Bab 50

16.4K 795 25
                                    

Happy Reading!

Di sebuah kamar yang dipenuhi pigura berisi lukisan, terdapat seorang remaja yang tengah duduk di kursi meja belajar. Dengan dibantu penerangan dari lampu belajar yang menyorot langsung ke arah bukunya, tangan laki-laki itu terus menggoreskan pensil hingga membentuk sebuah sketsa pada lembar bukunya. Setelahnya, ia memilih untuk duduk bersandar di kursinya sembari mengetuk-ngetuk pensilnya pada meja.

Ia adalah Algha, remaja yang memilih untuk memasuki kamar setelah makan malam dilaksanakan. Bukan karena tak ingin berkumpul dengan adik serta mamanya, hanya saja Algha sedang ingin berada di kamar dan menuangkan ide yang berada di otaknya ke dalam buku.

Jujur saja, ucapan Bryan saat di sekolah tadi masih terngiang-ngiang di otaknya. Apa yang dikatakan Bryan memang benar. Mau sampai kapan ia harus terus berjarak dengan Farrell? Algha tak ingin terus begini. Ia juga ingin seperti anak lain yang memiliki kenangan bahagia bersama ayah mereka. Tak seperti Algha yang bahkan tak memiliki peristiwa istimewa bersama Farrell yang patut diceritakan, apalagi dikenang.

Algha dan Farrell memang memiliki hubungan keluarga, bahkan sedarah, tetapi keduanya bak orang asing yang datang ketika hanya sedang memerlukan. Sapaan mereka pun tak lebih hanya sekadar saling menghargai keluarga saja. Algha juga ingin dekat dengan Farrell, seperti yang selama ini dirasakan oleh Alvarez. Anak kecil itu sangat beruntung.

Menghela napas pelan, Algha pun meraih ponselnya. Ia tak akan dapat mewujudkan keinginannya jika tidak berusaha. Jika tidak sekarang, kapan lagi ia akan memulai? Waktu memang terus berjalan, tetapi tak ada manusia yang tahu kapan waktunya diberi kesempatan akan berakhir. Bisa saja setelah detik ini juga waktunya berhenti.

Algha menatap lama layar ponselnya yang menampilkan kontak sang papa. Remaja itu menarik napas panjang, sebelum akhirnya memilih untuk menekan ikon telepon. Hampir selama beberapa menit ia menunggu. Algha tidak suka melakukan itu. Lantas, ketika jemarinya baru saja ingin menekan ikon akhiri panggilan, telepon itu pun tersambung.

Algha menarik napas lega. Akan tetapi, ketika Algha membuka mulut, hendak berbicara, suara yang ia dengar dari seberang sana membuat Algha terdiam.

“Ah, Farrell ....”

Tangan Algha terkepal kuat. Tak ingin kembali meneruskan mendengar hal yang membawa dampak buruk untuk otaknya, Algha pun segera mengakhiri panggilan dan meletakkan kasar ponselnya ke atas meja. Algha tak sebodoh itu, ia tahu suara apa yang baru saja ia dengar.

Emosi Algha memuncak. Plot twist yang diselenggarakan untuknya begitu kejam dan penuh kejutan. Niat baik yang ingin dilakukannya harus berakhir seperti ini. Algha menatap keluar jendela. Langit malam ini tampak sangat cerah. Bahkan benda langit yang bersinar itu terlihat tampak indah menghiasi cakrawala.

Pikiran Algha kini hanya tertuju pada Raina. Ia tak peduli Farrell berhubungan dengan siapa saja. Akan tetapi, yang ia pedulikan adalah, bagaimana respons Raina ketika mengetahui bahwa kepala keluarga di rumah ini melakukan hal yang tidak wajar dan dilarang oleh agama? Salahkah Algha jika berpikir begitu?

“Mama ...,” gumam Algha.

Ia tak ingin melihat sang mama menangis, apalagi karena papanya. Yang Algha inginkan hanya melihat Raina bahagia. Namun, begitu sulitkah ia melihat orang-orang yang disayangi bahagia? Algha tak tahu, apakah Raina mengetahui apa yang dilakukan oleh Farrell atau tidak. Namun, bangkai yang disembunyikan pun akan tercium baunya. Entah kapan, Algha sangat yakin, cepat atau lambat Raina pasti akan mengetahuinya.

Sangat ingin rasanya Algha menghampiri sang papa dan melekatkan tangan pada wajah tampan Farrell. Algha tak rela bila pria itu menyakiti hati sang mama.  Tak peduli Farrell papanya atau bukan, siapa pun yang membuat Raina menangis, ia pantas mendapatkan hukuman. Algha akan menunggu Farrell pulang, sebelum ia akan melampiaskan amarahnya pada pria itu.

❄️❄️❄️

Jika Algha sedang dirundung emosi, maka berbeda dengan Farrell. Pria itu menjambak rambutnya frustasi karena tersadar apa yang baru saja ia lakukan. Hampir saja ia menodai kakak iparnya sendiri, jika akal sehatnya sudah tak lagi berfungsi. Namun, untung saja sisi baik dalam dirinya berhasil menyentak Farrell dari nafsu bejatnya.

Tanpa mengucapkan apa pun, lelaki itu segera memasuki kamar mandi yang berada di kamar hotel itu. Ia harus menuntaskan hasratnya. Ia tak boleh melakukan hal itu, selain dengan istrinya. Farrell tak mau menyakiti Raina, meskipun perempuan itu tak melihat apa yang dilakukannya. Farrell sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki hubungan keluarganya.

“Maafkan aku, Raina ...,” gumam Farrell. Lelaki itu mencuci muka. Lantas, tatapannya mengarah pada bayangan wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin wastafel kamar mandi.

Entah sudah berapa lama Farrell berada di tempat ini. Yang ia harap, ketika keluar nanti, wanita yang hampir dinodainya itu sudah lenyap dari pandangannya.

Namun, harapannya pupus begitu saja tatkala wanita yang tak ingin ia lihat wajahnya itu masih berada di kamar ini. Bahkan, wanita itu malah asik bersantai sambil bermain ponsel—seolah-olah apa yang baru saja terjadi bukanlah apa-apa.

“Farrell,” panggil Salsa.

Farrell tak mengindahkan panggilan itu. Ia justru segera mempercepat langkahnya agar lekas tiba di pintu dan keluar dari ruangan itu. Namun, langkahnya terhenti saat Salsa dengan lancang memegang lengannya.

“Lepas!” bentak Farrell. Ia menyentak tangan Salsa begitu saja.

“Kenapa kamu begini, Farrell? Apa kurangnya aku sampai kamu tega nolak aku?” tanya Salsa. Matanya menatap lekat pada Farrell.

Farrell tak peduli. Masa bodoh dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu.

“Apa kurangnya aku dari Raina, hah?! Apa perlu aku musnahkan Raina agar kamu mau berpaling padaku?”

Pertanyaan dengan nada marah itu spontan membuat Farrell menoleh. Ia berbalik, tatapannya menyorot tajam pada wanita yang kini sudah berdiri tak jauh dari hadapannya itu.

“Jangan berani macam-macam denganku!” ucap Farrell dengan nada geram. Rahang pria itu mengeras dengan tangan yang terkepal kuat, menahan amarah karena mendengar ucapan dari kakak iparnya itu.

Salsa justru tertawa. “Apa yang tidak bisa aku lakukan?” tanya Salsa, kali ini diikuti oleh tawa yang terdengar seperti meremehkan. Lantas, wanita itu berjalan beberapa langkah, hingga berdiri tepat di depan Farrell. Jemari wanita itu bergerak dengan gemulainya memainkan kancing kemeja yang dikenakan Farrell. “Bahkan membunuh wanita kesayanganmu saat ini pun aku bisa.”

Seketika tangan Farrell terangkat. Pria itu mencekik leher Salsa. Farrell sudah gelap mata. Ia sudah tak ingat lagi bahwa yang berdiri di hadapannya sekarang adalah wanita yang tidak seharusnya diperlakukan kasar. Namun, siapa pun itu, Farrell tak peduli. Mereka yang dengan berani menyakiti keluarganya adalah orang-orang yang berani mengambil risiko. Farrell tak masalah jika harus melakukan dosa besar hanya untuk membalaskan perlakuan orang-orang yang menyakiti keluarganya.

Brak!

“Tuan!”

“Ri ... Rizal, to ... tolong aku,” pinta Salsa dengan nada terputus-putus pada Rizal yang baru saja datang dan mendobrak pintu.

“Tuan, ingat, dia wanita, Tuan,” tutur Rizal. Dengan takut-takut ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Farrell pada leher Salsa. Namun, bukannya melepaskan, Farrell justru memperkuat cengkeramanya hingga wajah Salsa hampir terlihat membiru. “Nyonya tidak akan suka bila melihat Tuan kasar.” Ampuh, seketika Farrell melepaskan cekikannya.

Pria itu berdecih, sebelum akhirnya memilih meninggalkan ruangan ini. Ia tak menyangka, julukan yang diberikan Raina pada wanita itu benar adanya. Ya, Salsa, si serigala berbulu domba.

 

To be continued ....
A/n: Berikan tanggapan kalian tentang Farrell di sini. 😀🙏

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang