Bab 24

32.9K 1.7K 59
                                    

Happy Reading!

Suasana taman di hari pekan memang selalu ramai. Banyak orang yang memanfaatkan hari libur ini sebagai ajang mencari udara segar, salah satunya dengan lari pagi. Di beberapa titik yang kerap kali dijadikan sebagai tempat istirahat dan pemberhentian setelah berolahraga kecil pun tampak diisi dengan beberapa penjual yang berlomba-lomba memanfaatkan situasi. Sebab biasanya, banyak orang yang akan memilih untuk mengosongkan perut mereka sebelum berolahraga.

“Pak, sotonya tiga porsi, ya. Nggak pakai taoge semua. Makan di sini, Pak,” pesan Raina pada penjual soto tatkala ia dan keluarganya sudah tiba di sekitar gerobak penjual soto yang menjadi tempat untuk mengisi perut mereka  ini.

Yang diajak berbicara segera mengangguk. “Siap, Neng. Silakan duduk, nanti saya antar pesanannya.”

Tak lama setelah Raina duduk di samping Algha, tiga porsi soto sesuai pesanan pun dihidangkan di hadapan mereka. Raina meletakkan masing-masing mangkuk soto di hadapannya, Alvarez, dan Algha.

“Punya Papa mana, Ma?” tanya Alvarez.

Raina menoleh. “Papa nggak suka makanan ini, Sayang,” jawabannya dengan nada menyindir. Ia melirik pada pada Farrell sebentar, lalu mencampurkan soto Alvarez dengan sedikit kecap.

Farrell tak menjawab. Matanya justru menatap segan ke sekitarnya. Jujur saja, ini pertama kalinya Farrell duduk dan berada di tempat seperti ini. Biasanya, ia pasti lebih memilih mengisi perut di restoran atau paling tidak kafe. Bukan penjual dengan gerobaknya yang terparkir di pinggir jalan.

“Alva makan sendiri atau mau disuapin?” tanya Raina.

Alvarez mengangkat kepalanya. Ia menggeleng, lantas menoleh pada sang papa. 
“Alva mau disuapin sama Papa.”

“Makan sendiri,” sahut Farrell cepat. Namun, tatapan mengintimidasi yang dilayangkan oleh Raina berhasil membungkamnya. Sial, sejak kapan dirinya menjadi suami takut istri begini. Farrell bergidik pelan lalu meraih mangkuk soto milik Alvarez. Dengan raut wajah terpaksa, pria itu mulai menyuapi sang anak.

Namun, jujur saja, Farrell tak dapat membohongi dirinya sendiri sebab soto itu terlihat begitu menggugah selera. Kepulan asap-asap tipis masih dapat dilihatnya, ditambah aroma khas rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu penyedap berhasil membuat perutnya meronta-ronta. Farrell juga ingin mencoba, akan tetapi gengsinya terlalu kuat.

“Kalo mau tinggal makan, Pa,” ucap Algha tanpa melihat ke arah sang lawan bicara. Anak itu tampak sangat menikmati makanan yang ia lahap pagi ini.

Raut wajah Farrell seketika membuat Raina tertawa.

“Coba dulu punya Alva, nanti kalau Mas doyan, aku pesankan.”

Mau tak mau Farrell harus menurunkan egonya. Gengsinya tak sebanding dengan keinginannya untuk mencicip kuah soto itu. Tanpa menunggu untuk diperintah kembali, Farrell segera memasukkan sesendok kuah soto ke mulutnya. Mata pria itu sampai terpejam, saking menikmatinya.

Lagi dan lagi Raina tertawa. Ia menghentikan makannya, lantas sedikit memiringkan tubuhnya, menghadap pada sang penjual.

“Sotonya satu porsi lagi, ya, Pak!”

Si penjual mengangguk. Dengan cekatan ia menyiapkan pesanan pelanggannya, lantas mengantarkan ke tempat pemesan.

“Silakan dinikmati,” ucapnya, lantas berlalu.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang