Bab 48

17K 1K 46
                                    

Happy Reading!

Mobil yang sudah melaju sejak 20 menit itu perlahan mengurangi kecepatannya, hingga berhenti di depan lobi yang berada di sebuah bangunan setinggi sepuluh lantai. Memang tak setinggi gedung pencakar langit, tetapi Raina yakin ini adalah sebuah apartemen kaum elite, sebab desain yang tersaji pun sudah terlihat mewah, dan mungkin akan merogoh kocek yang tidak sedikit untuk memiliki salah satu unit apartemen di sana.

Usai mematikan mesin mobil, Yuda segera turun dan membukakan pintu untuk sang nyonya. Ia berdiri di samping pintu mobil, lantas menutup kembali pintu itu ketika Raina sudah turun dari mobil dengan Alvarez yang berada di sampingnya.

“Kamu kalo mau pulang dulu juga nggak apa-apa, Yud. Nanti saya bisa pesan taksi. Karena sepertinya akan lama berada di sini,” ucap Raina.

“Saya izin keluar dulu, Bu. Ada yang ingin saya beli,” sahut Yuda, pria itu menunduk sungkan. “Nanti jika saya belum kembali, dan Ibu sudah selesai dengan urusan Ibu, Ibu bisa hubungi saya,” lanjutnya.

Raina menyengguk. “Iya. Ya sudah, hati-hati di jalan,” pesannya. Perempuan itu lantas menggandeng tangan kedua anaknya, membawa Algha dan Alvarez untuk memasuki lobi utama.

Jika beberapa apartemen lain—yang pernah Raina kunjungi—dibiarkan tanpa adanya petugas keamanan atau resepsionis, maka apartemen ini memiliki fasilitas keamanan yang cukup ketat. Tiap ada tamu yang datang berkunjung—selain pemilik tetap unit apartemen yang sudah dibeli, maka wajib melapor kepada resepsionis yang bertugas., dan Raina tebak, Kelia amat peduli dengan keamanan dan kenyamanan si sulung Stephan.

 Lobi utama pun terlihat cukup luas dan mewah. Di dekat pintu masuk, langsung disambut oleh meja resepsionis, sedang di sudut ruangan, terdapat sofa dan meja, lengkap dengan beberapa majalah yang Raina yakini disediakan untuk para pengunjung agar tidak bosan.

“Selamat datang di kawasan apartemen Our Dream House. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang resepsionis yang tengah berdiri di dekat mejanya, dengan nada ramah dan senyum cerianya.

Raina mengangguk. “Saya ingin bertanya, apartemen yang dibeli atas nama Raina Kelia Stephan ada di lantai berapa, ya?” tanyanya.

“Sebentar, ya, Bu. Saya carikan,” ucap sang resepsionis. Ia mengambil duduk, lalu mulai berkutat dengan komputer yang tersedia di sisinya. Beberapa menit setelahnya, perempuan itu kembali berdiri. “Maaf, Bu. Nama tersebut tidak ditemukan di dalam data yang berisi nama pemilik unit apartemen di sini, Bu.”

Kening Raina mengernyit. Ia bingung, nama siapa yang Kelia gunakan sebagai pemilik unit apartemen itu.

Menghela napas pelan, Raina kembali berucap,
“Kalo atas nama Alghafar Arga Stephan?” Raina sedikit sangsi, tetapi tak ada salahnya mencoba. Salahkan saja Kelia yang tidak memberikannya informasi lengkap.

“Sebentar, ya, Bu.” Si resepsionis cantik itu kembali duduk dan mencari sesuai yang diucapkan oleh kliennya. Tak lama, ia kembali berdiri. “Unit apartemen atas nama Alghafar ada di lantai enam, tepatnya pada unit nomor 60. Oh iya, Ibu sudah memiliki kuncinya, bukan?”

Raina mengangguk. “Iya, sudah.”

“Baiklah, Ibu bisa menggunakan lift di sana untuk tiba di lokasi.” Telapak tangan sang resepsionis mengarah pada lift apartemen yang berada tak jauh dari sofa.

“Baik, terima kasih.”

“Sama-sama, Bu.”

“Ayo, kita ke sana,” ajak Raina. Ia kembali menggandeng kedua anaknya. Kali ini, tiga pasang kaki itu melangkah bersamaan menuju lift.

Raina, Algha, Alvarez memasuki lift yang baru saja terbuka itu. Lantas, Raina menekan tombol lantai enam. Tak sampai satu menit, lift itu kembali terbuka, menampilkan pemandangan lokasi lantai enam dengan desain minimalis, tetapi tak meninggalkan kesan elite yang dimilikinya.

Langkah ketiga orang itu menuju unit nomor 60. Ia memasukkan anak kunci ke tempatnya, lantas memutarnya. Pintu itu pun terbuka, terlihatlah sebagian isi dari apartemen itu.

Raina berdecak kagum. Apartemen ini sangat mewah. Terdapat beberapa ruangan yang dapat ia lihat. Ruang tamu yang merangkap ruang keluarga itu terhubung langsung dengan dapur. Dinding di ruang tamu tak dibiarkan kosong. Dinding itu dihiasi dengan beberapa miniatur mobil dan bangunan terkenal di mancanegara. Lalu, ada tiga ruangan berpintu yang tersedia di sana. Raina juga mendapati beberapa pigura berisi foto keluarga dan foto masa kecil Algha yang diletakkan di atas meja hias.

Entah kenapa langkah Raina justru memilih menuju ke salah satu ruangan. Perempuan itu membiarkan dua anaknya menjelajahi unit ini. Raina memutar anak kunci yang telah tergantung di pintu. Setelah terbuka, ia pun mengangguk dan berjalan memasuki ruangan itu. Ini adalah ruangan yang dimaksud oleh Kelia. Ruangan yang penuh dengan berbagai alat lukis. Raina juga mendapati laptop dengan dua monitor, lengkap dengan alat yang biasanya digunakan oleh komikus sebagai tempat menggambar.

“Bang,” panggil Raina pada Algha.

Algha menoleh, remaja itu menghentikan kegiatannya yang tengah menatap pemandangan luar yang terlihat dari balkon.

“Abang suka?”

Algha mengangguk cepat. Ruangan seperti inilah impiannya. Setelah menuntaskan rasa kekagumannya pada ruangan ini, Algha pun berjalan menghampiri Raina. Tiba-tiba saja, remaja itu memeluk erat tubuh sang mama.

Thanks for everything, Mom,” ucapnya. Hampir saja ia menangis jika tidak ingat bahwa ia adalah laki-laki. Ia tak mau dicap sebagai laki-laki lemah hanya karena menangis, seperti kata sang papa.

“Ini hadiah dari Mama Raina buat ulang tahun Abang yang ke-15 kemarin. Maaf, ya, Mama telat kasih kadonya,” ucap Raina.

Algha mengangguk. Ia tak mempermasalahkan ada atau tidaknya kado yang diberikan untuknya. Yang selama ini Algha inginkan hanyalah kehadiran Raina yang semoga saja akan selalu menemaninya sampai ia berhasil sukses nantinya. Algha ingin membahagiakan wanita itu, meskipun luka yang pernah Raina lukiskan dulu tak dapat begitu saja sembuh. Namun, Algha tak akan memperdebatkannya. Sebab kini, mamanya bukanlah mamanya yang dulu.

“Algha sayang Mama,” ucap Algha, tulus.

Raina hanya mampu membalas ucapan Algha dengan pelukan pada anak itu. Ia sudah menyampaikan amanah Kelia. Walaupun Raina yakin betul bahwa yang Algha ketahui, unit apartemen ini adalah hadiah darinya, bukan dari jiwa asli Raina. Raina tak dapat menjelaskan yang sesungguhnya. Bila pun bisa, pastinya ucapannya hanya dianggap sebagai gurauan semata. Lagi pula siapa yang akan percaya tentang perpindahan jiwa? Orang gila saja mungkin akan tertawa, apalagi orang yang berpikiran normal dan logis.

“Mama! Alva mau peluk juga!” Seruan itu terdengar seiring dengan langkah kaki yang datang ke arah mereka. Alvarez langsung menerjang Algha dan Raina dengan pelukan. Tangan mungilnya memeluk kaki kedua orang berbeda usia itu.

Raina tertawa melihatnya, ia mengangkat Alvarez ke dalam gendongannya, lantas merangkul pundak Algha. Ia menggiring anak itu untuk berjalan keluar dari ruang lukis.

“Sekarang, ayo kita pulang. Abang belum makan, ‘kan?” Mama udah siapin makanan buat kita di rumah,” ucap Raina. Ia tersenyum sambil mencium kepala Alvarez dan Algha bergantian.

Tanpa diketahui oleh siapa pun, sedari tadi ada sosok yang menatap ke arah mereka dengan tersenyum. Ia adalah jiwa Raina yang asli, atau lebih suka dipanggil Kelia oleh Raina. Perempuan berbalut gaun putih itu merasa tenang, sebab dua anaknya telah mendapatkan kasih yang yang seharusnya mereka rasakan, tetapi tak pernah ia berikan.

Namun, tetap saja Kelia merasa iri. Ia. juga ingin berada di posisi Raina. Akan tetapi, Kelia sadar. Selama ini ia telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang Tuhan berikan padanya. Kelia mengakui ia salah, tetapi penyesalan hanyalah tinggal penyesalan. Sekarang ia hanya dapat berharap agar Raina akan selalu dapat menemani kedua anaknya hingga mereka tumbuh dewasa nantinya.

 

To be continued ....
A/n: Baca komentar kalian tuh naikin mood banget. Avv, sayang kalian banyak-banyak. Bentar lagi malam Jumat, yuk kita realisasikan rencana perngevetan. Sebagai hadiahnya, aku dobel up hari ini. 😀🙏

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang