Bab 44

17.9K 1K 21
                                    

Happy Reading!

Algha mengusap peluh di keningnya menggunakan handuk kecil—yang telah dipersiapkan oleh sang mama di dalam tasnya—sambil berjalan menyusuri koridor. Ia sendiri, sebab Bryan sudah pulang lebih dahulu karena ada urusan mendadak. Algha tak mempermasalahkan itu.

Lagi pula, walaupun mereka bersahabat, mereka tetaplah orang yang memiliki urusannya sendiri, dunianya masing-masing. Tak selamanya mereka dapat terhubung dan saling bergantung. Di dalam keluarga saja perlu adanya privasi, apalagi hanya sekadar sahabat.

Setibanya di parkiran yang langsung terhubung dengan gerbang sekolah—katanya untuk memudahkan mereka pulang-pergi dan lebih terpantau oleh satpam yang bertugas—Algha mendapati mobil keluarganya di sana, tentunya dengan sopir yang dipekerjakan oleh Farrell untuk mengantar-jemput dirinya.

“Langsung pulang, Den?” tanya Yuda—sang sopir—tatkala Algha telah duduk di dalam mobil sambil menyandarkan tubuh lelahnya.

Algha mengangguk. “Iya, Om. Algha mau langsung istirahat di rumah aja.”

Yuda menurut. Pria yang bekerja sebagai sopir itu masih tergolong muda, sebab masih berusia 29 tahun. Pria itu memutuskan untuk menjadi sopir dan mengabdi pada keluarga Farrell sejak dua tahun lalu, tepatnya setelah dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya yang sebelumnya.

Mobil yang dikendarai Yuda itu pun berhenti saat tiba di depan gerbang rumah yang menjulang tinggi. Yuda membunyikan klakson mobil. Setelah gerbang di depannya terbuka, Yuda kembali menekan pedal gas, kemudian berhenti tepat di depan pintu rumah.

“Terima kasih, Om,” ucap Algha. Remaja itu segera turun setelah mendengar jawaban dari sang lawan bicara dan memasuki rumah. “Assalamualaikum, Ma,” ujarnya, setelah melepas sepatu yang digunakannya dan meletakkan di atas rak sepatu, yang berada di dekat pintu masuk.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Raina. Perempuan itu segera meninggalkan kegiatannya yang tengah membaca majalah di rumah keluarga, lantas memilih untuk menghampiri sang anak. “Baru pulang, Bang?” tanya Raina, berbasa-basi.

Algha mengangguk. Lelaki itu meraih tangan Raina, kemudian mencium punggung tangan wanita itu.

“Abang udah makan?” Raina kembali bertanya sambil berjalan di samping Algha.

“Tadi udah, Ma. Pas siang.”

“Ya udah, sambil nunggu Mama panasin sayurnya, sana mandi dulu, habis itu makan,” suruh Raina, tangan wanita itu bergerak untuk mengusap rambut si sulung yang masih terlihat sedikit basah oleh keringat.

Algha mengangguk, akan tetapi sebelum itu, ia menoleh ke arah Raina.
“Papa udah berangkat, ya, Ma?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Namun, entah kenapa ia tetap saja ingin bertanya. Algha merasa, ia lebih leluasa untuk bertanya tentang hal apa pun kepada sang mama, daripada papanya.

Raina mengangguk, senyum tipis terlihat di bibir wanita itu.
“Iya, tadi sekitar jam satu. Papa nggak ngabarin Abang?”

“Udah tadi, di chat,” jawab Algha, “ya udah, Ma. Algha mandi dulu.” Setelahnya, Algha segera berjalan menuju kamarnya.

Enggan rasanya bagi Algha untuk membicarakan tentang papanya kepada sang mama. Nyatanya, hubungannya dengan sang papa masih tidak sebaik itu. Mereka bahkan terkesan seperti asing, walaupun memiliki hubungan darah. 

Sementara Raina yang masih berdiri di posisinya hanya mampu menggelengkan kepala. Anak dan ayah sama saja, sama-sama lebih mengedepankan gengsi. Namun, Raina tahu, Farrell dan Algha sama-sama menyayangi, hanya saja mereka tak saling menunjukkan, sebab terhalang oleh ego masing-masing.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang