Bab 63

14.2K 823 13
                                    

Happy Reading!

“Algha.”

Panggilan dari Raina itu membuat Algha yang tengah fokus membaca komik sembari duduk di sofa rumah sakit itu menoleh, menatap pada Raina yang kini sudah mendudukkan diri di sampingnya.

“Kenapa, Ma?” sahutnya. Anak itu memilih menutup komiknya, lalu meletakkan di atas meja.

Raina memegang kedua tangan Algha, menggenggamnya di atas paha anak sulungnya itu.
“Maaf, ya. Sejak Opa sakit, Mama jadi kurang perhatian sama kamu dan Al.”

Algha tersenyum. “Nggak apa-apa, Ma. Algha paham. Lagian Algha udah besar, udah bisa ngurus diri sendiri.”

Terang saja ucapan itu membuat Raina nyaris menangis. Anak itu terlampau bersikap dewasa. Raina mengangkat kepalanya, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh. Setelah berhasil, Raina kembali menatap sang anak dengan senyum lembut di bibirnya. Tak lama, wanita itu pun akhirnya meraih tubuh Algha, membawanya ke dalam pelukannya, lantas memberikan usapan lembut di punggung anak itu.

“Jangan terlalu cepat dewasa, Nak.  Jadi dewasa itu nggak semudah yang dibayangkan,” tutur Raina, lembut sekali.

Karena Raina tahu, banyak anak kecil yang ingin cepat dewasa—sebab ia pun pernah mengalaminya. Dulu, ketika kecil, ia selalu berpikir bahwa menjadi orang dewasa adalah hal yang mudah. Mereka dapat pergi ke mana saja tanpa harus dicari-cari seperti anak kecil. Mereka bisa membeli apa saja yang mereka dengan uang yang mereka miliki, serta kebahagiaan lainnya setelah menjadi dewasa yang dulu ia pandang dengan kacamata anak kecil.

Namun, sekarang, ia paham betul, bahwa menjadi dewasa bukanlah hal yang mudah. Bahkan, jika bisa, Raina ingin kembali menjadi anak kecil dan menikmati apa pun yang sempat ia sia-siakan saat kecil dulu. Raina hanya ingin menangis karena ditinggal ibu keluar rumah, bukan seperti sekarang yang menangis karena terlalu banyak beban hidup yang ia pikul, serta karena segala macam pikiran berlebihan yang setiap akan tidur selalu menghantuinya. Raina ingin kembali bisa merasakan betapa girangnya digendong di punggung sang papa. Ah, mengingat sang papa membuat Raina kembali merindukan papa jiwa aslinya—sebagai Reina.

“Mama kenapa nangis?”

Pertanyaan itu spontan saja membuat Raina segera mengusap pipinya. Benar saja, jejak air mata tertinggal di saja. Perempuan itu lantas tertawa kecil sembari mengacak rambut Algha.

“Haha, Mama nggak apa-apa. Tadi cuma nggak sengaja kelilipan doang,” sahutnya, berusaha menenangkan. Melihat Algha yang sepertinya percaya, Raina pun melanjutkan ucapannya, “kamu pulang aja, istirahat di rumah,” suruhnya.

Raina terlampau tak tega melihat dua anaknya mengekorinya di ruang rawat Geo. Pun Raina merasa tak tega melihat dua anaknya harus berbagi ranjang penunggu pasien yang berada di ruangan ini. 

Melihat Algha yang menggelengkan kepala, Raina segera memotong, sebelum anak itu membuka suaranya.

“Algha pulang, ya? Besok kalo udah pulang sekolah, Algha boleh ke sini lagi, sampai sore juga nggak apa-apa. Mama cuma mau Algha istirahat dengan nyaman aja di rumah,” ujarnya dengan nada lembut.

Hingga akhirnya, Algha mengalah. Remaja itu mengemasi barang-barangnya, lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Al ikut pulang, Ma?”

Pandangan Raina beralih pada Alvarez yang sudah tertidur nyenyak di atas ranjang penunggu pasien dengan botol dot di mulutnya. Kemudian, Raina menggeleng. “Adek biar di sini sama Mama. Kasihan Bi Ani kalo nanti Al rewel di rumah,” jawabnya.

Raina berdiri, ia merangkul pundak Algha, menggiring remaja itu berjalan keluar dari ruangan. Setelah keduanya tiba di luar, Raina menoleh pada Fajri yang duduk di kursi depan rruangan

“Saya titip Papa dulu, ya,” pesan Raina. Ketika sudah mendapati anggukan patuh dari sang lawan bicara, perempuan itu kembali berjalan beriringan bersama Algha menuju parkiran. Di sana, keduanya menemui Yuda yang tengah bersandar di kap mobil.

“Selamat malam, Bu, Tuan Muda” sapa Yuda, pria itu sedikit membungkukkan tubuhnya, lantas kembali berdiri tegak.

“Yuda, tolong antar Algha pulang ke rumah dengan selamat, ya,” pinta Raina, “besok kalo Algha belum bangun saat jam enam pagi, tolong bangunkan dia. Saya titip Algha.”

Yuda mengangguk patuh. “Baik, Bu.”

“Tidur yang nyenyak dan jangan lupa makan,” ucap Raina pada Algha. Ia mengecup kening Algha, lalu mengusap kepala anak itu lembut.

“Algha pulang, Ma,” kata Algha. Anak itu meraih punggung tangan sang mama, lantas menciumnya.

“Hati-hati di jalan, Yud,” pesan Raina.

Yuda mengangguk. “Siap, Bu.” ia kemudian membuka pintu mobil bagian belakang, lantas mempersilakan Algha untuk masuk. Yuda pun mulai mengendarai mobil setelah membunyikan klakson sekali sebagai tanda hormat pada Raina yang kini tengah melambaikan tangan.

“Lihat apa?”

Suara yang terdengar tepat di samping telinganya sontak saja membuat Raina terkejut. Perempuan itu menoleh sambil mengelus dadanya ketika tahu bahwa sang pelaku adalah suaminya sendiri.

“Ya ampun, Mas, ngagetin aja.”

“Masuk, yuk,” ajak Farrell. Pria itu mengangkat tangannya, merangkul pundak sang istri, dan membawanya masuk kembali ke dalam rumah sakit. Keduanya berjalan beriringan, hingga tiba di ruang rawat Geo.

Tut-tut-tut!

Bunyi yang dihasilkan dari mesin elektrokardiogram itu membuat Raina cepat-cepat membuka pintu di hadapannya. Di atas ranjang pasien, tampak tubuh Geo yang kejang-kejang. Perempuan yang masih bergeming dengan wajah terkejut itu seketika tersadar saat mendapati tepukan di pundaknya. Lantas, Raina segera menekan tombol call nurse.

Hampir selama beberapa menit mereka menunggu dan dalam waktu itu pula, tubuh Geo yang kejang-kejang perlahan mulai tenang kembali.

Ceklek!

“Sebentar, saya periksa dulu,” ujar Dokter Efendi.  Pria itu terlihat memberikan kode pada seorang suster yang ikut serta masuk ke dalam ruang rawat ini. Kemudian, pria dengan jas kedokteran itu mulai sibuk dengan tugasnya.

“Bagaimana, Dok, keadaan papa saya?” tanya Raina tatkala Dokter Efendi sudah selesai memeriksa Geo.

Dokter Efendi melepaskan stetoskop yang semula menempel di telinganya, lalu menggantungnya di leher. Pria itu mengulurkan tangan pada sang suster, yang kemudian memberikannya sebuah papan berisi catatan kesehatan Geo.

“Menurut hasil pemeriksaan, kemungkinan Tuan Geo akan segera sadar tak lama lagi,” jelas Dokter Efendi.

“Lalu kenapa tadi papa saya kejang-kejang, Dok?” Raina kembali melontarkan pertanyaan.

“Kejang-kejang itu terjadi karena ketegangan otot yang terjadi di dalam tubuh Tuan Geo, kemungkinan itu adalah reaksi alami dari tubuh Tuan Geo setelah beberapa hari koma.”

Raina mengangguk paham mendengar penjelasan itu.

“Kalau begitu, Saya permisi,” pamit Dokter Efendi.

“Terima kasih, Dok.”

Usai kepergian dua orang petugas kesehatan itu, Raina memilih berjalan mendekati ranjang pasien Geo. Perempuan itu mengambil duduk di kursi, kemudian menggenggam tangan Geo.

“Papa cepat sadar, ya,” ujar Raina.

“Rai ....”

Terang saja, suara dengan nada lirih itu membuat Raina seketika mendongak. Matanya melotot, sebelum tersenyum bahagia dan memeluk tubuh sang papa. Tak erat, tapi cukup untuk menyalurkan rasa rindu dan sedihnya melihat pria itu terbaring tak berdaya.

“Alhamdulillah, akhirnya Papa sadar,” ucap Raina penuh syukur, bahkan air matanya menetes sebab terlampau bahagia.

Geo tersenyum, pria itu kembali menarik tubuh Raina, membawa anak itu ke dalam pelukannya.
“Maaf untuk semuanya, ya, Nak,” bisik pria itu.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang