Bab 9

45.5K 2.6K 91
                                    

Happy Reading!

“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru. Meletus balon ....”

Suara ibu dan anak itu terdengar di belakang rumah. Raina tampak duduk di atas ayunan dengan Alvarez yang berada di pangkuannya. Raut wajah Alvarez terlihat begitu bahagia kala dapat bernyanyi dan bertepuk tangan bersama sang mama.

“Dor!” seru keduanya, kemudian tertawa bersamaan.

“Alva udah capek belum?” tanya Raina.

Alvarez menggeleng cepat. “Belum, Ma. Ayo sekali lagi!”

Baru saja Raina hendak membuka mulut, sebuah dering ponsel berhasil menghentikannya. Raina meraih ponselnya yang berada di saku celana. Keningnya mengernyit kala sebuah nomor tanpa nama tertera di layar ponselnya.

“Alva diam dulu, ya? Mama mau angkat telepon sebentar,” pinta Raina. Ia meraih dot susu yang terletak di atas meja—yang sengaja diangkat dan diletakkan di samping ayunan—kemudian memberikannya pada sang anak.

Alvarez mengangguk, ia meraih dot itu lalu meminumnya.

“Halo, assalamualaikum,” ucap Raina, membuka pembicaraan.

Iya, waalaikumussalam. Maaf mengangguk waktunya sejenak. Apa benar ini adalah orang tua dari ananda Alghafar Arga Stephan?

“Iya, saya sendiri. Ada apa, ya, Bu?”

Saya adalah guru yang mengajar di sekolah ini. Anak Ibu terlibat perkelahian dengan salah satu siswa lainnya. Bisakah Ibu datang ke sini untuk menyelesaikan masalah ini? Kami juga sudah memanggil wali dari pihak siswa lain, Bu.”

Raina segera mengangguk. “Baik, Bu. Saya akan segera ke sana.” Perempuan itu mematikan teleponnya. Kepalanya menunduk, menatap Alvarez yang terlihat sudah anteng dengan tidurnya sambil bersandar di dada Raina.

Raina kembali mengantongi ponselnya. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Alvarez, membawanya ke kamar anak itu.

Setelah membaringkan Alvarez dan memastikan bahwa anak itu sudah nyenyak dengan tidurnya, Raina segera bersiap dan pergi keluar kamar. Ia menghampiri Ani yang sedang sibuk membersihkan ruang tamu.

“Ni, saya titip Alva, ya? Sekarang dia sedang tidur. Nanti kalau Alva bangun, katakan saja saya pergi sebentar karena ada urusan,” ucap Raina pada Ani.

Ani mengangguk. “Siap, Nyonya. Hati-hati di jalan, Nya.”

“Saya berangkat.”

❄️❄️❄️

Farrell termenung di kursi kebesarannya dengan tangan yang tengah memutar-mutar pulpen. Pria itu menarik kedua sudut bibirnya, kemudian sebuah suara tawa kecil terdengar. Farrell mengubah posisi duduknya. Ia menautkan kedua tangannya di atas meja dengan pandangan yang mengarah pada luar jendela.

Ia sudah melakukan ini sejak tadi. Bahkan, berbagai laporan dan pekerjaan yang tersaji di hadapannya diabaikannya begitu saja. Farrell tak bisa fokus bekerja. Pikirannya hanya tertuju pada kejadian tadi pagi, saat sebuah kecupan tiba-tiba mendarat begitu saja di pipinya.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang