Bab 6

54.5K 2.9K 60
                                    

Happy Reading!

Raina menatap pintu kamarnya yang belum jua terbuka. Sejak tadi, perempuan itu membaca buku sambil menunggu sang suami masuk ke dalam kamar. Raina menghela napas pelan, sepertinya jika sekarang ia terus menunggu, yang ada kantuk yang menghampirinya, bukan Farrell.

Raina turun dari ranjang. Ia memakai sandal bulu yang tadi tak sengaja ia temukan di rak lemari pakaian paling bawah. Raina berjalan keluar kamar. Ia menghentikan langkahnya saat sudah tiba di depan pintu kamar. Pandangannya mengarah ke suatu tempat, tepatnya di sofa ruang keluarga. Di sana, terdapat Farrell yang tengah sibuk mengetik di laptop dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

Raina menarik kedua sudut bibirnya. Inilah saatnya ia beraksi, siapa tahu ia juga dapat merebut hati suami yang baru pertama kali jiwa Reina temui itu. Ah, wajah tampan itu telah berhasil membangunkan jiwa-jiwa penyuka pria tampannya. Raina berbelok, ia melangkah menuju dapur. Tujuannya adalah membuat minuman yang akan menemani malam perdananya bersama pria itu. Walaupun tak berharap Raina, tetapi Raina akan berusaha saja terlebih dahulu.

Tak memerlukan waktu yang lama, Raina meletakkan dua jenis minuman di atas nampan. Ia berbalik, meneliti jika ada yang kurang. Perempuan itu melangkah ke lemari penyimpanan, kemudian mengambil stoples berisi kacang telur. Usai meletakkannya tepat di samping minuman, Raina bertepuk tangan kecil.

Ia mengangkat nampan itu, lantas membawanya menghampiri Farrell. Raina melangkah dengan sangat pelan. Masih dengan senyum di bibirnya, ia memindahkan minuman dan stoples kacang ke atas meja, setelah merapikan dan menyingkirkan beberapa berkas yang berserakan di sana.

Kedatangan Raina membuat Farrell menghentikan kegiatannya. Ia mendongak, tatapannya mengarah heran pada Raina. Senyuman lebar itu lagi-lagi berhasil membuatnya mengerutkan kening. Biasanya, ketika ia masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya saat tengah malam begini, jangankan menemani, peduli pun tidak. Raina bahkan lebih memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya di kamar. Namun, secangkir kopi yang tersaji di hadapannya membuat sesuatu terasa menggelitik di perut Farrell.

“Kerja boleh, tapi harus ingat waktu juga, Mas,” ucap Raina sambil mengambil duduk di samping Farrell.

Lagi, meski sudah biasa dipanggil dengan sebutan mas oleh Raina, malam ini terasa sangat berbeda. Bagi Farrell, panggilan disertai senyum yang terlihat manis dari Raina adalah hal yang tak pernah ia temui sejak rumah tangga mereka terjalin dari belasan tahun yang lalu.

“Mas?” panggil Raina sekali lagi sambil melambaikan tangannya di depan wajah Farrell.

Seketika Farrell tersadar dari lamunannya. Ia menegakkan tubuhnya. Kepalanya menoleh kecil, tatapannya terkesan datar.
“Kenapa?”

Kini giliran Raina yang dibuat heran dan mengernyitkan kening, pertanyaan Farrell terasa ambigu baginya.

“Apa?”

“Kenapa?” Farrell kembali mengulang pertanyaan yang sama.

“Suamiku tersayang, apanya yang kenapa? Istrimu yang cantik jelita dan tidak sombong ini tidak paham dengan apa yang kamu maksud,” tutur Raina.

“Kenapa?!” Kali ini, suara Farrell terdengar meninggi.

Raina menahan napas dengan kepala yang refleks menunduk. Sejak kecil, jiwa Reina tak pernah sekalipun dibentak oleh kedua orang tuanya, sebab cara mendidik orang tuanya adalah lembut, tetapi tegas. Tidak memanjakan, tidak pula menekan. Hingga bentakan seperti ini sukses membuat nyeri di ulu hatinya. Hampir saja setetes air mata jatuh, jika ia tak cepat-cepat menyekanya.

Raina mengangkat kepalanya. Senyuman manis kembali ia berikan, walau bentakan beberapa detik lalu itu masih terasa memekik di telinganya. Raina tak boleh tumbang hanya karena bentakan kecil seperti tadi. Ia tak boleh menyerah. Ini baru awal, ya ini semua hanya permulaan. Kendatipun bukanlah awal yang baik.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang