Bab 65

14.1K 763 5
                                    

Happy Reading!

“Rai, kenapa kaki Papa rasanya tidak bisa digerakkan, ya?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Geo, yang spontan saja membuat Raina yang tengah mengaduk bubur pun mendongak. Kerutan mendalam seketika muncul di keningnya, mencerminkan kekhawatiran yang mulai merajai pikirannya.

“Dari kapan Papa ngerasainnya? Kenapa baru bilang sekarang?”

Geo tersenyum kecil, kemudian menjawab menjawab,
“Sejak Papa bangun. Dulu Papa kira itu cuma efek karena koma, tapi ternyata sampai sekarang rasanya masih sama.” Ucapan pria itu memang terlihat santai, tetapi terang saja, tiap kata yang terucap itu terdengar penuh dengan ketidakpastian dan kegelisahan di telinga Raina.

Tersadar akan urgensi situasi, Raina dengan cepat menyahut,
“Sebentar, kita panggil Dokter Efendi, takutnya ada yang bermasalah sama kaki Papa.” Tanpa menunggu respons dari lawan bicara, perempuan itu berdiri dan menekan tombol darurat.

Tak lama setelah itu, pintu ruangan pun terbuka. Dokter Efendi memasuki ruangan dengan langkah tenang, diikuti oleh seorang suster yang membawa aura ketergesaannya.

“Selamat siang. Ada keluhan apa, Tuan?” Tidak ada basa-basi dalam suara Dokter Efendi, hanya kepedulian dan kehati-hatian yang tercermin. Senyum ramah yang menjadi senjata andalannya pun terukir.

“Kaki saya mati rasa, Dok. Seperti tidak bisa digerakkan.”

Dokter Efendi mengangguk singkat. Tak ada raut bingung di wajahnya. Pria yang sudah mengabdi di rumah sakit sebagai dokter selama hampir setengah usianya itu seakan-akan sudah tahu penyebab itu semua.

“Saya periksa dulu, ya, Tuan.” Pria yang memakai jas kedokteran itu pun memulai aktivitasnya. Sesekali ia menoleh ke arah suster yang datang bersamanya, mengucapkan sesuatu, lantas kembali memeriksa. Tak lama, mungkin hanya beberapa menit saja pria itu sudah kembali berdiri di sisi ranjang pasien Geo.

“Ada masalah apa sama kaki papa saya, Dok?” Itu suara Raina. Perempuan yang sejak tadi diam itu pun akhirnya membuka suara. Kentara sekali nada khawatirnya.

“Setelah saya periksa, ternyata Tuan Geo mengalami lumpuh total,” ungkap Dokter Efendi.

Kening Raina dan Geo mengernyit bersamaan, sebelum akhirnya Geo membuka suara.
“Tapi sebelum saya koma, saya masih bisa jalan, Dok.”

“Kita memerlukan tes darah, Tuan. Untuk memastikan benar atau tidaknya dugaan terkait adanya cairan pelumpuh yang tercampur dengan darah Tuan,” ucap Dokter Efendi. Pria itu menarik napas sejenak, kemudian pandangannya menatap Geo dan Raina bergantian. “Saya hanya menduga, sepertinya ini ada kaitannya dengan tragedi sebelum Tuan Geo pingsan. Sebab Tuan Geo sendiri berkata bahwa beliau masih bisa berjalan sebelum koma.”

Usai Dokter Efendi menyampaikan hipotesisnya, Raina seketika terdiam. Otak cantiknya tengah sibuk menyambungkan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Sepertinya, dugaan Dokter Efendi ada benarnya. Sandra bukanlah perempuan baik. Wanita itu tentu tak akan segan membahayakan nyawa orang lain demi tercapainya tujuan yang ditargetnya.

“Rai.”

“Eh ....” Raina tersadar dari lamunannya. Perempuan itu menoleh kanan-kiri, mencari keberadaan Dokter Efendi dan suster tadi. “Dokter Efendi ke mana, Pa?”

“Beliau sudah pamit keluar tadi,” jawab Geo, “kamu kenapa melamun? Ada yang mengganggu pikiran kamu?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir.

Raina cepat-cepat menggeleng. "Enggak, Pa. Raina nggak apa-apa. Rai suapin Papa lagi, ya?”

“Papa sudah kenyang, Rai,” ucap Geo. Laki-laki itu meraih gelas air yang Raina sodorkan padanya, kemudian mengembalikannya pada sang anak setelah meminum isinya.

❄️❄️❄️

Raina bergeming di tempatnya, tatapan matanya wanita begitu sayu, mengisyaratkan betapa buruknya keadaan yang tengah ia alami. Dalam keheningan ruangan yang terjadi, air matanya mulai mengalir deras dari kedua sudut matanya yang sejak tadi sudah berkaca-kaca. Raina tidak bisa menghindari pandangannya dari deretan kata-kata yang terpampang dengan rapi di kertas yang tengah digenggamnya dengan tangan gemetar. Satu kata, satu kalimat, satu kebenaran yang memporak-porandakan hatinya.

Sehari yang lalu, Raina memang telah mendengar apa yang diucapkan oleh Dokter Efendi perihal kondisi Geo yang diprediksi akan mengalami kelumpuhan. Namun, kabar buruk itu hanya sebatas dugaan, hingga hari yang dinanti pun tiba, ketika hasil tes pria itu akhirnya terungkap di hadapan mereka.

Namun, apa yang ada di depan mata Raina tidaklah sesuai dengan yang diharapkannya. Kertas itu menjadi saksi bisu dari kecewa yang Raina alami. Rasa takut dan keputusasaan bergejolak dalam dirinya ketika setiap huruf tercetak jelas membawa kabar yang tak dapat ia terima. Geo benar-benar mengalami kelumpuhan.

Dalam hening, hanya ada suara tangisan Raina yang berusaha susah payah agar tidak terisak. Air mata wanita itu makin deras mengalir, tak tahu lagi harus menampilkan ekspresi apa untuk hal yang baru saja diterimanya. Hidupnya, sekali lagi, dihadapkan pada ujian yang tak terbayangkan sebelumnya. Satu masalah belum tuntas, sudah ada masalah baru yang jadi tambahan.

Beberapa saat setelahnya, keheningan itu akhirnya perlahan memudar tatkala Farrell—yang memang memilih untuk ikut menemani Raina bertemu dengan Dokter Efendi untuk membahas hal ini—pun membuka suara.

“Apakah Papa bisa sembuh, Dok?” tanya pria itu dengan tangan yang tak henti mengusap pundak Raina, mencoba memberikan ketenangan pada wanita itu.

Raina terdiam, matanya terpaku pada Dokter Efendi setelah menghapus air mata yang berlinang. Matanya menyorot penuh harap. Namun, gelengan dari dokter itu berhasil mematahkan harapannya. Air matanya kembali mengalir, sementara berbagai asumsi yang mengerikan mulai merajai pikirannya.

Dokter Efendi mulai memasang wajah serius. Tangannya bergerak untuk saling menggenggam di atas meja, tak lupa pandangannya mengarah pada Raina dan Farrell bergantian.

“Hasil tes yang kami lakukan membuktikan kebenaran. Ada cairan pelumpuh yang dengan sengaja diberikan kepada Tuan Geo untuk merusak sistem organ tubuhnya. Kaki beliau menderita kelumpuhan total dan beliau hanya dapat mengandalkan kursi roda sebagai alat bantu untuk beraktivitas sehari-hari."

Kenyataan tersebut kembali mengguncang Raina. Setiap kata yang terucap oleh Dokter Efendi membuat suasana hatinya jadi makin tak karuan. Sejenak matanya berkilat marah kala bayangan Sandra yang dengan kejamnya melakukan hal tersebut terhadap Geo, yang notabenenya masih berstatus sebagai suami sahnya secara agama dan negara. 

“Apa tidak ada obat penawarnya, Dok?” tanya Raina setelah sedikit berhasil menenangkan diri.

Dokter Efendi menatap kedua orang di hadapannya, ekspresinya penuh keputusasaan. Lalu, ia menggeleng perlahan.
"Tidak ada harapan," ucapnya dengan suara rendah.

"Maka Papa akan tetap lumpuh selamanya?" Farrell melanjutkan kalimat Dokter Geo dengan pertanyaan, ketidakpastian melingkupi pikirannya. Ia hanya berharap agar asumsinya akan dibantah, tetapi anggukan pendek dari dokter itu seperti pukulan telak baginya.

“Kita berdoa saja, semoga Tuhan mau menunjukkan kebesaran-Nya dalam memberikan kesempatan pada Tuan Geo untuk sembuh,” tutur Dokter Efendi.

Pasutri yang duduk di hadapannya hanya mampu mengangguk. Tak ada yang dapat mereka lakukan selain meminta pertolongan pada Tuhan, sebab apa pun permasalahan dan ujian yang tengah dihadapi, tempat kembali paling tepat memang hanyalah pada Sang Maha Kuasa.

 

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang