumbu dapur yang amat terkenal pada masanya. Itu hanya karangan semata. Jika pun benar-benar nyata, maka harus ada benih tanaman yang ikut dikuburkan bersama jasad si ikan. Itu pun jika benih itu benar-benar dapat tumbuh.

Namun, untuk menenangkan si bungsu, Raina mengangguk, meskipun raut wajahnya berbanding terbalik dengan batinnya yang tengah tertawa. Anaknya itu sungguh lucu.

“Mungkin,” jawab Raina, ambigu. Sebab dari seratus persentase yang ada, Raina hanya mampu yakin nol per sekian-sekian-sekian tentang ikan yang dikubur akan tumbuh tanaman ajaib itu. “Masuk, yuk,” ajaknya.

Setelah mendapati anggukan dari Alvarez, Raina menggandeng anak itu dengan tangan kiri, sebab tangan kanannya membawa cangkul. Kedua orang itu berjalan memasuki rumah, lalu mencuci tangan di wastafel dapur.

❄️❄️❄️

Sudah sejak beberapa  menit yang lalu, Raina dan Alvarez tampak duduk di sebuah warung yang berada tak jauh dari pintu gerbang sekolah Taruna Bakti. Raina memang sengaja datang lebih awal sebelum jam pulang sekolah Algha tiba, sebab wanita itu tak ingin membuat si sulung menunggu. Lantas, rencananya yang akan membawa Algha ke tempat yang ia janjikan—seperti yang diamanahkan oleh Kelia—harus terlaksana, agar tidak menunda-nunda waktu lagi. Sebab Raina juga tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

“Minum lagi?” tawar Raina kepada Alvarez. Perempuan itu mengambil cup berisi minuman cokelat-boba yang berada di atas meja, lalu memberikannya kepada Alvarez.

“Makasih, Mama,” ucap Alvarez. Ia menyengguk kecil tiap mulutnya selesai menyedot es cokelat itu. Nikmat, dan Alvarez menyukainya.

Setelahnya, ibu dan anak itu sama-sama diam. Raina yang sibuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang di jalan yang berhadapan dengan warung mereka duduki, dan Alvarez yang masih setia menikmati es boba yang dipegangnya.

Lantas, beberapa menit setelahnya, bel sekolah samar-samar terdengar dari tempat mereka. Beberapa murid sudah ada yang mulai tampak keluar dari gerbang sekolah yang sudah terbuka. Ada yang berjalan tergesa-gesa, serta ada pula yang berjalan dengan santai—seakan-akan tengah menikmati perjalanan pulang sekolah kali ini.

“Abang!” Alvarez berseru sambil melambaikan tangan setelah turun dari bangku yang ia duduki. Anak itu berlari dengan kaki kecilnya menghampiri Algha yang tengah melangkah bersamaan dengan Bryan di sisinya. Alvarez merentangkan tangan, yang disambut gendongan oleh sang abang yang peka.

“Hai, Alva!” sapa Bryan. Tangannya terulur, berniat mencubit pipi Alvarez, tetapi sebelum keinginannya itu terlaksana, tangannya sudah ditepis oleh Algha. Sedang di kecil hanya tertawa melihat wajah masam Bryan.

“Mana Mama?” tanya Algha. Ia menunggu sampai sang adik selesai menyeruput minumannya.

“Di sana,” sahut Alvarez, tak lupa menunjuk ke arah warung yang tadi ia duduki bersama sang mama.

Algha mengangguk, sejenak ia menoleh pada Bryan yang masih berada di sampingnya.
“Mau ikut?” tawarnya.

Bryan menggeleng, remaja itu menunjuk ke arah mobil jemputannya yang sudah berjarak tak jauh dari mereka berdiri.

“Tuh, jemputan gue udah datang. Duluan, Bro!” Usai mendapat anggukan, Bryan pun berjalan menuju mobil jemputannya yang sudah berhenti di pinggir jalan.

Pandangan Algha masih terpaku pada Bryan. Setelah sahabatnya itu telah aman masuk ke dalam mobil, Algha pun kembali melangkah, kali ini tujuannya adalah Raina.

“Ma,” panggilnya.

Raina menoleh, ia berdiri lalu mengusap lembut kepala Algha yang tengah menyalimi dirinya.
“Abang mau beli minum dulu?” tawar Raina.

Algha menggeleng. “Enggak usah, Ma. Algha nggak haus.”

“Ya udah, ayo masuk mobil. Mama mau bawa kamu ke suatu tempat,” ujar Raina.

Algha menurut, lelaki yang masih menggendong sang adik itu mengikuti langkah sang mama yang mengarah pada mobil yang sangat ia kenali. Ketiga orang itu masuk ke dalam mobil, dan mengambil posisi duduk masing-masing dengan Alvarez yang berada di antara mereka.

“Ke sini dulu, ya, Yud,” ucap Raina. Ia menyodorkan selembar kertas berisi sebuah alamat—yang baru saja ia ambil dari dalam tas selempangnya—pada Yuda.

Yuda mengangguk patuh. “Baik, Bu.” Sejenak pria itu mencari alamat itu pada monitor maps mobil. Setelah mendapat titik yang pas, Yuda pun mulai menjalankan mobil menuju tempat tujuan.

 

To be continued ....
A/n: kerja capek, ga kerja ga punya duit. Berasa serba salah. Sepertinya saran salah satu dari kalian boleh dipake, jaga lilin misalnya😬.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang