Bab 51

16.4K 893 65
                                    

Happy Reading!

Sunyi, itulah yang Raina rasakan saat ini. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, anak-anak pun sudah berdamai dengan alam mimpi mereka. Namun, Raina belum merasakan kantuk. Perempuan itu memutuskan untuk duduk di ruang keluarga, ditemani dengan secangkir cokelat panas dan stoples kue biji ketapang yang sempat ia buat tadi.

Raina melirik remote control televisi yang berada di atas meja. Lantas, perempuan meraihnya dan menekan tombol power pada remote. Ia menghidupkan televisi semata-mata untuk mengusir rasa sepi yang kian membelenggu diri.

Usai menemukan tayangan yang cocok, Raina pun meletakkan kembali remote di atas meja, lalu memakan camilannya. Perempuan itu menonton berita yang menayangkan tentang tunawisma dan beberapa panti asuhan yang dapat dikatakan sudah hampir tak layak untuk ditinggali.

Raina diam sejenak, otak perempuan itu tiba-tiba berputar, kembali ke kehidupannya yang dulu. Raina ingat, saat ia kecil hingga bisa mencari uang sendiri, hampir setiap sebulan sekali orang tuanya mengajak Raina untuk berbagi dengan orang-orang yang kurang mampu, dan kini Raina mendapatkan ide untuk membawa kedua anaknya melakukan rutinitasnya dulu.

Bagi Raina, berbagi dengan orang-orang tunawisma itu sangat besar manfaatnya.  Selain menabur pahala, kita juga dapat melatih diri sendiri agar selalu bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini. Sebab nyatanya, banyak orang yang ingin menjadi kita dan memiliki apa yang kita punya.

Drt-drt-drt!

Raina tersadar dari lamunannya. Perempuan itu meraih ponselnya yang bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk dari suaminya. Raina tersenyum, tanpa menunggu waktu lagi, ia langsung meletakkan stoples di atas meja, lantas meraih ponselnya.

“Halo, Mas. Assalamualaikum,” ucap Raina, membuka suara. Namun, bukan suara Farrell yang menjawab salamnya, justru suara angin yang samar-samar didengar. “Mas, are you okay?” tanyanya.

Farrell yang berada di sana pun menghela napas. Pria itu menempelkan telepon pada telinganya, kemudian sebelah tangannya berpegangan pada pembatas jembatan yang tengah dipijaknya saat ini.

“Rai ...,” panggilnya, lirih. Matanya menatap pada bulan yang bersinar sangat terang di atas sana. Keadaan di sekitarnya sangat sepi, sebab kini Farrell memutuskan untuk menenangkan diri di jembatan yang tak sengaja ia temui ini. Mobilnya pun terparkir begitu saja di pinggir jalan.

“Iya, Mas?” jawab Raina, kening wanita itu berkerut. Merasa ada yang tidak beres, Raina kembali melanjutkan ucapannya, “ada apa, Mas?”

Farrell menggeleng pelan. Ditariknya napas panjang, sebelum mengembuskannya secara perlahan. Berat rasanya jika harus menceritakan apa yang baru saja ia lakukan. Farrell meremas dadanya sendiri, sesak melanda dirinya. Ia telah menyakiti hati Raina tanpa wanita itu ketahui.

‘Maaf, Rai,’ batin Farrell. Bibirnya tak kuasa untuk ungkapkan permintaan maaf secara langsung. 

“Anak-anak udah tidur?” tanya Farrell.

“Sudah, Mas,” jawab Raina, “Mas kenapa belum tidur?”

“Mas cuma kangen sama kamu dan anak-anak.”

“Mas mau video call? Biar aku lihatin wajah anak-anak pas tidur,” tawar Raina.

Andaikan Farrell dalam keadaan baik-baik saja, mungkin tanpa pikir dua kali ia pasti akan menerima tawaran itu. Namun, saat ini Farrell tak bisa. Pria itu tak ingin istrinya melihat sisi rapuhnya.

“Lain kali aja, Rai. Sekarang kamu istirahat aja, Mas tutup teleponnya, ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Raina, Farrell segera mengakhiri panggilan telepon itu. Tubuh pria itu merosot begitu saja di atas aspal. Sambil bersandar pada pagar pembatas jembatan, lelaki itu mengusap wajahnya frustasi. Rasa bersalahnya kian merajalela, merampas kewarasan secara paksa. Meski tak sampai melakukan hubungan intim, tetapi tetap saja hal itu hampir terjadi jika kesadaran Farrell tak lekas menyadarkannya dari sisi bejatnya.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang