Bab 2

68.1K 3.2K 12
                                    

Happy Reading!

Di tengah kesepian kamar barunya, mata Raina bergulir, ia menatap jam berbentuk bulat yang menempel di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, yang artinya ia sudah berada di tempat ini sejak dua jam yang lalu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi anak bungsunya, sebelum nantinya ia harus menyiapkan hidangan untuk makan siang.

Raina beranjak dari duduknya. Perempuan itu berjalan keluar kamar. Ia membawa langkahnya menuju kamar di lantai atas—kamar anaknya berada. Ya, ia sudah mengetahui seluk-beluk rumah ini dari pelayan yang dilihatnya pertama kali setelah membuka mata di tempat asing ini.

Menurut Raina, pemilik raga ini begitu tega padanya. Raina harus menggantikan posisi dan tanggung jawabnya tanpa memberikan secuil pun ingatan perihal kehidupan dan masa lalu perempuan itu. Namun, apa yang bisa Raina lakukan selain menjalani hidup seperti manusia pada umumnya.

Menghela napas pelan, Raina memilih membuka pintu kamar di hadapannya. Setelah pintu itu terbuka, matanya dihadapkan dengan pemandangan kamar yang cukup menarik dan imut di matanya. Kamar ini tampak apik dengan desain seperti pemandangan luar angkasa. Terdapat beberapa ornamen benda-benda luar angkasa yang tersusun rapi pada rak dinding. Di sudut ruangan, terdapat lemari yang dipenuhi oleh koleksi boneka yang sekilas terlihat hampir mirip dengan lemari pajangan boneka di rumah Reina dulu. Raina sungguh dibuat kagum dengan tata letak kamar yang saat ini tengah dipijaknya ini.

Lantas, pandangan wanita itu beralih ke atas ranjang, di mana terdapat seorang anak laki-laki kecil tengah duduk sembari mengucek mata. Pipi gembil itu terlihat begitu menggoda. Raina ingin segera mendekat dan mencubit pipi itu dengan kerasnya untuk menyalurkan rasa gemasnya. Akan tetapi, tidak, Raina hanya bercanda. Tak mungkin ia setega itu pada anak imut di depan sana.

“Mama.”

Raina tersadar dari lamunannya. Suara itu terdengar imut di telinganya. Tanpa menunggu lagi, Raina segera mendekat ke arah anak itu.

“Mama ngapain datang ke kamal (kamar) Alva?”

Entah kenapa, pertanyaan yang terdengar biasa saja itu mampu membuat Raina sedikit tersentak. Namun, dengan cepat ia mengembalikan mimik wajahnya. Perempuan itu tersenyum lebar, lalu mengambil duduk di sisi ranjang. Ia mengangkat tubuh anak berusia tiga tahun itu—berkat informasi dari pelayan tadi, Raina jadi mengetahui berapa usia anggota keluarganya—ke atas pangkuannya.

“Mama mau main sama Alva, biar Alva nggak kesepian lagi,” sahut Raina sambil mencubit hidung Alvarez pelan.

Mulut Alvarez membulat lucu. Mata itu berbinar-binar bahagia, seperti anak kecil yang tengah mendapatkan mainan yang diimpikannya.

“Wah, Mama selius (serius)? Mama mau main sama Alva?”

Raina mengangguk cepat. “Iya, mulai sekarang Mama akan selalu menemani Alva bermain apa saja.”

“Apa saja?” beo Alvarez.

Lagi dan lagi Raina mengangguk. “Iya, apa saja.”

“Wah, telima (terima) kasih, Mama. Alva sayang Mama banyak-banyak!” seru Alvarez dengan girang, kemudian memeluk erat tubuh wanita yang melahirkannya itu.

Ya, Raina sudah yakin keputusannya untuk mengubah takdir. Ah tidak, tetapi berusaha memperbaiki apa yang salah, sebelum nantinya justru penyesalan yang akan merenggut kesempatan dan kebahagiaannya. Raina pasti bisa dan mampu, ia percaya itu.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang