Bab 37

21.8K 1.3K 32
                                    

Happy Reading!

“Papa!” Alvarez berteriak kencang seiring dengan tangan mungilnya yang berusaha membuka pintu kaca di hadapannya.

Sosok yang dipanggil pun memutar kursi kebesaran yang sudah didudukinya. Kepalanya mendongak, menatap Alvarez yang berlari ke arahnya, serta Raina dan Algha yang tengah berjalan memasuki ruangannya. Dengan sedikit menaikkan sudut bibirnya, Farrell berdiri dan mengangkat tubuh kecil Alvarez ke dalam gendongannya. Pria itu berjalan menghampiri Raina dan Algha yang sudah duduk di sofa.

“Bawa apa?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya kala melihat Raina membuka tutup kotak rantang. Pancaran bahagia terlihat di matanya saat isi di dalam kotak itu mulai terlihat. Farrell memang salah satu dari banyaknya orang yang menyukai makanan manis, persis di bungsu.

“Nih, cobain,” ucap Raina sembari menyodorkan secuil kue menggunakan sendok kepada Farrell yang langsung diterima baik oleh pria itu.

Farell terdiam sejenak sembari mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. Lantas, laki-laki itu mengangguk beberapa kali, sebelum menyeka sudut bibirnya.

“Enak,” pujinya, tak berbohong.

Dan pujian kecil itu berhasil membuat Raina menyinggungkan senyum kecil. Kali ini tatapannya beralih pada Algha yang tengah duduk di sampingnya sembari memainkan ponsel. Diusapnya dengan lembut pundak anak itu.

“Kalo lagi kumpul, dan tidak ada kepentingan, ponselnya ditaruh dulu, ya?” tutur Raina dengan nada lembut, dan tak ada sedikit pun tersangkut kemarahan pada nada suaranya. Ia hanya ingin momentum bersama keluarga tidak hancur karena salah satu atau banyak pihak lebih fokus kepada ponsel.

Algha memilih menurut, entah apa yang dipikirkannya. Remaja itu langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas, kemudian memperbaiki posisi duduknya.

“Abang mau?” tawar Alvarez. Ia mengikuti apa yang dilakukan oleh sang mama tadi. Alvarez menyodorkan sendok berisi secuil kue ke mulut Algha, yang membuat Algha mau tak mau menerima suapan itu.

“Kalian udah makan siang?” tanya Farrell.

Mereka yang ditanya pun menggeleng, kecuali Algha yang memilih menikmati kue perdana yang dibuat sang mama untuk mereka.

“Mau makan apa? Biar Papa pesankan,” tawar Farrell.

“Alva mau udang klispi!” jawab Alvarez, merepons cepat.

“Algha terserah aja, yang penting enak.” Kali ini si sulung yang bersuara.

Semua itu tak lepas dari pandangan mata seorang wanita yang berperan sebagai ibu di keluarga itu. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna, Raina tak dapat lagi menyembunyikan senyumannya. Ia bahagia melihat itu semua. Farrell yang tampak benar-benar berusaha menjadi ayah yang baik, dan kedua anak yang memberi timbal balik yang lumayan.

Ya walaupun Algha masih saja menjadi si penurut—entah karena memang sedang tak ada makanan yang ia inginkan, atau memilih memendam keinginannya. Raina pun tak tahu apa yang dirasakan anak itu. Ikatan batinnya dan Algha belum terlalu menyatu. Algha memang mulai terbuka, tetapi belum sepenuhnya. Dan itu berarti, Raina harus kembali, serta terus kembali berusaha.

“Gimana kalo kita makan di kantin kantor aja? Biar kalian bisa pilih makanan yang kalian suka?” Raina memberikan usulan setelah mendapatkan ide.

“Boleh juga,” balas Farrell, “ayo,” ajaknya. Ia kembali berdiri, tentunya masih dengan Alvarez di gendongannya.

“Tunggu, biar Abang ganti baju dulu,” kata Raina. Perempuan itu meraih kembali paper bag yang disimpannya di bawa meja, kemudian memberikannya pada Algha. “Di dalam ada baju Abang, sana ganti baju di kamar mandinya Papa.”

Algha mengangguk. “Terima kasih, Ma,” sahutnya sembari menerima sodoran paper bag itu, lalu membawanya ke kamar mandi. Hanya membutuhkan waktu selama beberapa menit, anak itu kembali dengan pakaian yang berbeda. Ia meletakkan paper bag yang sudah berganti isi menjadi seragam sekolahnya itu di sofa.

Satu keluarga yang berisikan empat orang itu mulai melangkah keluar dari ruangan Farrell, dengan posisi Algha dan Alvarez yang saling berpegangan tangan, serta mama dan papa mereka yang berjalan di belakang dengan posisi tangan Farrell melingkar di pinggang ramping Raina.

Mereka menaiki lift khusus petinggi lalu menekan tombol lantai di mana kantin berada.  Saat lift itu kembali berhenti, mereka pun berjalan keluar dari lift dan mulai memasuki area kantin. Sepanjang perjalanan, banyak mata yang memandang ke arah mereka. Beberapa ada yang menampilkan senyum sebagai formalitas, dan sisanya menampilkan senyum palsu.

Dan Raina sesekali membalas senyuman mereka. Namun, tidak dengan Farrell, pria itu hanya membalas senyuman mereka dengan anggukan kecil dengan wajah datar. Mereka berhenti di salah satu meja kosong, lantas mengambil posisi duduk masing-masing. Seorang pelayan kantin pun langsung menghampiri mereka.

“Mau pesan apa, Pak, Bu?” tanyanya sopan.

“Kalian mau makan apa?” tawar Raina kepada dua anak dan suaminya sembari melihat-lihat gambar makanan yang terpampang di buku menu.

Alvarez langsung mengangkat tangan. “Alva mau udang, Ma.”

Raina mengganggu, kali ini pandangannya beralih pada Algha.
“Kalo Abang?”

“Terserah Mama aja.”

Lagi dan lagi Algha mengeluarkan jawaban yang sama. Hal itu tentu saja membuat Raina menghela napas. Ditatapnya kembali buku indah di tangannya.

“Saya pesan udang krispinya satu porsi, terus mi ayamnya tiga porsi,” ucap Raina.

“Untuk minumnya, Bu?” tanya si pelayan setelah menulis menu yang dipesan Raina di buku kecil yang dipegangnya.

“Jus jeruk empat.”

Sang pelayan mengangguk paham. “Baik, saya ulangi, Bu. Udang krispinya satu porsi, mi ayamnya tiga porsi, dan empat jus jeruk?”

“Betul.”

“Kalau begitu, tunggu sebentar, Pak, Bu. Pesanan akan segera diantar.” Setelah mendapati anggukan, pelayan itu pun pergi dari hadapan mereka.

Tak perlu menunggu lama, makanan yang mereka pesan pun telah datang dan disajikan di meja mereka. Satu keluarga itu mengambil makanan masing-masing dan mulai menikmatinya.

“Adek bisa makan sendiri?” tanya Raina sambil mengaduk mi ayam miliknya.

Alvarez mendongak, sejenak ia menatap makanannya, kemudian kembali menatap Raina seraya menggeleng.

“Mama, tolong bantu Alva kupas kulit udangnya.”

Permintaan kecil itu membuat Raina tersenyum. Wanita itu bahagia sebab hal sederhana yang ia ajarkan, berhasil diterapkan oleh anak bungsunya. Raina mengambil alih piring Alvarez. Ia mencuci tangannya di mangkuk berisi air yang memang sengaja disediakan untuk mencuci tangan, lantas mulai mengupas kulit udang satu per satu. Setelah selesai, ia kembalikan piring itu di hadapan Alvarez.

“Makasih, Mama.” Usai mengucapkan itu, Alvarez mengulurkan tangannya ingin mengambil udang. Namun, secepat kilat tangan Algha mencegahnya. Hal itu membuat Alvarez menoleh dan memandang sang abang dengan tatapan bingung.

“Cuci tangan dulu,” titah Algha.

Alvarez cemberut, tetapi tak ayal ia mengikuti titah sang abang. Setelahnya, tak ada lagi percakapan yang mereka lontarkan sampai makanan mereka tandas semua.

“Ayo, Mama antar cuci tangan,” ajak Riana pada Alvarez. Ia menggiring Alvarez yang telah turun dari kursinya ke arah wastafel yang berada tak jauh dari tempat mereka berada.

Kepergian dua orang itu membuat suasana di meja itu menjadi canggung, sebelum akhirnya Farrell berdeham pelan.
“Setelah ini kamu mau ngapain?” tanyanya pada si anak sulung, mencoba berbasa-basi.

Algha menoleh, ia menggeleng. “Maybe, just stay at home.”

“Bagus,” puji Farrell, “Anak seusia kamu memang perlu waktu istirahat yang cukup.”

Ucapan yang mengisyaratkan perhatian itu membuat kening Algha mengerut. Sungguh, tumben sekali sang papa memberinya perhatian kecil seperti ini. Dan Algha hanya mampu memberikan respons sebuah anggukan kecil saja, tanpa kembali mengeluarkan suara.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang