Bab 62

15.1K 744 30
                                    

Happy Reading!

Pemandangan luar yang dapat ditatap dari tempatnya berpijak kini menjadi satu-satunya hiburan yang dapat Raina nikmati. Wanita itu masih di sini, di tempat yang didominasi oleh bau obat-obatan, tanpa teman berbicara, hanya ia sendiri yang masih membuka mata. Lantas, Raina berbalik, menatap ke arah ranjang pasien yang masih menjadi tempat Geo bersatu dengan alam bawah sadarnya. Setelah itu, kepala Raina menoleh, beralih menatap pada ranjang penunggu pasien yang kini ditempati oleh dua anaknya—yang memaksa untuk ikut dan tak ingin pulang.

Ceklek!

Raina mengangkat kepalanya, dipandangnya Farrell yang baru saja memasuki ruangan sembari membawa sebuah dokumen.

“Mas,” panggil Raina. Kaki jenjangnya perlahan melangkah menghampiri sang suami yang sudah lebih dahulu mendudukkan diri di sofa. “Baru pulang?” tanyanya, dengan mata yang meneliti penampilan Farrell yang masih mengenakan setelan jas lengkap.

Farrell mengangguk. Sebelah tangan pria itu mengulurkan dokumen yang tadi dibawanya pada Raina.

“Ini apa?” tanya Raina. Keningnya mengerut, tatapannya pun mengarah pada sang suami dengan pandangan penuh tanya.

“Buka aja.”

Raina menurutinya, jari-jemari lentik itu perlahan mulai membuka sampul dokumen yang berada dalam genggamannya. Kemudian, matanya perlahan mulai menelusuri kalimat demi kalimat yang tercetak rapi dengan tinta hitam di kertas itu.

“Mas?” panggilnya pada Farrell. Tatapannya kembali seperti sebelumnya, penuh tanya. “Ini maksudnya apa?”

Farrell menyengguk, bibirnya kemudian tersenyum simpul.
“Ya, seperti kamu baca, Papa adalah seorang mantan mafia,” ungkap Farrell.

“Ini ada hubungannya sama wanita itu, Mas?”

Kali ini, Farrell menggeleng. “Mungkin, aku juga belum tau pastinya bagaimana, tapi aku yakin, Papa tau semua ini,” ujarnya. Pria itu mengubah posisi duduknya menjadi tegak, lantas membawa tubuh sang istri untuk bersandar kepadanya. “Kamu tenang saja, aku akan melakukan pencarian sampai tuntas. Ingatlah, orang jahat tidak akan bisa hidup tenang. Ketika dia terbebas dari hukuman manusia, maka akan ada hukum alam yang masih menantinya.”

Raina bergeming, bibirnya bungkam seketika. Perempuan itu tak tahu lagi harus merespons bagaimana kabar yang baru saja ia terima. Rasanya begitu mengejutkan untuknya.

❄️❄️❄️

“Kita ke rumah Papa, Mas.”

Farrell yang sebelumnya tengah asik mengetukkan jemarinya pada setir mobil itu menoleh, menatap sang istri yang baru saja memasuki mobil lalu memasang sabuk pengaman. Mobil yang mereka tumpangi itu saat ini tengah terparkir di depan kediaman Farrel.

“Mau ngapain?” tanyanya.

“Mau lihat wanita itu,” jawab Raina. Pandangannya lurus ke depan, tak mau menoleh pada sang lawan bicara.

“Ngapain?”

Pertanyaan ambigu itu terang saja membuat Raina menoleh, menatap Farrell dengan tatapan heran.
“Ngapain?” ulangnya, “ya mau mastiin mereka masih di sana, Mas.”

Farrell menghela napas pelan.
“Percuma, mereka sudah pergi setelah mencelakai Papa. Entah ke mana, yang pasti lokasinya sangat sulit untuk dilacak,” jelas Farrell.

“Mas kenapa nggak cerita‽” sahut Raina. Raut wajah kesal terlalu kentara terlihat di wajah cantiknya.

Farrell tak menjawab. Namun, sebelah tangannya meraih tangan Raina, lalu mengecupnya.

Sementara Raina, ia terdiam. Ini salahnya yang membebaskan dua wanita itu, hingga dapat pergi begitu saja. Namun, Raina juga tak dapat berbuat apa-apa. Kala itu pikirannya hanya tertuju pada kondisi Geo, hingga Raina lupa, bahwa wanita licik itu dapat berbuat lebih licik lagi ketika dibebaskan.

“Rai ...,” panggil Farrell. Diusapnya kepala sang istri dengan lembut. “Biarkan mereka pergi, karena ketika aku berhasil menangkap mereka, tak akan lagi ada celah bagi mereka untuk melepaskan diri,” lanjutnya. Tak ada sedikit pun nada bercanda pada suaranya.

Nyatanya, sadar tidak sadar, setiap manusia memiliki sisi gelapnya masing-masing—yang dapat keluar kapan saja. Dan, Raina sadar, ia hampir sama gilanya dengan Farrell. Apalagi jika mengingat kini di dalam tubuhnya telah mengalir darah dari seorang mantan mafia.

❄️❄️❄️

Mobil yang baru saja melintasi jalanan terjal itu pun akhirnya berhenti, tepat di bawah sebuah pohon besar, di antara pohon-pohon lain yang juga tumbuh di sekitarnya. Dua perempuan yang semula menumpangi mobil itu pun akhirnya turun, setelah berdiam diri selama beberapa menit di dalam mobil.

"Ma ...."

Panggilan itu membuat Sandra yang baru saja menurunkan koper dari bagasi mobil itu menoleh.
"Kenapa?" sahutnya, lalu menggeret kopernya menuju sebuah rumah kecil yang berada di sana.

"Kita kembali aja, yuk," ajak Salsa.

Mata perempuan itu sibuk menatap sekitar. Terasa asing sekaligus familier baginya. Namun, tetap saja, Salsa akan lebih memilih tinggal di rumah Geo, daripada harus di tempat antah-berantah ini. Anak perempuan yang lahir dengan sendok perak di mulutnya dan sudah terbiasa hidup bergelimang harta itu merasa tak akan sanggup jika harus tinggal di rumah sederhana yang terbangun tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Apalagi, akses internet tidak terjangkau di daerah ini. Salsa yang sudah candu media sosial itu tak akan dengan mudah bisa melepaskan diri dari dunia teknologinya.

Daerah minim cahaya ini membuat Salsa rasanya ingin sekali berlari sekuat tenaga agar bisa pergi dari sini. Sebutan hutan sangatlah cocok untuk tempat ini. Selain ditumbuhi pepohonan yang banyak, suasana pun terasa amat mencekam. Bahkan, hanya ada beberapa sinar matahari yang berhasil melewati celah-celah dari ranting pohon yang ditumbuhi oleh lebatnya daun.

Mendengar ucapan sang anak, tentu saja Sandra menoleh cepat. Tatapan tak setuju jelas dilontarkan dari mata wanita itu.

"Kamu mau kita ditahan mereka? Kamu mau kita disiksa mereka? Mama yakin, mereka tidak akan pernah membebaskan kita begitu saja. Walau tak menjamin seratus persen akan aman, setidaknya berada di rumah ini bisa membuat kita tenang untuk beberapa saat." Sandra menghela napas pelan, ia berbalik, kembali melangkah menghampiri Salsa yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya terulur untuk mengelus anak semata wayangnya selama ini ia sayangi sepenuh hati. "Kamu tenang saja, percaya sama Mama."

Salsa hanya dapat mengangguk patuh. Memangnya apa lagi yang dapat ia lakukan, selain mengikuti alur yang mamanya buat?  Walau sebenarnya hatinya menolak dengan tegas, bagai kerbau dicucuk hidungnya, Salsa tak akan mampu melawan kehendak sang mama.

"Sementara kita tinggal di sini dulu, ya?" ucap Sandra.

Lagi, Salsa hanya dapat mengangguk patuh. Tak ada lagi acara foya-foya dengan shopping sesuka hati di mal. Tak ada lagi live streaming ketika dirinya tak ingin kehilangan followers-nya. Tak ada lagi pemotretan sembari memamerkan lekuk tubuh yang selalu dibanggakannya. Entah apa yang dapat Salsa lakukan nanti di rumah mungil itu.

"Ayo," ajak Sandra. Wanita itu lebih dahulu berjalan ke arah di mana tadi kopernya ia tinggalkan. Kemudian, Sandra kembali melanjutkan langkahnya, menuju rumah sederhana yang akan ia tinggali—lagi.

 

To be continued ....
A/n: selamat berpuasa guys bagi yang menjalankan. Semoga kuat, ya! Jangan lupa tahan segala emosi. I’am sure you can🫂!

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang