Bab 38

22K 1.1K 26
                                    

Happy Reading!

Algha melangkah keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Ia baru saja selesai membersihkan diri. Remaja dengan pakaian santainya itu mengambil sebuah buku komik dan membawanya menuju ruang keluarga, tentunya dengan handuk yang sekarang sudah berpindah posisi menjadi melingkar di lehernya.

Ketika sudah berada di ruang keluarga, didapatinya sama adik yang tengah bermain lego di atas karpet bulu yang tersedia di sana. Algha memilih mengambil duduk di sofa, kemudian membuka buku komiknya, dan mulai membaca. Laki-laki itu tampak fokus, sebelum suara sang mama mengalihkan perhatiannya.

“Rambutnya dikeringkan dulu, Bang. Tuh lihat, netes di sofa airnya,” suruh Raina. Ia meletakkan nampan berisi camilan dan minuman di atas meja.

Algha menoleh, ditutupnya buku itu lalu meletakkan di sampingnya. Baru saja tangannya menyentuh ujung handuk, sang mama sudah lebih dulu mengambilnya.

“Biar Mama aja,” ucap Raina. Wanita itu duduk di samping Algha, dan mulai mengeringkan rambut si sulung. “Bagaimana sekolahnya, Bang? Lancar?” tanya Raina, berusaha membuka topik.

Makin berjalannya waktu, ia sudah mulai terbiasa menjalani profesi barunya—yang terasa sangat mendadak baginya. Raina akui, ia sudah menyayangi dan menganggap dua anak itu seperti anak kandungnya sendiri. Dan, menurut Raina, ini semua karena terbawa oleh perasaan Raina asli.

“Lancar, Ma,” jawab Algha sambil menyengguk. Ia kembali meraih buku komiknya lalu merebahkan diri di pangkuan Raina kala wanita itu sudah selesai mengeringkan rambutnya. “Oh iya, Ma. Mulai besok Algha izin pulang telat, ya?”

Kening Raina mengerut. “Alasannya kenapa? Akhir-akhir ini Abang ada kegiatan?”

Algha berbalik, mengubah posisi tidurnya menjadi telentang dan meletakkan buku komik di dadanya. Ia mengangguk.

“Algha ikut ekskul basket, Ma. Dan bentar lagi turnamen, makanya perlu sering latihan setelah pulang sekolah,” jawab Algha.

“Terus, yang Abang jadi perwakilan olimpiade tuh jadi?”

Algha mengangguk. “Nanti Mama mau, ‘kan datang ke pertandingan basket sama olimpiade buat dukung Algha?”

Raina tersenyum, diusapnya rambut Algha sambil mengangguk. “Mama nggak bisa janji karena Mama nggak tau apa yang bakalan terjadi ke depannya, tapi Mama bakalan usahain datang buat dukung anak kesayangan Mama ini,” sahutnya, diikuti tangan yang mencolek hidung Algha pelan.

Jawaban itu membuat Algha melebarkan senyumannya. Meski itu masih rencana, yang Raina sendiri tak dapat berjanji untuk benar-benar datang, setidaknya wanita itu sudah mau berkata akan berusaha. Algha bahagia mendengarnya. Selama ini, setiap mengikuti olimpiade, tak ada satu pun keluarga yang meluangkan waktu, apalagi menemaninya. Mungkin hanya ada Geo yang datang, itu pun tidak selalu.

“Terima kasih, Mama.”

Raina menggeleng sambil berujar, “tidak perlu berterima kasih, Bang. Ini udah jadi tanggung jawab Mama.”

Baru saja Algha ingin menjawab, sebuah suara berhasil memutuskan niatnya.

“Mama, Alva mau minum.”

“Bangun dulu sebentar, Bang,” ucap Raina. Setelah Algha bangun dari pangkuannya, Raina pun segera mengambil minuman yang berada di atas meja, lantas membantu Alvarez minum. “Sudah?”

Alvarez mengangguk. “Telima kasih, Mama.”

“Sama-sama, Sayang,” jawab Raina, “Alva udah mainnya?”

Lagi dan lagi Alvarez mengangguk. Ia kembali menghampiri mainannya. Anak itu mulai sibuk memasukkan kembali mainannya ke dalam keranjang yang memang digunakan untuk tempat mainan.

Raina tersenyum melihatnya, sejenak diusapnya kepala Algha lalu berdiri dari duduknya. Perempuan itu menghampiri si bungsu, lantas membantu anak itu membereskan mainan.

“Alva makin pintar,” pujinya.

Alvarez menoleh, ia tersenyum hingga matanya menyipit dan deretan gigi susunya terlihat.
“Telima kasih, Ma.”

Raina mengangguk. Ia mengangkat keranjang mainan itu, membawanya menuju ruang tempat bermain yang berada di samping kamar Alvarez, lantas meletakkannya di sana. Raina kembali lagi ke ruang keluarga, menghampiri kedua anaknya yang masih berada di sana.

“Ayo, Abang sama Adek tidur siang dulu,” ajak Raina.

“Bentar, Ma. Tanggung, bentar lagi selesai,” sahut Algha dengan mata yang masih berfokus pada deretan gambar dan tulisan yang terpampang pada komik yang dibacanya.

“Ya sudah, Mama mau tidurin Adek dulu. Nanti kalo udah selesai langsung tidur, ya?”

Si sulung tak menjawab, ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Lantas, Raina pun menggendong Alvarez yang sedang mengucek matanya menuju ke kamar anak itu.

Setibanya di kamar, ternyata Alvarez sudah tertidur. Dengan hati-hati Raina meletakkan tubuh Alvarez ke atas ranjang. Ia menaikkan sedikit suhu AC, kemudian memilih keluar kamar dan kembali menghampiri anak sulungnya.

“Belum selesai, Bang?” tanyanya setelah mengambil duduk di sebelah Algha.

Sejenak Algha menghentikan aktivitas membacanya. Ia menoleh ke arah lainnya sambil menggeleng.
“Masih seru, Ma,” jawabnya. Tak lama, matanya beralih ke buku komik lagi.

Raina hanya mampu menggeleng, ia mengacak pelan rambut Algha. Tak tahu harus melakukan apa, Raina pun mengambil camilan dan memakannya. Keduanya larut dalam kegiatan masing-masing, hingga tanpa terasa azan asar pun berkumandang.

Raina menepuk pundak Algha sambil berkata, “udah dulu, Bang, bacanya. Mandi, terus salat ke masjid.”

Algha menurut, ditutupnya buku bacaannya itu, lantas berdiri.
“Algha ke kamar dulu, Ma,” pamitnya. Remaja itu mencium pipi sang mama, sebelum kembali menuju kamarnya, tak lupa menenteng sekalian buku komiknya.

❄️❄️❄️

“Neo ....” Alvarez tampak tersenyum setelah memanggil ikan cupang mungilnya dengan nada melambai-lambai. Anak yang tengah memegang mangkuk kecil berisi makanan ikan itu berdiri di sisi akuarium sambil sesekali menaburkan sedikit makanan untuk makhluk mungil di dalamnya.

“Neo cepat besal, ya? Bial bisa Alva ajak main lego, telus ... banyak deh,” ucap Alvarez dengan polos. Lantas, ia menoleh kala merasakan usapan lembut di kepalanya.

“Ikan cupang nggak bisa diajak main,” tutur Raina.

Alvarez mengangkat kedua alisnya. Ia kembali menoleh ke arah ikannya yang tengah asik berenang ria ke sana kemari dengan santai.

“Kenapa nggak bisa diajak main, Ma?” tanya Alvarez setelah kembali menghadap pada Raina.

“Ikan itu salah hewan berdarah dingin. Ikan hidupnya di air, kalo dibiarkan tanpa air, ikannya bisa mati, Sayang,” ucap Raina menjelaskan.

Alvarez mengangguk-angguk. “Yah, belalti Alva nggak bisa ajak Neo main dong?”

Raina tersenyum, ia kembali mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Alvarez.
“Kan Alva bisa main sama Poli.”

Mendengar itu, Alvarez langsung saja menggeleng tak setuju.
“Alva nggak suka kucing,” jawab Alva cepat.

Memang, di rumah ini Alvarez adalah satu-satunya orang yang tidak menyukai kucing. Bagi Alvarez, kucing itu terlihat sangat menggelikan, apalagi ketika bulu-bulu kucing itu mengenai kakinya. Alvarez lebih baik berhadapan dengan lipas daripada dengan kucing—hewan yang kata mereka menggemaskan itu, terutama kata Algha.

Raina tertawa mendengarnya. Diusapnya kepala Alvarez.

“Mandi dulu, yuk. Habis itu salat, terus ngaji,” ajaknya, lalu menggendong Alvarez, membawanya ke kamar anak itu.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang