Bab 45

18K 1.1K 78
                                    

Happy Reading!

Suasana malam ini terasa sangat sunyi. Tak ada suara celotehan anak-anak, atau suara televisi yang biasanya menemani kala sendiri. Di sini, tepatnya di rumah keluarga, hanya terdengar bunyi jarum jam yang tak berhenti berdentang, diiringi dengan suara kucing yang sesekali mengeong sambil mengusapkan tubuhnya ke kaki seorang wanita yang tengah asik membaca buku sembari duduk di sofa.

Ia adalah Raina, yang tengah membaca salah satu buku parenting yang baru saja tiba setelah kemarin ia cari dan beli di sebuah toko daring. Meskipun tubuhnya sudah berusia hampir 40 tahun, Raina tak pernah lelah mempelajari dunia parenting. Baginya, mau setua apa pun umur seseorang, tak ada kata terlambat untuk belajar, sebelum ajal datang.

Raina mengangguk beberapa kali setelah memahami kata demi kata yang tercetak di dalam buku. Perempuan itu menghela napas pelan sambil menyandarkan tubuhnya di sofa, setelah meletakkan buku yang telah selesai dibacanya di atas meja.

“Ma ....”

Panggilan dari suara seseorang yang sangat ia kenali itu membuat Raina yang sebelumnya tengah berpejam itu segera membuka matanya. Kepalanya menoleh, menatap ke arah seorang anak yang sudah memakai baju tidur.

“Sini, Nak. Duduk,” ucap Raina. Ia menepuk tempat di sampingnya setelah bergeser sedikit—memberikan ruang agar Algha bisa duduk. “Belum tidur?” tanyanya, membuka percakapan.

Algha menggeleng. Ia pun duduk di samping Raina, usai meletakkan segelas air putih yang sebelumnya telah diambilnya dari dapur.

“Gimana sekolahnya tadi?”

“Baik, Ma,” jawab Algha. Remaja itu menatap sang mama lama. Bibirnya sudah terbuka sedikit, seolah-olah ada yang ingin disampaikan. Akan tetapi, belum ada satu pun suara yang keluar dari mulutnya.

“Ma ....” Hanya kata itu yang terucap. Algha menghela napas pelan, sebelum akhirnya memilih untuk kembali mengatupkan bibirnya rapat.

Raina tersenyum melihatnya. Tangannya mengarah ke kepala Algha, membawa kepala anak sulungnya itu untuk bersandar di pundaknya.

“Kenapa, Bang? Ngomong aja, nggak usah sungkan-sungkan sama Mama,” tutur Raina, “Abang ada masalah? Atau ada yang mau ditanyakan ke Mama?”

Algha menggeleng sebentar, lalu diam. Selama beberapa menit ia tetap bertahan di posisinya sambil menikmati elusan lembut sang mama di kepalanya yang terasa sangat menenangkan.

“Abang mau cerita?” Raina mengulangi pertanyaannya saat tak mendapat respons kembali dari si sulung.

Algha mengangkat kepalanya. Matanya mengarah pada jam yang tertempel di dinding. Sejenak ia berfokus pada jarum yang berputar di dalamnya, sebelum memilih untuk menoleh pada Raina yang juga tengah menghadap ke arahnya.

“Menurut Mama, gimana kalo teman dekat kita terlalu tertutup sama kita?” tanya Algha, matanya menatap Raina dengan penuh pengharapan, antara berharap agar apa yang selama ini ia lakukan sudah benar, atau agar jawaban wanita itu dapat memuaskan rasa keingintahuannya. 

Yang ditanya justru tersenyum, seolah-olah sudah paham dengan apa dan siapa yang dimaksud oleh si anak.

“Mama udah pernah bilang belum sama Abang tentang privasi seseorang?” Pertanyaan itu langsung dibalas dengan anggukan oleh Algha. “Nah, begitu pun dengan teman, Bang. Setiap orang punya batas privasinya masing-masing. Abang nggak boleh maksa seseorang buat cerita karena nggak selamanya orang itu akan merasa baik-baik saja ketika dipaksa untuk cerita, tapi kalo suatu saat dia mau cerita, Abang bisa jadi pendengar yang baik. Dan kalo dia perlu saran, baru Abang bisa kasih saran.”

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang