Bab 34

24.7K 1.3K 27
                                    

Happy Reading!

Siang hari terasa panas dan terik di luar ruangan. Sebab matahari tengah bersemangat untuk bersinar dengan terangnya. Saat ini tengah duduk seorang anak di pangkuan ibunya. Keduanya berada di ruang keluarga, dengan sebuah siaran televisi yang menampilkan salah satu film kartun kesukaan anak-anak.

“Alva mau makan lagi, Nak?” tawar Raina yang dibalas gelengan oleh sang lawan bicara. Hal itu membuat Raina menghela napas pelan, anaknya ini masih terlihat pucat dan lemas tak berdaya. Demam yang menyerangnya masih belum sembuh, hanya turun sedikit derajat celsius. Terang saja hal itu membuat Raina terus saja dilanda khawatir, meski dia selalu berada di samping Alvarez.

Sejak tadi pun Alvarez hanya diam sambil sesekali mengeluhkan tubuhnya yang terasa tak nyaman dan kepala yang pusing. Anak kecil yang biasanya sering tertawa dengan bahagia itu, kini justru terlihat seperti tak berminat melakukan apa pun. Ya, kadang kala sakit memang dapat mengubah kepribadian seseorang.

“Assalamualaikum,” ucap seseorang yang baru saja memasuki rumah sambil menenteng sepatu hitamnya. Dia adalah Algha. Remaja itu meletakkan sepatunya di rak sepatu, lantas berjalan menghampiri Raina.  “Adek masih sakit, Ma?” tanyanya setelah mencium punggung tangan Raina.

“Iya, tapi udah agak mendingan daripada kemarin,” sahut Raina, “Abang nggak apa-apa, ‘kan kalo Mama fokus ke Adek dulu?” tanya Raina, ia hanya takut ketika ia lebih mengutamakan perihal Alvarez, maka Algha akan marah karena salah paham dan mengambil spekulasi sendiri mengenai pemikirannya.

Algha menggeleng. Ia mengambil duduk di sisi Raina sambil tersenyum. “Mama nggak usah takut Algha marah. Algha juga paham, di sini posisinya Adek lagi sakit dan lebih membutuhkan kasih sayang Mama.”

Mendengarnya membuat Raina mau tak mau ikut tersenyum. Wanita itu mengulurkan tangan untuk mengusap kepala si sulung.

‘Terima kasih, Nak, kamu telah menjadi anak yang sangat baik dan pengertian untuk Mama. Kamu sudah dapat berpikir secara logis dan berusaha mengerti keadaan dengan cara mengalah. Meskipun Mama bukanlah mama kandungmu, tetapi jika ada waktu dan Tuhan mengizinkan, Mama sangat ingin menemanimu hingga kamu sukses dan bahagia bersama wanita yang kamu cintai kelak,' batin Raina.

“Mama nangis?” tanya Algha spontan kala mendapati setetes air mata turun dan mengenai pipi sang mama.

Alvarez langsung ikut menoleh, ia menatap Algha sebentar, lalu melihat wajah Raina.
“Mama kenapa nangis? Alva buat salah, ya?” katanya, ikut bertanya.

Raina segera menggeleng sambil mengusap pipinya.
“Enggak, siapa yang nangis? Mama nggak nangis kok.” Tatapan Raina beralih pada Alvarez yang masih setia memandangnya. “Alva nggak ada salah kok. Kan Alva anak baik-baik.”

“Mama bohong, tadi Algha lihat kok,” ucap Algha, yakin dengan pendapatnya.

“Enggak, Sayang. Tadi Mama cuma kelilipan aja.”

Perlahan Algha mengangguk, memilih percaya dan tidak memperpanjang masalah ini. Sebab ia juga tak ingin membuat sang mama kembali bersedih—yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya.

“Ya sudah, sekarang Algha ganti baju, terus makan, ya?”

Algha menyengguk. Ia berdiri dan mencium pipi kiri Raina, sebelum akhirnya memilih berjalan menuju kamarnya, tak lupa menenteng tas sekolahnya.

“Assalamualaikum.”

Satu pergi, dan satu datang lagi. Dari tempatnya, Raina dapat melihat sang suami yang berjalan ke arahnya, masih dengan mengenakan setelan kantor.

“Waalaikumussalam, Mas tumben pulang cepet?” tanya Raina. Ia mencium punggung tangan Farrell, diikuti oleh Alvarez yang melakukan hal sama.

Sejenak Farrell mendudukkan dirinya di samping Raina, sebelum menjawab dengan mata yang mengarah pada Alvarez.
“Enggak apa-apa, sekalian lihat keadaan Alva.”

“Udah agak mendingan, Mas,” kata Raina. Tatapannya ikut mengarah pada Alvarez.

“Alva mau ke rumah sakit? Biar dikasih obat sama dokter?” tawar Farrell. Namun, secepat kilat dibalas gelengan oleh Alvarez.

“Kenapa? Kan biar diperiksa sama Pak Dokter.”

“Alva nggak mau. Alva takut lumah sakit, takut ketemu om doktel. Alva takut disuntik. Sakit, Mama,” ucap Alvarez, mengeluarkan segala keluh kesahnya.

“Cuma diperiksa, terus dikasih obat, habis tuh pulang,” jelas Raina. Namun, jawaban Alvarez masih tetap sama seperti sebelum-sebelumnya ketika ditawarkan untuk diajak ke rumah sakit.

“Alva nggak suka bau obat,” ujar Alvarez, “Alva di lumah aja. Kan di lumah juga ada doktel.”

Farrell dan Raina saling tatap, kening dua orang yang sudah menjadi orang tua itu berkerut, bingung dan tak mengerti siapa yang dimaksud oleh sang anak.

“Siapa?” tanya Farrell, mewakili Raina.

“Mama, kan doktelnya Alva.”

Dan jawaban polos itu berhasil membuat Farrell dan Raina tertawa pelan sembari menggeleng kecil.

“Mas mau makan siang dulu?” tawar Raina, “Tadi Bi Ani udah masak. Mas kalo makan siang jangan lupa panggil Algha, ajak makan sekalian.”

Farrell menyengguk. Diusapnya kepala Alvarez lalu mencium kening Raina. Lelaki itu lantas berdiri dan berjalan menjauh.

Setelah matanya tak melihat punggung si suami, Raina pun kembali fokus pada Alvarez.
“Alva mau tidur, Nak?”

“Mama temenin, ya?” pinta Alvarez.

Raina berdiri sambil menggendong Alvarez. Perempuan itu menimang anak itu hingga memejamkan mata dan tertidur.

❄️❄️❄️

Suasana meja makan terasa sangat canggung. Tak ada yang membuka pembicaraan, dua orang laki-laki berbeda usia itu tampak sama-sama bungkam. Hanya terdengar suara denting sendok dan piring yang saling beradu.

Mata Farrell sesekali melirik ke arah Algha yang justru terlihat diam dan menikmati makan siangnya. Menarik napas pelan, Farrell lebih memilih melanjutkan acara makannya daripada harus berusaha untuk memecahkan suasana yang terasa kikuk sejak awal.

Dan, Raina yang baru saja datang ke dapur setelah menidurkan Alvarez di kamar anak itu pun hanya dapat menggeleng. Ia tak habis pikir, kenapa hubungan ayah dan anak di hadapannya itu terlihat begitu kaku.

“Kenapa diam-diam aja?” Raina membuka suara setelah mengambil duduk di samping Algha. Matanya menatap bergantian pada Farrell dan Algha.

“Nggak apa-apa, Ma.  Lagian kalo makan, kan nggak boleh ngomong,” jawab Algha beralibi.

“Iya benar, tapi coba usahain biar nggak canggung begini. Mama aja risih dan asing ngelihat kalian sama-sama saling diam begini. Kalian ini ayah dan anak kandung, lho. Emangnya mau terus begini?”

Kedua laki-laki yang ditanya itu hanya diam. Algha yang masih asik dengan makan siangnya, sedangkan Farrell terlihat tak bernafsu untuk makan, terlihat dari tangannya yang hanya bergerak untuk mengetuk-ngetuk meja makan.

“Huh,” desah Raina, pasrah sudah menghadapi dua sosok yang mungkin akan menjadi bongkahan es batu bila terus dibiarkan berdua saja. Raina mengulurkan tangan, dielusnya kepala Algha dengan sayang. “Algha habisin makanannya, habis itu tidur siang, ya?”

Algha hanya menanggapi dengan anggukan, sebab mulutnya sedang penuh dengan makanan.

“Kamu berangkat ke kantor lagi, Mas?” Kali ini Raina bertanya pada sang suami.

Farrell menoleh, kepalanya mengangguk. “Iya, masih ada kerjaan di kantor. Tadi Mas pulang cuma buat nengok Alva.”

“Oh, ya udah kalau gitu.”

Setelahnya Raina pun mengambil makanan dan mulai ikut makan siang, ditemani dengan keheningan yang diciptakan oleh dua lelaki berharga di kehidupan ke duanya ini.


To be continued ....
A/n: Please ingetin kalo aku lupa update😭🙏

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang