Bab 19

37.5K 1.8K 49
                                    

Happy Reading!

Alvarez berdiri, ia meninggalkan mainan yang tengah dimainkannya dan segera berlari menuju pintu utama kala mendengar suara mobil yang tak asing di telinganya. Anak kecil itu bertepuk tangan riang dan melompat-lompat kecil saat melihat Raina dan Farrell turun dari mobil.

“Mama! Papa!” serunya girang, tak lupa merentangkan tangan, meminta salah satu di antara kedua orang itu untuk menggendongnya.

“Abang udah pulang?” tanya Raina pada Alvarez yang kini sudah berada di gendongan Farrell.

Alvarez mengangguk. “Udah, Ma. Abang ada di kamal (kamar).”

“Ya udah, Adek sama Papa tunggu di ruang keluarga aja. Mama mau susul Abang dulu.”

Setelah mereka tiba di ruang keluarga, Farrell segera menurunkan Alvarez. Anak itu segera mengambil kotak donat yang dipegang oleh sang mama. Dengan tak sabar, ia membuka kotak itu dan mengambil salah satu donat.

“Eum ... enak,” ucap Alvarez. Bibir anak itu belepotan krim yang berasal dari donat.

Raina hanya tersenyum menatap itu. Ia menggeleng ringan, kemudian berjalan menuju kamar Algha. Diketuknya pintu kamar di hadapannya, tetapi tak ada suara yang menyahutnya. Dengan gerakan sangat pelan, Raina membuka knop pintu. Perempuan itu melangkah memasuki kamar si sulung Stephan.

Ditatapnya Algha yang tengah tertidur pulas di atas ranjang, dengan seekor kucing persia peliharaan Algha yang juga tertidur di samping lelaki itu. Anak sulungnya itu terlihat begitu damai dengan alam tidurnya.

Raina menarik sudut bibirnya, ia mendudukkan diri di sisi ranjang, lantas mengusap lembut rambut Algha. Tak lama, usapan itu berhasil membangunkan Algha, memaksanya untuk meninggalkan alam mimpi dan kembali ke dunia nyata.

Raina kembali tersenyum.
“Mama ganggu, ya?” tanyanya.

Algha hanya menggeleng, ia mengucek matanya, tetapi gerakan itu langsung dihentikan oleh sang mama.

“Matanya jangan dikucek, Sayang. Nanti merah lho,” tegurnya.

“Ada apa, Ma?” tanya Algha setelah mendudukkan diri lalu memangku Poli—nama kucingnya.

“Tadi Mama beli donat. Sana cuci muka dulu, baru makan donatnya. Nanti dihabisin sama Adek lho.”

Algha mengangguk. Ia memberikan Poli pada Raina, lantas turun dari ranjang dan pergi ke arah kamar mandi.

Raina menatap lamat kucing yang dipegangnya. Kucing itu tampak gemuk. Bulu-bulu putihnya terlihat lebat. Dengan gemas, Raina menciumi Poli, yang membuat kucing itu menggeliat tak suka.

“Terima kasih telah menemani Algha selama ini,” gumam Raina pada Poli, meskipun ia juga tahu bahwa sampai kapan pun Poli tidak akan menjawabnya. Kucing itu hanya memberikan respons dengan mengusapkan tubuhnya ke lengan Raina.

Beberapa menit setelahnya, Algha keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Raina yang masih berada di posisi semula. Algha menatap sang mama sejenak, sebelum mengambil kembali Poli, dan meletakkannya di kandang kucing yang berada di sudut kamarnya.

“Sudah, Nak?” tanya Raina basa-basi, yang dibalas anggukan singkat oleh si sulung. Dengan tetap mempertahankan senyumnya, Raina merangkul pundak Algha, membawanya menuju ruang keluarga.

Sesampainya di sana, ia dihadapkan dengan Alvarez dan Farrell yang saling mencolekkan krim ke pipi. Raina menggeleng sambil menghela napas berat. Ia menoleh, dipandanginya Algha yang tengah menatap datar ke arah dua orang di depan sana.

“Ayo ke sana,” ajaknya. Raina menggiring Algha untuk duduk di sofa, diikuti olehnya yang duduk di sisi remaja itu.

“Papa, Adek, kok krimnya malah dimainin?” tanya Raina sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang