Bab 43

18.4K 1K 29
                                    

Happy Reading!

“Pstt, Gha.” Suara berbisik itu berasal dari Bryan yang tengah duduk di bangkunya.

Sementara Algha yang duduk di bangku sampingnya, ia begitu fokus mendengarkan penjelasan tentang pelajaran sejarah dari seorang guru yang kini sedang berdiri di depan kelas, sambil sesekali menulis hal yang menurutnya penting di buku catatan.

Merasa tak dihiraukan, Bryan pun menyenggol lengan sahabat satu-satunya itu, hingga akhirnya membuat Algha mau tak mau menoleh. Namun, remaja itu hanya menatapnya sekilas, sebelum kembali menyimak materi yang tengah diterangkan.

Bryan menarik napasnya kesal. Remaja itu bosan mengikuti kegiatan belajar kali ini. Apalagi sekarang adalah pelajaran mengenang masa lalu, tak sedikit pun dari masa lalu yang Bryan sukai. Untungnya ini adalah mata pelajaran terakhir hari ini, meskipun rasanya waktu seperti bergerak begitu lambat, bahkan jarum pada jam dinding saja nyaris terlihat tak bergerak bagi Bryan.

Bryan meneliti sekitarnya. Tak hanya ia, beberapa temannya pun terlihat sama sepertinya; bosan. Bahkan ada satu hingga dua orang yang menutup mata, entah benar-benar terlelap atau hanya karena terlampau bosan. Kemudian, Bryan memilih  untuk menumpukan sikunya di atas meja, lalu meletakkan dagunya di atas telapak tangan.

“Lo nanti jadi latihan basket, ‘kan?” Bryan melontarkan pertanyaan, tetapi matanya justru mengarah keluar jendela. Ia hanya sekilas melirik si menatap sang lawan bicara, tetapi tetap menunggu jawabannya.

“Iya,” jawab Algha, singkat. Ia sudah terbiasa dengan Bryan yang selalu melayangkan pertanyaan yang sama setiap kali mereka ada rencana latihan basket.

“Nanti makan dulu, ya? Gue lapar, hehe,” ucap Bryan, lagi. Seketika remaja itu menegakkan tubuhnya tatkala mendengar suara yang sangat dinantikannya sejak tadi, apalagi jika bukan suara bel sekolah. “Bu, sudah waktunya pulang!” serunya, yang dibalas sorakan heboh dari teman-teman sekelasnya. Ada yang mengatakannya alay, ada pula yang mendukungnya.

“Baiklah anak-anak, waktu pelajaran sudah berakhir. Sampai jumpa di jam sejarah selanjutnya.” Usai mengucapkan itu, guru sejarah yang baru menyelesaikan tugasnya itu pun memilih untuk meninggalkan kelas.

“Ayo, Gha. Ke kantin,” ajak Bryan, tak sabaran. Cepat, sebab lelaki itu hanya memasukkan sebuah buku dan pulpen ke dalam tasnya—yang ia gunakan untuk menulis semua materi mata pelajaran di kelasnya. Tak seperti Algha yang sibuk memasukkan buku catatan, alat tulis, dan sebuah buku paket tebal ke dalam tas.

Baru hampir lima menit yang lalu bel pulang berbunyi, tetapi suasana kelas nyaris sunyi. Tampak sekali banyak murid yang buru-buru pulang, padahal sangat jelas mereka adalah para murid yang datang dua sampai lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Saat ini di kelas hanya menyisakan beberapa siswa yang masih anteng duduk di bangkunya, seolah-olah enggan untuk meninggalkan kelas ini.

Setelah Algha menyelesaikan kegiatannya, sepasang sahabat itu pun pergi menuju kantin. Tak terlalu jauh, dan ketika tiba di sana, keduanya langsung mengambil duduk di meja yang berada di dekat stan serta pintu masuk kantin.

“Bu, nasi goreng ayamnya dua, ya!” Bryan berseru kepada penjual kantin setelah meletakkan tas di kursi sampingnya.

“Enggak sopan, Bry,” tegur Algha. Laki-laki itu lebih dahulu meletakkan tas dan ponselnya di atas meja, kemudian berdiri, dan berjalan menghampiri stan makanan. “Pesan nasi goreng ayam dua, sama es tehnya dua, ya, Bu,” ucap Algha pada penjual kantin.

“Siap, Mas Algha. Tunggu dulu, ya, Ibu buatkan.”

Algha mengangguk, ia berpamitan lalu kembali ke mejanya. 

Kegiatan Algha sejak menghampiri stan dan kembali ke mejanya tak lepas dari tatapan Bryan. Sedikit heran sebenarnya, tetapi Bryan cukup terkejut dengan perubahan kecil yang dilakukan oleh teman seperjuangan itu.

Dahulunya, Algha akan diam saja ketika Bryan melakukan hal seperti tadi. Namun, sekarang. Kalian tentu membacanya juga. Dalam hatinya, Bryan tengah berdecak kagum.

❄️❄️❄️

Algha dan Bryan kini tengah berjalan menuju ruang ganti. Usai mengisi perut dengan hidangan makan siang, keduanya memang memutuskan  langsung berganti pakaian untuk latihan basket.

Setelah meletakkan tas mereka di atas kursi yang berada di ruang ganti dan membawa setelan jersey basket, kedua remaja itu berpisah saat memasuki ruang ganti yang dipisah oleh sekat—yang terbuat dari tripleks.

Beberapa menit setelahnya, Algha keluar lebih dahulu. Remaja itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas tasnya, kemudian mulai berselancar di atas layar LCD ponsel. Matanya menyipit kala mendapati sebuah pesan dari sang papa.

Papa
Jaga diri baik-baik. Ajak adek main kalo lagi gk sibuk. Sesekali bantuin mama kalo mama perlu bantuan. Papa pamit berangkat Gha. Kalo mau apa-apa, bilang aja.

“Siapa, Gha?” Pertanyaan itu terdengar seiring dengan langkah Bryan yang berjalan ke arah Algha sambil melipat seragam putih-abunya. Laki-laki itu mendongak, hanya untuk melihat sejenak, sebelum kembali menunduk untuk memasukkan seragamnya ke dalam tas.

“Papa,” jawab Algha, singkat.

Bryan kembali mendongak, kali ini keningnya mengernyit.  Terlihat sekali jika remaja itu tak mengerti maksud dari perkataan Algha.

“Papa? Om Farrell?” Algha mengangguk. “Om Farrell kenapa?” Bryan bertanya lagi.

“Papa keluar kota hari ini ....”

“Terus pamitan lewat chat?” Bryan segera menyambung ucapan Algha tatkala remaja itu tadi diam sejenak.

Algha mengangguk. Tanpa ada niatan untuk membalas pesan dari sang papa, Algha menekan tombol power pada ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam tas.

“Ayo,” ajak Bryan. Di di pundak kanannya telah tersampir tas.

Kedua remaja itu mulai berjalan menuju lapangan basket. Sesampainya di sana, banyak siswa yang menjadi bagian dari tim basket sudah berkumpul. Ada yang melakukan pemanasan ringan, memantulkan bola, dan sisanya hanya duduk-duduk santai di bangku yang tepat berada di bawah pohon rindang—daripada duduk di tribune yang berhadapan langsung dengan matahari yang tengah bersinar dengan bahagianya.

Prit-prit-prit!

Peluit yang ditiup oleh pelatih basket itu berbunyi keras. Para siswa yang sudah mengenakan seragam basket itu segera menghampiri sang pelatih dan berbaris rapi di depannya.

“Baiklah, anak-anak. Karena turnamen akan diadakan tak lama lagi, maka kita harus benar-benar serius dalam setiap latihan di waktu yang tidaklah banyak ini. Selain itu, kalian juga harus mempersiapkan fisik dan mental kalian untuk mengikuti turnamen kali ini.” Sang pelatih—Pak Bima—membuka suara. Matanya menatap para siswa yang dilatihnya dengan tatapan serius. Lantas, pandangannya berhenti pada Algha.

“Siap, Pak!” jawab semua pemain basket dengan serentak.

“Algha, sebagai kapten basket, kamu harus lebih dominan. Kamu harus melatih diri dan mengarahkan timmu agar tidak bermain dengan emosi,” pesan Pak Bima kepada Algha yang saat ini berdiri di barisan paling depan.

Algha segera mengangguk tegas. “Siap, Pak!”

“Baiklah, sekarang kita mulai latihannya.”

Tim basket itu membubarkan diri dan berdiri membentuk lingkaran. Mereka menumpukkan tangan kanan mereka di tengah-tengah lingkaran, kemudian bersorak—saling memberi semangat. Itu memang salah satu kegiatan yang harus mereka lakukan, baik sebelum latihan maupun bertanding. Sebab, kekompakan memang diperlukan dalam hal apa pun, terutama ketika mengerjakan sesuatu yang memerlukan kerja sama.

To be continued ....
A/n: aing makin rajin update ya🤣👏 duh ga sabar pengin gajian🥲

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang