Bab 55

15.6K 822 9
                                    

Happy Reading!

Mata yang sudah sejak beberapa jam itu tertutup dimulai terbuka, menampilkan bola mata sayu akibat rasa sakit yang dideritanya. Geo, pria yang sekarang tengah terbaring lemah di ranjang pasien itu telah siuman dari efek bius yang disuntikkan ke tubuhnya beberapa jam lalu. Mata Geo bergerak, mengitari ruangan yang dihuninya. Di sini, hanya ditemui putri kesayangannya yang terlihat memejamkan mata di atas ranjang penunggu pasien yang juga berada di ruangan ini. Mata Geo kembali berkelana, mencari sosok istri dan anak sulungnya yang keberadaannya tak ditemui oleh pria itu.

“Papa?” ucap Raina. Perempuan yang baru saja terbangun dari tidur tak nyenyaknya itu langsung turun dari ranjangnya dan berjalan menghampiri ranjang pasien Geo. “Minum dulu, Pa,” lanjutnya setelah mengambil segelas air dari meja kecil yang berada di samping kepala ranjang. Dengan telaten Raina membantu sang papa duduk, dan membantunya minum, kemudian membaringkan sang papa kembali seperti semula.

“Kamu nggak pulang, Rai?” tanya Geo.

Raina menggeleng, ia mengambil duduk di kursi lalu memegang sisi ranjang.
“Kalo aku pulang, Papa nggak ada yang jagain,” sahutnya, “oh iya, Papa ada keluhan? Ada yang sakit nggak?”

“Tidak ada, Nak,” jawab Geo. Bibir pucatnya menampilkan segaris senyum penuh kasih sayang seperti ayah pada putri kesayangannya. “Cucu Papa gimana? Sama siapa di rumah?”

“Sama Bi Ani, Mas Farrell juga ada di rumah,” ucap Raina sambil memalingkan wajahnya tatkala menyebut nama sang suami.

Terang saja hal itu membuat Geo mengernyitkan keningnya heran. Firasatnya mengatakan bahwa sedang ada yang tidak beres dengan rumah tangga putri bungsunya itu. Namun, daripada menanyakan hal ini itu, Geo lebih memilih untuk mengusap kepala Raina dengan lembut.

Geo menghargai privasi anaknya, apalagi menurutnya, orang tua memang tidak boleh ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, terkecuali sang anak tak mampu lagi mengatasinya dan meminta bantuan dari sang orang tua. Namun, jika Farrell sampai membuat Raina tersakiti dalam batas yang tidak dapat dikatakan wajar, maka Geo adalah orang pertama yang akan menjadi musuh dan memerangi pria itu.

“Kamu istirahat aja, Papa juga mau istirahat,” suruh Geo.

“Ya sudah, Papa istirahat juga, ya,” ucap Raina. Setelah mendapat anggukan dari sang papa, Raina pun kembali ke ranjang yang tadi ditidurinya. Benar kata Geo, Raina juga memerlukan istirahat. Rasanya kejutan dari semesta datangnya terlalu tiba-tiba. Raina belum menyiapkan diri untuk menghadapi ini semua.

❄❄️❄️

Raina menghentikan mobil yang dikendarainya tepat di pekarangan rumah Geo. Sekitar setengah jam yang lalu, perempuan cantik yang saat ini baru saja turun dari mobil itu berangkat dari rumah sakit menuju ke tempat yang saat ini dipijaknya untuk mengambil beberapa sesuatu yang  diperlukan Geo selama pengobatan di rumah sakit. 

Sebenarnya, bisa saja Raina meminta tolong pada Fajri atau anak buah papanya. Namun, Raina memiliki tujuan lain. Selain untuk mengambil keperluan sang papa, Raina juga ingin mencari keberadaan dua wanita yang menjadi beban hidup sang papa—ya, julukan yang baru-baru ini disematkan Raina pada ibu dan saudara tirinya.

Setelah memasuki rumah, yang Raina ditemui hanyalah para pekerja papanya. Sedangkan untuk dua wanita yang sedang dicarinya itu, tak ditemuinya. Raina berdecak pelan, lantas berjalan menuju kamar sang papa. Tanpa membuang waktu, Raina langsung mengambil apa saja yang sekiranya dibutuhkan oleh Geo. Tak lama, ia pun keluar sembari membawa sebuah tas berukuran sedang.

Sejenak pandangan Raina mengarah pada lantai—lokasi di mana kamarnya dan kamar Salsa berada. Perempuan itu terlebih dahulu meletakkan tas yang tadi dibawanya di sofa ruang keluarga, kemudian berjalan menaiki anak tangga. Sebenarnya, Raina hanya ingin mengunjungi kamar Raina yang selama ini belum pernah dimasukinya. Namun, ketika tiba di depan kamarnya, samar-samar suara yang terdengar dari kamar Salsa membuat wanita itu mengurungkan niatnya. Raina berbalik, ia berjalan ke depan kamar Salsa dan berdiri di depan pintu.

“Ma ....”

Raina bergeming mendengarnya. Seolah-olah ada yang membisikkannya sesuatu, Raina langsung meraih ponsel yang berada di dalam tas selempangnya, lantas membuka aplikasi perekam suara. Ia harus mengabadikan hal ini. Siapa tahu, ada sebuah rahasia atau kejutan yang akan didengarnya nanti. Raina tak ingin menyia-nyiakan informasi sekecil apa pun, apalagi jika ini berkaitan dengan dua wanita yang dibencinya itu. Tujuan Raina masih sama, yaitu membuka topeng manipulatif yang selama ini dipakai oleh Sandra dan Salsa. Raina hanya ingin tujuannya berhasil, tak peduli jika harus dengan cara yang kasar dan penuh pemaksaan.

“Ma, ini kesempatan emas buat kita yang kirim si tua bangka itu, tapi sebelum itu kita harus bisa memaksanya untuk membuat surat wasiat agar semua hartanya jatuh ke tangan kita.”

“Tenang, Salsa. Kita jangan gegabah. Kita harus susun rencana sebelum Geo berhasil keluar dari rumah sakit. Lagi pula, selama ini Mama sudah memberikan obat yang bisa menurunkan daya kerja jantung Geo ke kopi yang dikonsumsinya.”

Jelas, Riana mengenali suara itu. Ya, suara kakak dan ibu tirinya. Kedua tangan Raina terkepal kuat. Ia benci orang munafik, dan ia benci orang yang memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi. Tindakan yang dilakukan oleh dua wanita itu sangat di luar batas wajar. Apalagi ini sudah termasuk dalam konsep pembunuhan berencana.

Setelah tak mendengarkan suara apa pun lagi, Raina segera mematikan rekaman suara itu dan memasukkan ponselnya kembali. Raina membuka pintu di hadapannya, yang langsung disambut dengan tatapan terkejut oleh dua wanita yang berada di dalam sana. Raina tersenyum miring, lantas tertawa kecil.

“Aku nggak pernah ngira, ternyata dugaanku selama ini benar bahwa kalian hadir di keluarga ini memiliki maksud tertentu,” ucap Raina. Ia melangkah mendekati dua wanita yang masih bergeming di posisinya, lantas memutari tubuh Salsa dengan jemari telunjuknya yang menekan pundak Salsa yang terekspos. Tidak menggunakan banyak tenaga, tetapi mampu membuat perempuan yang disentuhnya itu bergetar dengan wajah yang kian memucat. “Aku tidak akan tinggal diam. Kalian parasit, kalian sampah!”

Sandra melotot tak terima. Seketika ia menepis jari Raina yang masih bertengger di pundak Salsa dengan keras.
“Kau tidak akan bisa apa-apa, Bodoh!” makinya.

Raina kembali tertawa, lantas bertepuk tangan.
“Kalian seharusnya coba mengikuti ajang pencarian bakat.  Sayang sekali jika bakat akting kalian tidak disalurkan ke tempat yang tepat,” sarannya, terdengar satire, yang jelas saja kian membuat wajah Sandra merah padam. Namun, bukannya peduli, Raina justru melanjutkan kalimatnya. “Huh, entah kalian yang terlalu hebat, atau Papa yang kurang mampu membedakan mana perempuan ular dan mana perempuan benar, sehingga Papa mudah sekali dimanipulasi oleh dua serigala berbulu domba ini.”

 

To be continued ....
A/n: nyam-nyam, selamat malam Minggu. Ke mana kalian malam ini?

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang