Bab 29

26.7K 1.4K 54
                                    

Happy Reading!

Di sebuah kamar yang terlihat remang-remang, seorang anak tampak duduk di kursi meja belajar. Matanya menatap fokus ke arah buku pelajaran yang dibacanya dengan bantuan cahaya lampu belajar light emitting diode yang menyorot ke arah bukunya.

Anak itu adalah Algha. Malam ini ia harus belajar giat agar mendapatkan nilai yang memuaskan pada ulangan harian besok. Jika ia tak bisa membahagiakan orang tuanya dengan sifat dan akhlaknya, setidaknya nilai sekolahnya dapat membuat kedua orang tuanya bahagia, terutama Raina.

Algha tersenyum, kepalanya menoleh, menatap ke arah bulan di luar sana. Bulan itu tampak dapat bersinar dengan terang, meski terkadang ada awan dan cuaca buruk yang menghalanginya. Bulan selalu ada, tetapi hanya dapat terlihat ketika matahari telah menenggelamkan diri. Serta bagi Algha, Raina telah menjadi bulan untuknya. Meski jarang terlihat, Raina akan  selalu ada untuknya. Ya, Algha percaya itu.

Remaja itu menunduk. Ia membuka laci lalu meraih kertas sticky note. Algha mengambil pulpennya lantas mulai menorehkan tinta.

“Aku ingin membuat Mama bahagia! Kamu pasti bisa, Algha! Semangat!”

Itulah kata-kata yang ditulisnya pada kertas itu. Sebuah kata motivasi yang ia buat untuk dirinya sendiri. Algha kembali menatap bulan lalu menarik kedua sudut bibirnya, anak itu kemudian menyelipkan kertas itu di dalam bukunya.

 Setelahnya, pandangan laki-laki itu beralih pada jam yang terpajang di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Algha telah melewatkan makan malamnya dan kini perutnya terasa keroncongan. Algha beranjak dari duduknya, memilih untuk keluar kamar dan berjalan menuju dapur.

Setibanya di sana, pandangannya mengitari area dapur yang telah kembali terang setelah ia menekan sakelar lampu. Sejenak Algha mengetukkan jari telunjuknya beberapa kali ke dagu. Kepalanya mengangguk setelah mendapatkan ide untuk makan apa. Pilihannya jatuh pada mi instan.

Algha membuka kabinet atas dapur dan mengambil sebungkus mi instan dari sana. Lelaki itu mulai sibuk memasak mi, sebelum akhirnya sebuah suara memanggil namanya.

“Algha.”

Yang dipanggil menoleh, tak jauh darinya berada, Raina terlihat berdiri dengan piama satin berwarna biru malam yang membalut tubuhnya sembari memegang sebuah gelas. Sudah jelas sekali, wanita itu keluar kamar karena ingin mengambil minum.

“Sedang apa, Sayang?” tanya Raina sambil menuangkan air.

Algha menatap panci yang digunakannya untuk merebus air, sebelum menjawab,
“Algha lapar, Ma. Jadi masak mi aja.”

“Kenapa nggak bangunin Mama? Kan Algha bisa minta Mama masakin makanan yang Algha mau.”

“Selagi Algha bisa melakukannya sendiri, Algha nggak mau ngerepotin Mama,” jawab Algha sambil memasukkan mi ke dalam panci.

Raina tersenyum, dihampirinya Algha lalu mengusap kepala anak itu lembut.

“Itu sudah tugas Mama, Sayang. Sekarang mending Algha duduk di sana, biar Mama yang lanjut masakin minya.”

Algha hanya dapat mengangguk patuh, sebab perempuan itu memaksa dengan mendorong pelan punggungnya menuju kursi meja makan.

“Mau pakai telur, Nak?” tawar Raina, usai menambah sebungkus mi lagi ke dalam panci.

“Boleh, Ma.”

Raina mengangguk. Tak membutuhkan waktu yang lama, dua mangkuk mi kuah yang terlihat menggiurkan disertai asap-asap tipis telah berhasil Raina hidangkan di atas meja makan. Perempuan itu menyiapkan dua gelas air lalu mengambil duduk.

“Kok Algha belum tidur?” tanya Raina di sela-sela makan mereka.

“Algha lagi belajar, Ma. Besok ada ulangan harian.”

Raina tersenyum, ia meletakkan sendok dan garpu yang digunakannya. Wanita itu mengambil sebelah tangan Algha, lantas mengelusnya.

“Algha, dengarkan Mama. Belajar itu memang kewajiban setiap pelajar, tapi kamu juga tidak seharusnya belajar hingga lupa waktu. Ini sudah malam, kamu perlu istirahat. Ketika waktu istirahatmu tercukupi, maka otakmu juga bisa lebih mudah untuk diajak berpikir,” tuturnya, “Algha paham maksud Mama?”

Algha mengangguk sambil tersenyum. “Algha cuma mau dapat nilai yang bagus, biar Mama bangga.”

“Algha, orang tua mana sih yang tidak bangga jika anak-anaknya mendapatkan nilai yang memuaskan? Tapi orang tua mana juga yang tidak sedih ketika anaknya sakit karena kurang tidur dan karena terlalu fokus belajar hingga lupa waktu dan lupa segalanya?” Raina lantas kembali memegang sendok dan garpunya. “Ya sudah, Algha habisin makanannya, setelah itu tidur. Mama temani.”

Algha kembali mengangguk, menurut. Setidaknya, malam ini ia berhasil mengalahkan sang adik yang terus memonopoli Raina, dan malam ini adalah waktu untuk Algha bisa bermanja dengan sang mama.

Jujur saja, sekarang sangat sulit bagi Algha untuk bersikap dingin pada Raina. Algha merasa akan rugi jika terus mengabaikan sang mama. Serta Algha sudah bertekad bahwa ia akan berusaha bersikap hangat dengan keluarganya. Jika dengan Farrell, itu mungkin sudah berbeda cerita. Papanya itu terlihat sedikit menjengkelkan baginya, apalagi jika pria itu sedang akrab dan bersatu dengan mulut pedasnya.

❄️❄️❄️

Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun lebih terlihat duduk bosan di dalam kamar. Ia sendirian, tak ada teman yang dapat diajaknya bermain. Sedangkan di rumah ini hanya ada sopir dan pembantu rumah tangga. Walaupun keduanya mau-mau saja diajaknya bermain, tetapi rasanya tetaplah beda. Ia ingin bermain dengan anak seumurannya.

Anak itu menggoyangkan kakinya yang menggantung dari atas ranjang. Menghela napas panjang, ia menatap pemandangan di luar jendela lewat posisinya berada. Cuaca di luar lumayan cerah, tetapi tidak dengan hatinya.

Sebuah ide tiba-tiba saja memasuki otak kecilnya. Anak itu segera turun dari ranjang dan berjalan menuju meja belajar—yang memang sudah disediakan untuknya persiapan saat ia sudah sekolah nanti. Ia membuka laci lalu mengambil secarik kertas dari sana.

Kertas ini diberikan oleh seorang anak laki-laki lainnya yang pernah ia temui sebulan yang lalu di taman—saat ia sedang berjalan-jalan sendirian. Devan tersenyum kala mengingat itu. Satu-satunya anak laki-laki yang mau mengulurkan tangan kepadanya saat ia terjatuh.

Seorang anak dengan senyuman yang bisa menenangkan perasaan seseorang. Seorang anak dengan tingkat kecerewetan yang hampir setara dengan anak perempuan, dan seorang anak yang telah mendapat predikat sebagai teman pertama Devan.

Devan mengangguk, lantas membawa secarik kertas itu keluar rumah. Ditemuinya sopir pribadi yang bekerja pada papanya.

“Pak Doni bisa antalin Devan nggak?” tanya anak itu setelah tiba di dekat sang sopir yang tengah mengelap kaca mobil.

Doni pun menoleh, ia menyampirkan lap yang digunakannya di pundak, kemudian berjongkok tepat di hadapan Devan.

“Den Devan mau ke mana?”

Devan tak menjawab, tetapi tangan mungilnya mengulurkan secarik kertas yang sejak tadi masih digenggamnya pada Doni, yang diterima oleh pria berusia tiga puluh tahunan itu.

“Ini rumah siapa, Den?” Pertanyaan itu Doni lontarkan setelah membaca tulisan yang terdapat di kertas.

“Teman Devan, Pak.”

Sebuah lipatan terlihat di kening Doni. Teman? Setahunya, selama ini Devan tak pernah keluar rumah jika tidak bersama dengan ayahnya.

To be continued ....
A/n: Belum telat, ‘kan? Wkwk! Fiks yang langsung baca saat ini juga pasti tim yang suka begadang. Ngaku kamu‽ Awas kena handsomenia😭🙏

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang