Bab 59

15K 777 34
                                    

Happy Reading!

Dua perempuan berbeda usia yang mengenakan pakaian modis itu tampak berjalan berlenggak-lenggok melewati koridor rumah sakit yang kian ramai sebab jam sudah menunjukkan pukul lima sore, yang artinya banyak orang-orang yang sudah menyelesaikan aktivitasnya berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk sanak saudara mereka yang tengah mendekam di bangunan kesehatan ini.

Ketika tiba di depan ruangan Geo, keduanya langsung bertemu dengan sosok Fajri yang tengah berdiri di depan pintu sembari memegang ponsel. Terlihat raut gelisah di wajahnya, meski tak terlalu kentara.

“Selamat sore, Nyonya dan Nona,” sapa Fajri ketika menyadari kehadiran dua orang itu. Ia membungkukkan tubuhnya sejenak, sebelum kembali berdiri tegak, dan mengantongi ponselnya di balik saku dalam jasnya.

“Kamu bisa pergi menyelesaikan urusanmu, Fajri. Biar saya yang menjaga suami saya,” ucap Sandra. Wanita dengan tas yang menggantung di lengannya itu tersenyum, seakan-akan ia adalah orang paling ramah di dunia ini. Mungkin jika orang yang sudah benar-benar menilainya luar-dalam akan secara gamblang mengetahui bahwa senyum itu bukanlah senyum kebaikan, melainkan senyum yang memiliki arti tersembunyi di dalamnya.

Fajri mengangguk. Ia pun tak dapat menolak. Selain karena urusannya lumayan mendesak, Fajri juga tak mungkin mencurigai anggota keluarga tuannya sendiri. Walau tak menampik, dirinya pun merasa heran dan aneh dengan dua wanita itu yang baru menampilkan batang hidungnya setelah hampir seminggu Geo mendekam di ruangan berbau obat-obatan ini.

“Kalau begitu saya permisi, Nyonya.” Usai mendapati anggukan dari sang lawan bicara, pria dengan setelan jas formal yang masih terlihat rapi itu segera berjalan menjauh dan meninggalkan ruangan Geo.

“Ma.”

Perhatian Sandra yang semula berfokus pada tubuh Fajri yang perlahan menghilang di pertigaan koridor itu pun teralihkan. Ia menatap sang putri yang juga tengah menatapnya. Lantas, kepalanya mengangguk dengan senyum misterius yang perlahan mulai terbentuk di wajahnya.

“Ayo,” ajaknya. Saat tangan Sandra bergerak untuk menekan knop pintu, tangan Salsa yang tiba-tiba memegang lengannya membuat gerakan wanita itu terhenti. Ia menoleh, menatap Salsa dengan alis yang mengerut, tak mengerti maksud sang putri.

“Apa Mama yakin?” Pertanyaan ambigu dengan nada skeptis itu berhasil mematik raut ketidaksukaan di wajah Sandra yang hampir seluruhnya tertutupi oleh hasil mekap itu. Namun, secepat kilat rautnya kembali berubah seperti semula, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kamu tenang saja, percaya sama Mama. Suatu saat nanti kamu akan mengerti kenapa Mama melakukan ini semua,” ucap Sandra sembari menunduk. Sekilas, matanya memancarkan aura kesenduan, sebelum akhirnya berkilat sinis. Lantas, wanita itu menoleh, menatap sang putri yang masih terlihat ragu. Ditepuknya punggung tangan Salsa yang masih betah memegang lengannya, seolah tengah memberikan sebuah kekuatan tak kasat mata. Lantas, kepalanya kembali mengangguk dengan bibir yang tersenyum. “Ayo, kesempatan kita tidak banyak,” ajaknya, lalu membuka pintu di hadapannya.

Tangannya memegang lengan Salsa, yang mau tak mau membuat perempuan muda itu berjalan mengikuti langkah wanita di hadapannya. Meskipun masih ragu dengan apa yang akan mereka lakukan, Salsa tetap tidak bisa membantah ucapan Sandra. Apa pun itu, semoga tidak merugikan banyak orang dan menjadi senjata makan tuan untuk mereka.

❄❄️❄️

“Halo, Nona. Kondisi Tuan kembali kritis.”

Berita singkat yang didengarnya lewat sebuah panggilan telepon itu berhasil membuat Raina yang semula baru saja ingin mendudukkan dirinya di sofa ruang keluarga itu terhenti. Perempuan itu mematung sejenak, sebelum suara yang dari seberang sana kembali terdengar dan mengembalikan kesadarannya.

“Nona, apa Nona baik-baik saja?”

“Saya segera ke sana,” ucap Raina. Ia langsung mematikan sambungan telepon itu. Sejenak wanita itu menarik napas pelan. Tidak boleh begini, ia harus tenang. Setelah merasa lebih baik, Raina pun berbalik, kembali melangkah menuju kamar untuk mengambil barang yang sekiranya diperlukannya. Namun, jalannya terhenti tatkala mendapati sang suami yang berjarak beberapa langkah darinya tengah menatap heran ke arahnya.

“Ada apa, Rai?” tanya Farrell. Ia melangkah makin dekat, sebelum akhirnya berdiri tepat di depan Raina dan mengusap bulir air mata yang nyaris terjun melewati pipi mulus wanita itu.

“Papa kritis, Mas,” ungkap Raina.

“Ayo kita ke sana,” ajak Farrell. Pria itu baru saja ingin melangkah pergi, akan tetapi tangan sang istri berhasil memegang lengannya. “Kenapa, Rai?”

“Anak-anak?” tanya Raina. Ia tak mungkin kembali ceroboh seperti beberapa saat lalu yang pergi begitu saja meninggalkan dua anaknya.

“Mau diajak?” tawar Farrell.

Namun, Raina menggeleng tak setuju. Tak mungkin ia mengajak kedua anaknya. Apalagi ini sudah hampir malam. Raina tak setega itu membiarkan Algha dan Alvarez beristirahat tak nyaman di sana.

Seakan mengerti apa maksud sang istri, Farrell pun mengangguk. Tangannya bergerak, kembali mengusap kepala Raina dengan pelan.
“Anak-anak biar sama Bi Ani di rumah,” ujarnya, “biar Mas titipin mereka dulu.” Setelahnya, pria itu berbalik, meninggalkan Raina yang masih bergeming di tempat, untuk melaksanakan apa yang baru saja diucapkannya.

Namun, beberapa menit setelahnya, pria itu kembali dengan Alvarez yang berjalan mengekori Farrell dengan Algha di sampingnya.

“Mama mau ke mana?” tanya Alvarez. Kepalanya mendongak, menatap pada sang mama yang perlahan mulai berjongkok, menyamakan tingginya dengan si kecil itu. “Mama kenapa nangis?” Alvarez kembali bertanya dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak mengusap pipi Raina dengan lembut. “Siapa yang nakalin Mama? Biar Alva pukul.”

Raina menggeleng pelan. Ditariknya punggung Alvarez mendekat, lantas memeluk tubuh kecil itu dan mengecup puncak kepalanya.
“Al di rumah dulu sama Abang dan Bi Ani, ya?” ucapnya, “Mama mau ke rumah sakit dulu, jenguk Opa,” jelasnya. Ia paham, tentunya Alvarez akan menuntut jawaban yang sekiranya dapat ia percaya.

“Al boleh ikut?” tanya Alvarez dengan mata penuh pengharapan. Namun, gelengan dari sang mama yang didapatinya membuat anak itu menunduk lesu.

“Al di rumah aja. Ini udah malam, Al perlu istirahat. Kalo sampai besok Mama nggak pulang, Al boleh susul Mama ke sana sama Abang,” ucap Raina. Kemudian, pandangannya beralih pada Algha yang kini berdiri diam di samping Alvarez. Entah ke mana perginya sosok Farrell yang tadi bersama si sulung itu. “Iya, ‘kan, Bang?”

Algha hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

Raina tersenyum tipis, perhatiannya kembali beralih pada Alvarez.
“Al jangan bobok malam-malam. Mama berangkat dulu,” pamit Raina.

Sejenak perempuan itu menepuk pundak Algha, lantas pergi meninggalkan kedua anaknya. Meski terasa berat harus meninggalkan kedua anaknya di rumah malam-malam begini, tetapi Raina harus melakukannya. Kini Geo lebih membutuhkannya, dan Raina pun harus mencari tahu apa penyebab pria itu kembali kritis. Padahal, Raina ingat betul senyum bahagia Geo siang tadi saat ia dan keluarganya datang. Tak mungkin bisa tiba-tiba begitu saja kembali kritis jika tidak ada penyebabnya.

 

To be continued ....
A/n: ingpo dong, mulai puasanya kapan?

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang