Bab 31

24.3K 1.3K 60
                                    

Happy reading!

"Devan ke sini sama siapa, Nak?" tanya Raina sambil mengelus kepala Devan dan Alvarez bergantian, setelah berjongkok di samping dua anak itu. Ia semata-mata mengelus kepala Alvarez juga karena tak ingin anak bungsunya yang super cemburuan itu marah dan merajuk.

Devan tersenyum, ia meraih tangan Raina lalu menciumnya.
"Sama Pak Doni, Ma."

"Mana Pak Doninya?" tanya Raina. Matanya menatap ruang tamu, tak terdapat seorang pun di sana. Namun, beberapa saat kemudian, seorang pria dengan baju khas sopir pribadi di Indonesia tampak berjalan tergesa-gesa menghampiri mereka dengan tangan yang menggenggam ponsel.

"Aden bisa pulang sekarang? Soalnya Bapak lupa kalo Pak Doni ada kerjaan di rumah, Den," ajak Doni dengan wajah yang terlihat tak tenang.

Wajah bahagia dan mata penuh binar milik Devan yang tadi terlihat begitu berkilauan, kini perlahan berganti dengan wajah muram. Anak itu menatap Raina, berharap wanita itu membantunya. Sungguh, ia masih ingin di sini dan bermain bersama Alvarez.

Raina yang memahami kode tersebut mengangguk paham. Ia berdiri, kemudian menatap Doni dengan sopan.

"Bapak bisa pulang dulu jika sedang sibuk. Nanti saya akan antarkan Devan ke rumah. Tenang saja, Bapak bisa percayakan Devan pada saya."

Doni terlihat bimbang. Ia melihat Devan. Wajah anak itu tampak begitu lugu dengan mata yang menatapnya penuh harapan. Mau tak mau, akhirnya pria itu menghela napas dalam-dalam lalu mengangguk.

"Baiklah. Boleh saya minta nomor ponsel Ibu? Supaya nanti saya akan mengabari Ibu jika saya ingin menjemput Den Devan."

Raina langsung mengangguk. Ia memberikan ponselnya yang tengah menampilkan kode QR WhatsApp, yang langsung di-scanner oleh Doni.

"Saya titip Den Devan, Bu," ucap Doni.

"Iya, Pak. Tenang saja."

Doni mengangguk. "Saya permisi dulu, Bu." Setelah mendapat anggukan dari Raina, pria itu bergegas keluar rumah. Ia mengendarai mobil dan pergi meninggalkan rumah ini.

Raina menoleh pada Devan sambil tersenyum setelah tubuh Doni bilang di balik dinding.

"Devan bawa apa, Nak?"

Devan menoleh lalu menatap benda yang dibawanya sambil tersenyum lebar.
"Devan bawa ini buat Alva," ucapnya sembari menyerahkan kertas gambarannya pada Alvarez.

Raina ikut melihat gambaran itu. Di dalamnya, terdapat gambar dua orang anak laki-laki yang saling berpegangan tangan. Meski gambar itu terlihat sedikit aneh baginya, tetapi Raina dapat memahami siapa kedua anak itu. Gambaran Devan terlihat lumayan bagus untuk anak seusianya. Sungguh, Raina cukup takjub dengan kemampuan menggambar yang dimiliki oleh Devan.

"Wah, keren," puji Raina sambil bertepuk tangan.

Alvarez ikut mengangguk, dipandanginya terus kertas itu.
"Ini pasti aku sama kamu, 'kan, Van?"

Yang ditanya segera menyengguk. Ia merangkul pundak Alvarez yang sedikit lebih tinggi darinya. Anak itu menampilkan senyum manisnya.

"Mama, ayo fotokan Alva sama Devan," pinta anak itu tanpa merubah posisi sedikit pun.

Raina bergegas mengambil ponsel yang sempat dikantonginya. Sebentar perempuan itu menggerakkan jari di atas layar, menekan ikon kamera, lantas mengarahkan kamera ponsel ke arah kedua anak di hadapannya.

Dengan cepat Devan dan Alvarez tersenyum, dengan posisi Devan merangkul pundak Alvarez dan Alvarez yang menunjukkan gambaran yang diberikan Devan.

"Siap! Satu ... dua ... ti ... ga!"

❄️❄️❄️

Bunyi kecipak air terdengar di halaman rumah. Terlihatlah dua anak yang tengah tertawa sembari melompat-lompat di atas genangan air yang terdapat di rerumputan. Keduanya terlihat bahagia dapat bermain bersama di bawah guyuran air semesta sejak beberapa menit yang lalu.

"Alva, ayo ambil mainannya," ajak Devan. Ia menarik tangan Alvarez agar mengikutinya menuju teras rumah untuk mengambil mobil-mobilan milik Alvarez, yang sebelumnya sudah mereka letakkan di sana.

Setelah mengambil apa yang mereka inginkan, Devan dan Alvarez kembali ke tempat semula. Mereka duduk di atas rumput dan mulai bermain mobil-mobilan. Keduanya kembali tertawa bersama sambil sesekali mengusap wajah mereka.

"Kamu seling-seling main ke sini, ya?" pinta Alvarez. Matanya menyipit sebab air hujan yang tak jua mereda terus berjatuhan ke wajahnya.

Devan segera menyengguk. Sebelum Alvarez meminta pun Devan sudah sangat ingin terus bermain di sini. Bahkan jika boleh, Devan juga ingin tinggal di sini. Di rumah ini ia memiliki teman. Di rumah ini ada Raina yang terlihat menyayanginya juga, dan di rumah ini Devan dapat merasakan kebahagiaan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Devan ingin, tetapi apakah bisa?

Melihat teman barunya yang hanya diam, Alvarez segera memikirkan cara. Anak itu tersenyum lebar setelah mendapatkan ide. Ia menabrakkan mobilnya ke mobil Devan, yang membuat muatan berupa rerumputan di bak mobil-mobilan Devan tumpah begitu saja.

Devan mengangkat kepalanya, ditatapnya Alvarez dengan wajah kesal. Sedangkan yang ditatap justru menampilkan wajah tak bersalah. Ia segera berdiri dan mengejar Alvarez kala anak itu tanpa aba-aba langsung berlari begitu saja.

"Ayo kejal aku, Van!" seru Alvarez, sesekali ia menoleh ke belakang hanya untuk memastikan bahwa Devan tak mampu untuk menangkapnya.

"Aku pasti belhasilnangkap kamu!" Devan ikut berseru tanpa menghentikan langkahnya.

Alvarez berhenti sejenak, ia menggoyangkan pinggulnya. Lalu anak itu berbalik, meletakkan kedua tangannya pada dua sisi kepala, kemudian menggerakkannya dengan lidah terjulur ke depan. Terlihat sekali bahwa Alvarez memang sengaja mengejek Devan.

Berbeda hal dengan dua anak itu yang tengah bermain hujan, di dalam rumah, Raina justru tengah sibuk memasak makanan bersama Ani untuk makan siang. Perempuan itu tak ingat jika ada dua anak yang sebelumnya ia tinggalkan di ruang keluarga dengan berbagai mainan.

"Ini tinggal menyiapkan. Bibi tolong siapkan, ya? Saya mau manggil anak-anak dulu," suruh Raina dan langsung pergi meninggalkan dapur.

Ia berjalan menuju ruang keluarga. Namun, di sana ia tak menemukan siapa pun. Hanya ada mainan yang berserakan, tanpa ada dua sosok anak yang dicarinya. Raina kembali melanjutkan langkah keluar rumah. Hujan terlihat begitu deras.

"Masa mereka main keluar?" gumamnya. Baru saja Raina ingin berbalik masuk, sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinganya.

Raina menoleh, matanya menatap terkejut pada Devan yang tengah memegang tangan Alvarez yang tengah tertawa.

"Ya ampun," keluhnya, "Alva, Devan, sini masuk rumah! Udahan main hujan-hujananya!"

Devan dan Alvarez menoleh. Keduanya segera mengambil mobil-mobilan yang mereka pakai lalu lari bersamaan menghampiri Raina.

"Kenapa kalian main hujan-hujanan begini, hm?" tanya Raina setelah kedua anak itu berdiri tepat di hadapannya. Yang ditanya justru tertawa, membuat Raina hanya mampu menghela napas panjang. "Ya sudah, sekarang kalian lewat pintu belakang, Mama tunggu di sana."

"Siap, Ma!" sahut Alvarez dan Devan kompak dengan tangan yang diletakkan pada pelipis kanan; berpose seperti orang hormat. Mereka lantas kembali berlari kecil menuju pintu belakang rumah.

Raina yang melihatnya hanya mampu menggeleng pelan, lalu mengurut pelipisnya yang seketika terasa nyeri. Mungkin jika ada tujuh anak macam dua anak itu di rumah ini, ia akan langsung tekanan batin seketika.

To be continued ....
A/n: Tadi aku baru kepikiran, gimana ya kalo aku bunuh salah satu dari tokoh namanya ada huruf A-nya? Hhe.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang