Bab 10

47.5K 2.7K 78
                                    

Happy Reading!

“Bapak pulang duluan saja, nanti saya akan naik taksi,” ucap Raina pada sopir pribadinya ketika mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah. Perempuan itu pun turun dari mobil. Sambil membenarkan tataan rambutnya, Raina berjalan menuju ruang BK.

Setelah merasa rapi, Raina angkat kepalanya. Matanya menyipit saat mendapati punggung seorang pria yang sangat ia kenali sedang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Mas Farrell,” gumamnya kala pria itu membalikkan badan menghadap ke arahnya. Raina segera menghampiri Farrell. “Mas Farrell juga di sini? Karena apa?” tanyanya ketika sudah berdiri di depan sang suami.

Farrell tak mengeluarkan suara, ia hanya menunjukkan pesan dari Algha pada layar ponselnya.

Raina mengangguk paham. Ia kemudian melingkarkan tangannya pada lengan Farrell. Perempuan itu tersenyum lebar tatkala Farrell menoleh ke arahnya dan menatap tangannya yang tanpa izin menggandeng pria itu.

“Biar kelihatan romantis,” ucap Raina sambil tertawa kecil. “Udah yuk, masuk. Takutnya udah ditunggu.”

Farrell hanya menurut kala tangannya digeret oleh sang istri. Keduanya terus berjalan hingga tiba di depan sebuah pintu dengan papan bordir yang bertuliskan Ruang BK di atasnya. Farrell mengulurkan sebelah tangannya untuk mengetuk pintu.

Tok-tok-tok!

“Masuk!” Terdengar suara sahutan dari dalam.

Farrell membuka pintu, mempersilakan Raina untuk masuk terlebih dahulu sebelum ia menyusul. Keduanya pun mengambil duduk di kursi kosong.

Raina menautkan kedua tangannya di atas paha. Matanya memandangi satu per satu orang yang berada di ruangan ini, sejenak matanya terpaku pada seorang siswa yang terlihat babak belur yang saat ini berada dalam dekapan seorang wanita. Ia kemudian menatap seseorang—yang ia yakini adalah guru yang menghubunginya tadi.

“Jadi, bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Bu?” tanyanya dengan nada datar. Tak ada sedikit pun keramahan yang terlihat di wajahnya. Hilang sudah raut kelembutan yang disandangnya sejak tadi.

Bu Widia membuka suara, “Sesuai yang saya lihat. Ketika saya memasuki kelas, saya sudah melihat Algha tengah memukuli Rehan hingga terkapar di lantai.”

“Didik anak tuh yang benar dong. Kalau nggak bisa didik anak, mending nggak usah punya anak aja sekalian.”

Hardikan itu membuat Raina menoleh cepat. Tatapannya terlihat tajam. 
“Tidak ada yang meminta Anda untuk berbicara di sini.”

Amel—mama Rehan—meneguk ludahnya kasar. Suara dan tatapan itu terasa begitu mengintimidasinya.

“Di antara lainnya, ada yang bersedia menjelaskan secara lengkap?” Pertanyaan itu Raina ajukan pada beberapa siswa—yang berada di sini—yang sejak tadi diam.

Algha menunduk. Tak ada sedikit pun niat untuk menjelaskan di sini. Karena baginya, seberapa pun banyak ia berusaha membela diri, jika tidak ada bukti, semuanya akan percuma. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk diam.

Melihat sang teman yang sepertinya tidak ingin membuka suara, Bryan pun segera mengangkat tangannya.

“Saya bersedia menjelaskan semuanya, Tante.”

Raina mengangguk. “Silakan ....” Raina melirik name tag yang berada pada seragam Bryan.

“Bryan, Tante.”

Raina kembali mengangguk. “Oke, Bryan. Silakan jelaskan semuanya secara lengkap.”

“Jadi begini ceritanya. Ketika Algha akan memakan bekal buatan Tante, tiba-tiba Rehan dan kedua temannya datang menertawakan dan mengejek Algha. Algha sudah berusaha menghindar, tapi saat Algha akan keluar kelas, Rehan menarik belakang seragam Algha, lalu tanpa kata langsung memukul wajah Algha, dan jadinya Algha membalas pukulan itu,” jelas Bryan panjang.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang