Bab 33

25.3K 1.3K 29
                                    

Happy Reading ....

Malam memang waktu yang cocok untuk melepas segala penat yang ada setelah menghabiskan waktu untuk beraktivitas selama seharian. Dan, malam juga waktu yang tepat bagi orang tua untuk beristirahat dari segala beban pikiran yang menimpa.

Meski para orang tua memang sudah dewasa dan matang secara usia, mereka tetaplah kumpulan orang-orang yang masih memerlukan waktu untuk refreshing. Beberapa orang tua ada yang tanpa sadar terluka secara batin, sebab selalu memendam apa yang mereka rasa, dengan dalih agar terlihat baik-baik saja, terutama di hadapan anak-anak mereka.

Banyak orang tua yang berpikir bahwa mereka adalah panutan, sehingga memperlihatkan kesedihan di depan anak-anak bukanlah hal yang benar dan wajar untuk dilakukan. Meski dunia mereka telah hancur dan berantakan, mereka tetap akan berusaha untuk terlihat tegar dan membuktikan bahwa mereka dapat dijadikan pedoman.

Dan saat ini, seorang wanita terlihat sedang menyeduh minuman hangat di dapur. Ia Raina, perempuan dengan setelan baju piamanya itu tersenyum setelah meletakkan secangkir kopi dan secangkir cokelat hangat di atas nampan. Dengan gerakan perlahan, Raina mengangkat nampan lalu membawanya menuju ruang keluarga.

“Mas,” panggilnya pada Farrell yang sedang sibuk dengan laptopnya. Raina meletakkan minuman di atas meja, kemudian mengambil duduk di sisi Farrell. “Sibuk terus, ya?” tanyanya, ditatapnya sang suami sembari menarik kecil kedua sudut bibirnya.

Farrell menoleh, ia menggeleng sambil meletakkan laptopnya di atas meja. Tangannya bergerak melingkari bahu Raina, lantas memandu wanita itu agar bersandar di pundaknya.

“Kenapa, hm?” tanyanya balik.

Raina kembali tersenyum, disertai gerakan pelan di kepalanya. Tak lama, perempuan itu pun menoleh dan sedikit mendongak.

“Mas nggak capek?”

“Katakan saja, kamu mau apa?” sahut Farrell, seolah-olah tahu bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh sang istri.

Sejenak Raina terdiam di posisinya. Beberapa menit setelahnya, tangannya meraih sebelah tangan Farrell, lantas menggenggamnya.

“Aku boleh minta sesuatu sama Mas?” Raina kembali mendongak, hanya sekadar untuk melihat jawaban dari sang lawan bicara. Ketika mendapat sebuah anggukan, perempuan itu kembali melanjutkan ucapannya, “Mas udah kerja seharian di kantor, jadi aku minta sama Mas, tolong kalo di rumah berhenti sebentar. Rumah adalah tempat pulang, dan pulang berarti beristirahat. Aku nggak mau nanti anak-anak mikir kalo Mas cuma mikirin pekerjaan Mas. Aku mau, kalo lagi di rumah, Mas fokus sama anak-anak, sama keluarga.”

Farrell mendengarkan dengan cermat, usai Raina menyelesaikan pembicaraannya, ia diam sejenak. Entah apa yang ada di pikiran pria itu. Lantas, dilepaskannya rangkulan pada pundak perempuan itu. Farrell mengalihkan tangannya untuk menggenggam kembali tangan Raina yang tengah menggenggam tangannya. Dielusnya dan ditepuk beberapa kali tangan lembut nan putih milik perempuan itu.

“Baik, aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk mereka dan menjadi suami yang baik untukmu.”

Ucapan sederhana itu telah berhasil membuat Raina tersenyum. Ia melepas genggaman tangan mereka, kemudian dengan gerakan cepat memeluk tubuh Farrell dengan erat.

“Terima kasih, Mas,” ucapnya dengan nada senang.

“Aku juga makasih,” sahut Farrell, diusapnya punggung Raina. Pria itu mencium kepala Raina sambil menghirup dalam-dalam aroma wangi rambut wanita cantik itu.

Farrell melepas pelukannya lalu meraih cangkir kopi. Dihirupnya dalam-dalam aroma kopi yang selalu saja membuatnya candu, kemudian diminumnya.

“Bagaimana keadaan anak-anak?” tanyanya setelah meletakkan kembali cangkir kopi di atas meja.

Raina yang tengah menyeruput cokelat hangatnya itu menoleh. Ia menurunkan cangkir lalu memegangnya dengan kedua tangan, meresapi tiap kehangatan yang menelusup pada jari-jemari dan telapak tangannya. Ia kemudian tersenyum.

“Alvarez selalu aktif seperti biasanya. Sedangkan Algha, dia ....” Raina menghentikan ucapannya, pandangannya beralih pada televisi yang masih dalam keadaan mati. “Dia sudah mau menceritakan tentang keluh kesahnya, meski perlu sedikit kesabaran untuk memintanya agar mau bercerita.”

Farrell menyengguk, ia kembali melingkari pundak Raina, lalu mengelusnya.
“Kita hadapi semua ini sama-sama, ya?” ajaknya.

Raina mengangguk. Ia kembali menyeruput cokelat hangatnya, lantas menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.

“Meluluhkan hati anak-anak itu tidak mudah, apalagi Algha. Dia sudah beranjak dewasa, dan sudah mulai tau mana yang baik dan mana yang buruk. Aku telah merasa gagal menjadi mama yang baik untuknya.”

“Kita bukan gagal, hanya saja kita telat. Tidak ada kata terlambat. Masih ada waktu agar penyesalan itu tidak hadir, dan semoga saja Tuhan merestui kita,” sahut Farrell.

Raina memejamkan mata, berusaha menikmati usapan lembut yang diberikan Farrell di kepalanya. Makin hari, pria itu makin bisa memenangkan hatinya. Raina mengerti, bahwa pria itu juga sama sepertinya, sama-sama tengah berusaha dan belajar menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak mereka.

Serta Raina juga sadar, bahwa perlahan hatinya juga mulai berlabuh pada Farrell. Farrell adalah pria pertama yang dekat dengannya, serta laki-laki pertama yang berhasil merebut hatinya.

Raina membuka matanya, pandangannya beralih pada jam dinding yang tergantung di dinding. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Kerjaan Mas masih banyak?” tanya Raina yang dibalas anggukan sang lawan bicara. “Ya sudah, Mas lanjutin. Lagian anak-anak juga udah tidur.”

“Bener?”

Raina menyengguk. “Iya, masih ada waktu buat ngelanjutin.”

Farrell menurut, diraihnya kembali laptopnya lalu menaruhnya di pangkuan. Pria itu meraih kacamatanya yang berada di atas meja, lantas memakainya. Seperti seorang profesional, jari-jemarinya begitu lihai bergerak di atas keyboard. Dan semua itu tak lepas dari perhatian Raina yang masih setia di posisinya.

Perempuan itu menarik kedua sudutnya. Entah kenapa, ia sangat suka ketika Farrell sedang serius begini. Pria itu terlihat makin mempesona, apalagi matanya terlihat fokus memandang lurus ke depan; ke arah monitor di hadapannya. Raina ingin terus diberi kesempatan agar dapat melihat lelaki itu. Ya, semoga saja.

“Kamu nggak tidur?” tanya Farrell.

Pertanyaan Farrell berhasil mengejutkan Raina. Perempuan itu seketika tersadar dari lamunan singkatnya. Raina meringis malu. Sungguh, ia berharap agar Farrell tak menyadari bahwa sejak tadi ia terus memandangnya.

“Aku nunggu Mas aja,” sahut Raina, berusaha bersikap biasa-biasa saja, meskipun jantungnya sudah terasa seperti sedang melakukan senam aerobik saja.

Farrell mengangkat sebelah alisnya sebentar, lantas mengangguk. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Satu jam setelahnya, Farrell meletakkan laptopnya, lalu meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Setelahnya kepalanya menoleh, tawa kecil terdengar dari bibirnya kala melihat sang istri sudah tertidur dengan posisi duduk.

Farrell sedikit membungkuk, disingkirkannya rambut Raina yang menghalanginya menatap wajah ayu itu. Ia mengusap rambut Raina kala perempuan itu bergerak. Sejenak wajahnya terlihat berpikir, sebelum mengambil keputusan untuk membawa wanita itu ke dalam kamar saja. Karena Farrell tahu, tidur dengan posisi seperti itu bukanlah posisi yang nyaman.

“Selamat tidur, istriku,” gumam Farrell, usai menidurkan Raina di ranjang dan menarik selimut hingga sebatas dada wanita itu. Ia kembali keluar untuk membereskan peralatan kerjanya dan mencuci cangkir bekas minuman mereka tadi.


To be continued ....
A/n: Tuan Farrell bisa romantis juga, ya? Avv:)

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang