Bab 8

48.9K 2.6K 11
                                    

Happy Reading!

Raina menatap ke arah makanan yang berada di atas meja dengan tetapan heran. Utuh, makanan itu masih belum tersentuh. Matanya bergulir memandang Farrell dan Algha bergantian. Berbagai spekulasi negatif mulai singgah di otak wanita cantik itu.

“Kenapa pada nggak dimakan? Makanannya nggak enak, ya? Lain kali Mama nggak bakalan masak buat kalian kok, biar kalian bisa sarapan,” ucapnya. Suaranya memang lembut, tetapi terdengar nada kekecewaan di sana. Namun, perempuan itu kemudian tersenyum tipis, dan mendudukkan Alvarez di kursi kosong. “Alva mau makan pakai apa, hm?”

“Telselah (terserah) Mama,” sahut Alvarez, ia tersenyum lebar, dan senyuman polos itu mampu sedikit menenangkan hati kecil Raina.

“Bukan gitu, Rai ...,” ucap Farrell tiba-tiba. Matanya melirik ke arah Raina yang hanya mengangguk kecil.

“Nunggu Mama,” sambung Algha.

Raina segera menoleh. Keningnya mengernyit tak mengerti. Beberapa saat kemudian, barulah ia mengangguk.

Algha berdiri mengambil makanan yang diinginkannya, lantas melahapnya. Jujur saja, masakan Raina terasa pas di lidahnya. Setelah makanannya habis, Algha menggeser kursinya hingga menimbulkan derit yang membuat semua tatapan tertuju padanya.

“Selesai, Algha pamit.” Lelaki itu meraih tasnya. Ia berdiri, kemudian mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

“Eh, sebentar!” panggil Raina. Ia berjalan ke arah meja dapur, mengambil sesuatu di sana lalu memberikannya pada Algha. “Ini bekal yang Mama janjikan kemarin,” ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang terlihat lebih lembut.

Raina mengusap kepala Algha. “Belajar yang rajin, ya, Nak. Semoga kamu bisa jadi anak yang sukses.”

Algha mematung di tempatnya berdiri. Seumur hidup, ia tak pernah diperlakukan begini oleh sang mama. Biasanya, ketika ia akan berangkat sekolah, Raina hanya menatapnya datar tak ingin atau parahnya lagi tak peduli. Namun, kali ini benar-benar berbeda dan terasa asing baginya. Meskipun demikian, Algha tetap menyukainya. Ya, pagi ini adalah pagi terbahagia dalam hidupnya.

“Algha berangkat,” ucap Algha. Ia berbalik, lalu pergi keluar rumah.

Raina tersenyum menatap kepergian Algha. Perempuan itu kembali ke posisinya dan melanjutkan kegiatannya menyuapi Alvarez.

Sedangkan Farrell, ia yang sejak tadi hanya jadi pengamat pun menarik kedua sudut bibirnya kecil. Sendok yang digunakannya pun diletakkan. Tangannya beralih untuk meraih cangkir kopi, menyeruputnya pelan, sebelum kembali menaruh ke posisi semula.

“Papa berangkat,” ucapnya.

“Papa, salim.” Alvarez mengangkat tangan kanannya, masih dengan senyuman yang sepertinya tidak akan luntur dari bibirnya.

Farrell ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangannya sembari mengelus kepala Alvarez dengan tangan sebelahnya lagi.

“Alva baik-baik di rumah, ya? Nggak boleh nakal,” pesannya.

Alvarez mengangguk cepat. “Papa yang benal (benar) keljanya (kerjanya), bial (bial) bisa belikan Alva mainan banyak-banyak.”

“Mas,” panggil Raina. Ia sudah berdiri tepat di samping Farrell. Wanita itu meraih tangan kanan sang suami, lantas menciumnya. “Semangat kerjanya, suamiku,” lanjutnya. Raina sedikit berjinjit, lalu menyematkan sebuah kecupan ringan pada pipi Farrell.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang