Bab 53

15.6K 857 35
                                    

Happy Reading!

Cinta memang tak akan pernah melepaskan diri dari luka dan kecewa. Entah luka itu berasal dari sebuah pengkhianatan, atau hal lain yang menyebabkan terjadinya perpisahan. Tak ada definisi cinta yang benar-benar bahagia. Sebab pada nyatanya, bahagia yang diberikan hanya sedikit hadiah sebelum cinta itu menghadirkan luka dengan kejamnya.

Seumur hidupnya, Raina memang belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta dengan lawan jenis, tentunya sang papa tidak termasuk dalam konsep ini. Selama ini Raina melihat laki-laki hanya sebagai teman. Raina tahu, Raina peka, ada beberapa dari mereka yang mencoba mendekat dan mengenal lebih jauh. Namun, penolakan secara tak langsung yang Raina lakukan membuat mereka perlahan memilih menyerah dan berbalik arah.

Akan tetapi, sejauh ini, Raina tak menyangka bahwa cinta pertamanya akan jadi seperti ini. Ya, jujur saja Raina telah jatuh pada pesona seorang Farrell. Tak pernah terbesit sedikit pun di pikiran Raina bahwa ia akan dikhianati. Apalagi ini dengan pria yang notabenenya adalah suaminya—walaupun bukan jiwanya yang benar-benar menikah dengan pria itu.

“Raina, dengerin penjelasanku dulu,” pinta Farrell, dengan tangan yang tak henti mengetuk pintu kamar yang terkunci rapat itu.

Raina yang berada di dalam kamar tak menghiraukan permintaan itu. Ia masih enggan berpisah dengan kesedihannya. Sudah sejak beberapa menit lalu Raina mendengar suara Farrell. Namun, saat ini Raina terlalu malas untuk berhadapan dengan pria itu. Cinta pertama dan luka pertama bagi Raina terasa begitu menyakitkan. Alay? Biarkan saja. Raina tak peduli.

“Ma, Raina kangen,” lirih Raina. Perempuan itu menatap ke arah depan dengan air mata yang masih mengalir deras itu.

Drt-drt-drt!

Suara notifikasi dari ponselnya yang berada di atas nakas membuat Raina menoleh. Perempuan itu mengambil ponselnya. Di layar benda itu terdapat sebuah pesan WhatsApp dari Fajri—seorang yang selama ini dikenal Raina sebagai asisten pribadi Geo. Baru beberapa detik ia membaca pesan itu, tiba-tiba ponsel yang masih dipegangnya itu pun berdering. Terpampang nama Fajri di sana.

“Halo, Faj? Ada apa?” tanya Raina, usai menempelkan ponselnya ke telinga.

“Tuan masuk rumah sakit, Bu. Penyakit jantungnya kambuh.”

Seketika Raina beranjak dari duduknya. “Saya akan segera ke sana, tolong kirim alamat rumah sakitnya.”

Tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara. Raina mematikan panggilan itu. Ia meletakkan ponselnya di atas ranjang, sebelum bergegas masuk ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya.

Usai bersiap-siap, Raina pun berjalan keluar kamar sembari memakai sling bag-nya. Langkah perempuan itu terhenti kala Farrell tiba-tiba saja mengadangi langkahnya.

“Kamu mau ke mana, Rai? Jangan pergi,” ucap Farrell. Tangannya mencekal lengan Raina.

“Lepas, Mas,” pinta Raina, “lepas,” lanjutnya. Namun, bukannya keinginannya yang terpenuhi, tetapi cengkeraman Farrell di pergelangan tangannya kian mengerat. “Lepas, Mas!” seru Raina sembari menyentak tangannya. Perempuan itu meringis kala merasakan nyeri di pergelangan tangannya yang sudah terlihat memerah.

“Kamu mau ke mana, Rai?” Farrell kembali mengulang pertanyaan yang sama.

Raina tak menjawab, perempuan itu berjalan cepat. Namun, tatkala melewati ruang keluarga, tak didapati satu pun anaknya.  Justru yang masih terdengar adalah suara Farrell yang memintanya untuk berhenti.

“Jangan ikuti aku, atau aku nggak mau lagi kembali ke rumah ini!” ancam Raina. Matanya dengan jelas melihat Farrell yang seketika menghentikan langkah.

Yang diucapkannya semata-mata hanyalah ancaman. Selain karena masih malas berhadapan dengan Farrell, Raina juga perlu menenangkan diri. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuknya beradu argumentasi dengan sang suami. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu kondisi Geo yang belum dapat dipastikannya hingga saat ini.

Raina berbalik, ia melangkah ke luar rumah dan langsung berjalan menuju mobil Farrell yang masih terparkir di depan rumah. Perempuan itu pun langsung mengendarainya—untung saja kunci mobil masih berada di sana. Sepertinya kali ini semesta sedang berpihak padanya.

Seperginya Raina, Farrell mengusap wajahnya pelan. Terlihat jelas raut suram di wajah tampannya. Pria itu merogoh ponselnya yang berada di saku jas yang masih dikenakannya. Jemarinya berselancar sebentar di layar ponsel, kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.

“Ikuti ke mana pun mobil istri saya pergi. Awasi dan laporkan apa yang kamu dapatkan pada saya. Jangan sampai kehilangan jejak!” perintahnya, tak terbantahkan. Tanpa mau repot-repot menunggu respons dari anak buahnya, pria itu langsung menutup telepon dan berjalan menuju lantai dua, tempat kamar ke dua anaknya berada.

Baru saja menginjak anak tangga pertama, telinganya sudah disambut dengan tangisan Alvarez yang sejak tadi belum berhenti juga. Farrell menghela napas pelan, ia melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar Algha.

Farrell berhenti di ambang pintu. Matanya dapat melihat Alvarez yang menangis sambil menenggelamkan wajahnya di dada Algha.

“Nak,” panggil Farrell. Pria itu berjalan menghampiri dua anaknya yang berada di ranjang. Lantas, ia mengambil alih tubuh Alvarez dari pangkuan Algha..”Maafin Papa, ya,” ucapnya. Ucapan yang sebenarnya ditujukan untuk dua anak berbeda usia itu. Ia tahu, selain menyakiti hati Raina, ia juga sudah menyakiti hati kedua anaknya.

“Mama ke mana?” Algha membuka suara. Samar-samar tadi ia sempat mendengar suara Raina yang meminta Farrell untuk berhenti.

Farrell menoleh. Ia memejamkan mata sebentar, sebelum kembali membukanya dan menatap si sulung yang masih menunggu jawabannya.

“Pergi,” jawabnya, singkat. Ia tahu, saat ini menjelaskan panjang-lebar pun percuma. “Tapi Papa sudah suruh anak buah Papa buat ngikutin mobil Mama,” lanjutnya, berharap dapat menenangkan hati remaja berusia 16 tahun itu.

Algha mengangguk seadanya. Mungkin mamanya hanya sedang memerlukan waktu untuk memenangkan diri. Meskipun tidak pernah berada di posisi Raina—dikhianati oleh pasangan sendiri, tetapi Algha memakluminya.

“Papa keluar dulu,” ucap Farrell. Pria itu serta-merta membawa Alvarez keluar dari kamar. Farrell menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil mengelus punggung Alvarez lembut. Hingga beberapa menit setelahnya, anak yang berada di gendongannya itu pun tertidur.

❄️❄️❄️

Raina sudah menapakkan kakinya di lobi rumah sakit. Perempuan itu celingukan, mencari keberadaan Fajri yang katanya akan menjemputnya di sini.

“Nona!”

Raina menoleh, setelah didapatinya Fajri yang sudah berdiri tak jauh darinya sambil melambaikan tangan, Raina segera menghampiri pria itu.

“Bagaimana keadaan Papa?” tanyanya, tanpa basa-basi. Rasa khawatir yang dirasanya membuat Raina kalap. Teringat jelas Raina bagaimana cemasnya ia tatkala mendengar Rudi masuk rumah sakit.

“Kita langsung ke ruang rawat Tuan saja, Nona,” saran Fajri. Setelah mendapatkan anggukan dari Raina, pria itu berjalan beberapa langkah di depan Raina, tentunya sebagai pemandu jalan.

Kedua orang itu berjalan cepat hingga menimbulkan suara yang terkesan tak santai di sepanjang koridor. Namun, tak didapati raut peduli sedikit pun dari keduanya. Raina dengan wajah cemasnya, dan Fajri dengan tampang datarnya. Ketika mereka tiba di depan sebuah pintu rawat inap VVIP, Fajri segera membukakan pintu dan mempersilakan Raina untuk masuk. Pria itu menutup pintu kembali lalu mengambil duduk di kursi depan ruangan.

 

To be continued ....
A/n: Dobel up, hm? Oh iya, selamat Maret, ya ges ya! Selamat birthday. 🌜🎉

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang