Bab 20

36.2K 1.9K 87
                                    

Happy Reading!

Raina melirik jam yang menempel di dinding, tepat di atas televisi. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Diusapnya kepala Alvarez dan Algha bergantian.

“Sudah waktunya tidur, anak-anak Mama. Ayo, Mama antar ke kamar kalian,” ajaknya. Meski besok libur, anak-anaknya tetaplah harus mendapatkan waktu istirahat yang cukup.

Alvarez menoleh, ditatapnya Algha sebentar, kemudian menoleh pada Raina.
“Alva mau tidul (tidur) sama Abang ya, Ma?’

Raina mengangkat sebelah alisnya heran, tak lama, lantas perempuan itu melihat ke arah Algha yang sudah kembali fokus pada komik bacaannya.

“Izin sama Abang dulu. Dibolehin nggak?”

Alvarez turun dari pangkuan Raina. Ia berjalan menuju sofa tunggal yang diduduki oleh Algha, lantas memeluk kaki sang abang sembari menampilkan raut wajah menggemaskan.

“Abang, Alva tidul (tidur) sama Abang, ya?”

“Nggak,” jawab Algha cepat. Ia tidak terbiasa tidur dengan orang lain, meskipun itu adalah saudara kandungnya sendiri. Selama ini, hanya ada guling yang menemani tidurnya. Katakan saja Algha egois, tetapi ia memang tidak ingin berbagi ranjang dengan siapa pun.

“Aaa, Abang!” rengek Alvarez sambil mengguncang kaki Algha.

Algha berusaha menyingkirkan Alvarez dari kakinya. Anak itu terlalu mengganggu fokusnya dalam membaca buku.

“Abang, boleh, ya? Boleh, ya?” mohon Alvarez. Namun, tak mendapati jawaban dari sang abang. Dengan wajah yang cemberut dan mata berkaca-kaca, Alvarez menatap sang mama, meminta bantuan wanita itu untuk membujuk si sulung agar mau tidur bersamanya.

“Kenapa nggak mau tidur sama Adek, Bang?” Raina akhirnya angkat bicara.

“Alva suka ngompol,” jawab Algha tanpa menoleh.

“Enggak! Alva janji nanti malam Alva nggak ngompol,” jawab Alvarez cepat. “Mau tidul (tidur) sama Abang,” lanjutnya. Air matanya sudah mengalir perlahan diiringi dengan Isak tangis.

“Bang, izinin, ya? Tuh, kasihan Adek,” bujuk Raina.

Algha menutup kasar buku komiknya. Ditatapnya sang mama dengan ekspresi marah.

“Alva, Alva, dan Alva. Pikirin aja terus Alva. Apa selama ini Mama sama Papa pernah mikirin Algha, sekali aja? Nggak, ‘kan?” Algha mendengus pelan. “Udahlah, ambil aja sekalian kamar Algha buat Alva.”

“Algha!” sentak Farrell, pria itu sampai menghentikan pekerjaannya karena terkejut dengan apa yang diucapkan anak lelaki pertamanya itu. Selama ini, Algha hanya diam, seolah-olah ia memang tak pernah mempermasalahkan ini semua.

Sambil membawa buku komiknya, Algha berjalan keluar. Ia melangkah menuju gazebo samping rumahnya, tak menghiraukan panggilan yang memintanya untuk kembali.

“Alva salah, Alva udah buat Abang malah (marah), Ma,” cicit Alvarez dengan air mata yang makin mengalir deras. Ia takut dengan kemarahan seseorang. Ia takut mendengar nada kasar seseorang, dan ia takut melihat ekspresi murka seseorang, apalagi jika itu karenanya.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang