Bab 61

15.4K 818 19
                                    

Happy Reading!

Langkah kaki dari tubuh tegap Farrell yang dibalut setelan jas mahal itu tampak berjalan cepat memasuki lobi perusahaan. Di sampingnya, terdapat seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris dan merangkap menjadi asisten kepercayaannya yang dengan setia mengikuti tiap langkah lebar Farrell. Dua pria yang usianya berjarak tak terlalu jauh itu memasuki lift, kemudian keluar setelah tiba di lantai teratas. Keduanya kembali melangkah menuju ruangan milik Farrell.

“Apa yang kamu dapatkan, Rizal?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Farrell seiring dengan tubuhnya yang mendarat  di kursi kebesarannya.

Rizal yang semula berdiri beberapa langkah dari meja Farrell pun dengan cepat melangkah mendekat. Pria itu meletakkan sebuah dokumen yang sejak tadi sudah dipegangnya ke atas meja.

Farrell mengambilnya. Sejenak laki-laki itu memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak, kemudian tangannya pun membuka halaman pertama setelah sampul dokumen itu. Beberapa ekspresi terlihat di wajahnya. Mulai dari mengerutkan kening, hingga wajah datar seolah dokumen yang tengah dibacanya saat ini tidak berpengaruh apa pun untuknya.

“Sesuai yang saya dapatkan, dulunya Tuan Geo adalah seorang mafia yang lumayan berpengaruh di dunia bawah. Beliau memilih pensiun setelah dua tahun menikah dengan Nyonya Sandra. Untuk sebabnya, tidak ada yang mengetahuinya hingga saat ini, dan saya pun tidak dapat menemukan penyebabnya.” Tanpa diminta, Rizal pun membuka suara untuk memberikan kesimpulan dari dokumen yang beberapa menit lalu telah ia serahkan kepada sang tuan.

Memang, sudah sejak dua hari yang lalu Farrell meminta Rizal untuk mencari informasi terkait masa lalu Geo yang ada hubungannya dengan Sandra. Sebab Farrell begitu yakin bahwa seseorang tak mungkin mencelakai sesamanya jika memang tidak ada pemicu pastinya.

Namun, entah karena fasilitas yang diberikannya kepada Rizal yang kurang, atau memang informasi perihal masa lalu Geo yang dilindungi, sehingga Rizal memerlukan waktu yang terbilang lama dalam mencari data-data tersebut. Terang saja, laporan yang didapatkan dan diberikan oleh Rizal kurang lengkap bagi Farrell, meskipun pria itu tahu bahwa sang asisten sudah bekerja sangat keras untuk mendapatkan informasi sekecil ini. Masih ada begitu banyak hal yang sepertinya berusaha disimpan dan ditutup dengan rapat-rapat, sehingga orang lain tidak dapat dengan bebas mengetahuinya.

Lagi, satu hal yang rasanya begitu berat menimpa pikiran Farrell, yaitu tentang kenapa Sandra bisa dengan tega melakukan percobaan pembunuhan terhadap suami wanita itu sendiri. Farrell tak dapat menemukan titik terangnya. Lantas, kepala pria itu mendongak, menatap Rizal yang masih setia berdiri di posisinya.

“Menurutmu, apa yang membuat Sandra berbuat kejahatan terhadap Papa?”

Rizal diam sejenak. Kening pria itu terlihat berkerut dengan mata yang tertutup, dan menunduk, sebelum akhirnya pria itu kembali mengangkat kepalanya dan menatap Farrell yang terlihat masih menunggu jawabannya.

“Apa Sandra mengincar harta Papa?” Farrell kembali mengeluarkan suara, tetapi gelengan yang bermaksud sanggahan dari Rizal membuat kedua alis Farrell hampir menyatu.

“Jika sesuai yang saya dapatkan, sepertinya Nyonya Sandra bukan mengincar harta Tuan Geo, Tuan,” jawab Rizal mantap, seakan sangat yakin dengan jawaban yang baru saja dia lontarkan.

“Lalu?”

“Nyonya Sandra berasal dari keluarga berada. Bahkan, orang tua beliau memiliki perusahaan yang bergerak di bidang perabotan rumah tangga,” ungkap Rizal.

Farrell mengangguk paham. Pria itu menumpu dagunya pada telapak tangan yang bertumpu di atas meja. Lantas, tatapannya mengarah pada bangunan yang dapat dilihatnya dari ruangan dengan dinding kaca ini.

“Dilihat-lihat, sepertinya Sandra juga bukan tipe orang yang melakukan kejahatan tanpa sebab.”

Rizal hanya mengangguk, pun pria itu juga tak tahu harus menanggapi apa perkataan sang tuan. Sebab, menyuarakan aspirasi tanpa diminta bukanlah bagiannya.  Bukan bermaksud sombong atau apa, tapi jika Rizal melakukan hal itu, kemungkinan besar, julukan lancang akan disandangnya, apalagi Rizal sedikit-banyak mengetahui bagaimana karakter Farrell.

“Cari tau lebih lanjut tentang masa lalu Papa dan Sandra, terutama penyebab wanita itu melakukan kejahatan,” perintah Farrell, yang langsung dibalas anggukan oleh Rizal, walau ia pun tak tahu, apakah ia akan berhasil, atau justru nol besar. “Kamu boleh pergi.”

Rizal kembali mengangguk. Pria itu membungkukkan tubuhnya sebentar, lalu mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan ini.

❄️❄️❄️

Dengan wajah yang terlihat murung, Raina berjalan memasuki ruangan yang menjadi saksi bisu kesehatan Geo kembali menurun karena kejahatan Sandra. Sejak kejadian itu, dokter telah menyatakan bahwa Geo kembali koma, dan tak dapat ditentukan kapan pria itu akan membuka mata. Jika beberapa saat lalu sosok Geo yang tengah duduk di ranjang pasien dengan tablet di tangannya yang menyambut kehadirannya, maka kini hanya ada suara elektrokardiogram yang menjadi ucapan selamat datang kembali.

“Opa lagi tidur, ya, Ma?”

Pertanyaan dengan nada lugu itu membuat Raina menunduk. Ditatapnya Alvarez yang ikut serta hadir ke sini bersamanya. Bibir Raina membentuk sebuah lengkungan, walau mata wanita itu tak dapat berbohong bahwa senyumannya saat ini tengah berarti bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Dengan pelan, Raina mengangkat tubuh Alvarez, lalu mendudukkan anak itu di atas pangkuannya setelah ia mendaratkan diri di kursi samping ranjang pasien. Mata Raina mengarah pada sosok Geo yang kini kembali terbaring lemah di atas ranjang pasien dengan beberapa alat penunjang hidup yang menempel di tubuh pria itu.

“Opa kok nggak bangun, Ma?” tanya Alvarez, “biasanya kalo Al datang, Opa pasti kelihatan seneng, telus ajak Al naik ke sini.” Bocah cilik itu kembali melanjutkan ucapannya sembari menunjuk ke arah ranjang yang kini sudah sejak hampir dua Minggu lalu telah ditempati oleh sang opa.

“Opa lagi sakit, Sayang,” jawab Raina. Tangannya bergerak menyisir rambut Alvarez dengan jemarinya. “Al doain Opa, ya, biar cepat sembuh.”

Dengan cepat Alvarez mengangguk. Kepalanya memutar sedikit ke samping lalu ke atas, menatap sang mama yang tengah tersenyum padanya.

“Al selalu beldoa buat kesehatan Mama, Papa, Abang, Opa, Om Zal, Om Ri, sama semuanya,” katanya. Kemudian, mata bulat itu kembali memfokuskan perhatiannya pada Geo. “Tapi kenapa Opa belum sembuh juga, ya, Ma? Apa Al nakal, makanya Allah nggak ngabulin doa Al?”

Raina menutup matanya sebentar, rasa-rasanya sebentar lagi akan turun hujan di pipinya. Pelupuk matanya seakan sudah tak kuat menampung air mata yang terus memaksa untuk keluar. Hingga setelahnya, setetes air mata jatuh begitu saja, yang tentunya secepat kilat dihapus olehnya sendiri.

“Al nggak nakal kok, Al cuma harus lebih banyak berdoa aja,” tutur Raina lalu mendaratkan sebuah kecupan penuh kasih sayang di puncak kepala Alvarez. “Karena semua doa Al saat ini sudah menggantung di langit, dan kita cuma menunggu kapan Allah memilih waktu yang tepat untuk mengabulkannya.”

“Belalti kita cuma halus nunggu pesawat ambil doa itu dan sampaikan ke Allah, ya, Ma?”

Kemudian, pertanyaan itu hanya dibalas senyum tak berdaya oleh Raina. Meskipun itu adalah sebuah pertanyaan bernada lugu dari anak polos yang belum mengerti kejamnya dunia dan arti hidup yang sesungguhnya, akan tetapi Raina sedikit terhibur karenanya.

Cepat sadar, Pa. Raina menunggu Papa di sini,’ batin Raina dengan tatapan yang kini mengarah pada Geo yang terlihat damai dengan alam bawah sadarnya.


To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang