Bab 40

20.5K 974 18
                                    

Happy Reading!

Dalam hening, Alsa membawa matanya berkeliling memandang ke sekitar area perpustakaan yang terasa sepi, tentunya karena tempat inilah yang jarang dikunjungi para murid jika tak ada tugas atau kepentingan mendesak yang mengharuskan mereka menghampiri ruangan yang katanya membosankan ini, apalagi sekarang hari masih pagi.

Alsa kembali menatap Algha. Perlahan, gadis itu mulai memfokuskan pandangannya untuk ikut membaca komik yang tengah dipegang oleh Algha. Alsa rela menunggu hanya karena komik, ia tak mengenal siswa itu. Alsa hanya tahu namanya kala tak sengaja membaca name tag siswa itu. Kegiatan yang dilakukannya pupus begitu saja kala Algha seketika menutup buku komiknya.

Terdengar suara decakan dari mulut Algha. Sungguh, ia tak suka. Algha bisa berbagi apa saja, tetapi tidak dengan komik yang dibacanya. Bagi Algha, komik itu sudah seperti dunianya. Komik itu media hiburan yang paling menyenangkan untuknya, dan Algha tak akan membiarkan orang-orang merusak kegiatannya membahagiakan diri itu.

“Kan bisa baca berdua,” keluh Alsa sambil menyelipkan anak rambut yang menghalangi pandangannya.

“Nggak!” balas Algha cepat. Ia kembali membaca komiknya. Namun, kali ini sambil bersandar pada kursi dan memegang komik dengan satu tangan.

Hal itu tentu saja membuat Alsa berdecak tak suka. Gadis itu memilih menempelkan kepalanya di atas tangan yang terlipat di atas meja. Alsa akan menunggu sampai bel berbunyi. Ya, itu tekadnya.

Sedangkan seseorang yang ditunggu itu justru tak peduli. Ia tetap fokus membaca, tanpa memedulikan sekitarnya. Hingga tak terasa, bel sekolah pun berbunyi nyaring, meminta agar para murid memasuki kelas mereka dan mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Algha menutup komiknya. Matanya tak sengaja mengarah pada Alsa yang ternyata sudah tertidur dengan posisi duduk. Algha memilih tak peduli. Ia berdiri dan berjalan ke arah rak buku komik lalu meletakkan komik yang dibacanya tadi ke tempat semula. Laki-laki itu kembali berjalan.

“Mau balik ke kelas, Gha?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Bu Melinda.

“Iya, Bu,” sahut Algha, “permisi, Bu.” Setelah Bu Melinda mengangguk, Algha pun meneruskan langkahnya.

Namun, baru saja kakinya melangkah keluar dari pintu perpustakaan, remaja itu menghela napas pelan. Batinnya memintanya untuk kembali masuk dan membangunkan gadis tadi. Algha menarik napas pelan lalu membalikkan tubuhnya. Ia kembali memasuki perpustakaan.

“Lho, kok balik lagi, Gha? Ada yang ketinggalan?” tanya Bu Melinda, saat Algha berjalan melewati mejanya.

“Iya, Bu,” jawab Algha.

Ia terus melangkah, hingga tiba tepat di depan meja yang didudukinya tadi, tentunya masih ada Alsa yang tertidur dengan posisi yang sama sebelum ia tinggalkan tadi. Rasa empatilah yang membuat Algha kembali berdiri di sini. Algha tahu, ada banyak anak yang ingin bersekolah, hanya saja terhalang biaya dan semacamnya.

Serta, hal ini pula yang membuat Algha selalu berusaha keras dan serius untuk menuntut ilmu, meksipun terkadang ada rasa malas yang melanda. Algha ingin membanggakan kedua orang tuanya. Salah satunya adalah dengan belajar lebih giat dan mendapatkan prestasi yang sepadan dengan usahanya.

Oleh karena itu, Algha tak suka jika melihat ada murid yang mengikuti pembelajaran dengan main-main, dan jika Alsa tertinggal pelajaran karena tertidur di perpustakaan, ini termasuk bagian dari kesalahan Algha karena tidak membangunkannya. Ini bukan khusus untuk Alsa saja, tapi juga yang lainnya.

Algha menepuk meja beberapa kali dengan pelan.
“Bangun,” ujarnya. Saat mata gadis yang dibangunnya perlahan terbuka, Algha kembali melanjutkan ucapannya, “bel bunyi.”

Setelah memastikan bahwa Alsa benar-benar sudah bangun dan mendengar apa yang diucapkannya, Algha pun berbalik dan memilih langsung ke kelas. Persetan jika Alsa tidak menuruti ucapannya, yang penting Algha sudah berniat baik untuk membangunkan gadis itu dan memberi tahunya bahwa bel sudah berbunyi.

❄️❄️❄️

Algha memantulkan bola basket di tangannya ke lapangan ber-paving yang dipijaknya. Ia menggiring bola itu, lantas melemparkannya ke dalam ring. Remaja itu menumpukan kedua tangannya di atas lutut sambil mengembuskan napas kasar tatkala bola yang dimasukkan melesat. Algha kembali berdiri, tangannya bergerak melepas handband yang dikenakannya.

“Istirahat, Gha,” tegur Bryan sambil memberikan sebotol air mineral pada Algha yang diterima baik oleh sang sahabat.

“Makasih,” ucap Algha seraya membuka tutup botol itu dan langsung meneguk isinya. Setelahnya, lelaki itu menyiramkan air itu ke rambutnya, hingga hanya tersisa seperempat saja. Algha menggelengkan kepalanya, yang menyebabkan air-air di rambutnya menetes ke mana-mana, tentunya ia menghindar agar tak mengenai Bryan. “Jam berapa?” tanyanya kemudian.

Terlebih dahulu Bryan melirik jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya.
“Udah jam empat.”

Sesuai yang dikatakan oleh Bryan tadi pagi, mereka memang melaksanakan latihan basket dan baru selesai sekitar setengah jam yang lalu. Sebagian siswa lain yang ikut sudah memilih untuk pulang dan mengistirahatkan diri, menyisakan dua remaja bersahabat dan beberapa siswa di sana.

“Mau langsung pulang, Gha?” tanya Bryan sambil memantulkan bola yang telah ia ambil alih dari Algha. Ia mengikuti langkah Algha yang mengarah ke kursi panjang yang berada di bawah pohon rindang, tempat di mana tas mereka berada.

Algha menggeleng. “Istirahat bentar, baru pulang.”

Bryan menurut, ia ikut mendudukkan diri di samping Algha yang sudah lebih dahulu mengambil duduk di kursi itu.

“Gimana keadaan rumah?” tanya Bryan, membuka topik. Ia memang tahu segalanya tentang Algha, pastinya remaja itulah yang bercerita sendiri. Sejak dulu, Algha memang paling terbuka dengannya, dan Bryan bersyukur karena dapat berguna untuk orang lain, terutama sahabat satu-satunya itu.

“Baik,” jawab Algha. Pandangannya menatap lurus ke depan, ke arah lapangan basket yang sudah kosong. Senyum di bibirnya terlihat saat pikirannya menuju ke Raina. Algha mulai merindukan rumah dan ingin kembali merasakan masakan sang mama.

“Syukur deh kalo gitu,” jawab Bryan sembari mengangguk beberapa kali.

“Lo?” Kali ini, Algha mengembalikan pertanyaan pada sang lawan bicara.

“Gue? Kenapa?” Bryan tertawa kecil saat Algha tak menjawabnya dan justru menatapnya datar. Bryan mengembuskan napas sambil mengangkat kedua pundaknya. “Aman, nothing, Bro.

“Yakin?” tanya Algha, tatapannya kembali pada lapangan basket di hadapannya. “Kalo ada apa-apa, jangan sungkan cerita atau minta bantuan.”

Bryan mengangguk cepat. Dirangkulnya pundak Algha sambil menepuknya beberapa kali.
“Yoi, Bro. I will always remember,” ucapnya, “ayo pulang.” Lantas, laki-laki itu berdiri dari duduknya dan berjalan mendahului Algha.

Sementara Algha yang ditinggalkan hanya mampu mengembuskan napas lelah dengan mata yang menatap lurus ke punggung Bryan. Selalu saja begitu, Bryan selalu berhasil membuatnya bercerita tanpa dipaksa.

Sedangkan Algha, ia tetap saja tak bisa membuat Bryan bercerita begitu saja, jika tidak sesuai dengan kehendak lelaki itu sendiri. Padahal, sudah berulang kali Algha meminta Bryan untuk bercerita dan meminta bantuan jika membutuhkan pertolongan.

Namun, Algha pun tak dapat memaksa. Algha akan menunggu sampai Bryan mau bercerita dengan sendirinya. Algha masih tahu batas privasi seseorang, dan Algha akan berusaha untuk tidak melanggarnya.

Algha berdiri dari duduknya dan pergi menyusul Bryan yang sudah berjarak sedikit jauh darinya.


To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang