Bab 16

40.3K 1.9K 2
                                    

Happy Reading!

“Aku akan menjawab apa pun yang ingin kamu tanyakan,” ucap Keila tanpa menoleh.

Ucapan itu seketika membuat Raina duduk dengan tegak. Ia sedang mengajak otaknya berdiskusi untuk merangkai kalimat dari banyaknya pertanyaan yang selama ini hanya dapat dijawabnya lewat spekulasi-spekulasi yang tidak dapat diuji kebenarannya.

Ini kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi, Raina harus dapat memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dengan menanyakan tentang apa saja yang tak dapat ditemui dan tebak jawabannya sambil memastikan tiap-tiap spekulasinya selama ini benar atau tidaknya.

“Kenapa harus aku?” tanya Raina, ambigu.

“Karena kamu orang yang tepat. Aku mengakui bahwa aku kalah. Katakan saja aku tak bersyukur, aku tak akan marah, karena memang itu kenyataannya. Aku sempat ingin menyerah. Kehidupan Yang aku jalani bukanlah kehidupan yang aku inginkan dan semua itu sulit untuk kulalui ....”

“Kamu tahu rasanya, tapi kenapa tetap memaksaku untuk menjadi dirimu agar menjalani semua kehidupan yang tidak kamu inginkan itu?” potong Raina cepat. Emosinya terasa campur aduk, antara dipermainkan dan diperlakukan seenaknya.

“Karena kamu bisa,” jawab Kelia, “kamu adalah orang yang tepat. Kamu tidak seperti aku yang mudah menyerah. Kamu tidak seperti aku yang lemah. Sejak kamu terbangun di ragaku, aku sudah menyerahkan seluruh kehidupan, serta segala hal yang aku punya dan hal yang berhubungan denganku untukmu, Raina.”

Raina menghela napas pelan. Ia memejamkan mata, berusaha meredam emosi yang perlahan menguasainya. Raina tak boleh gegabah, masih banyak yang belum ia tanyakan pada perempuan itu.

“Apa ada rahasia yang selama ini kamu sembunyikan dari semua orang?”

Kelia mengangguk. “Ya, perihal seseorang yang berusaha memecah belah keluarga kami. Dia ada di sekitarmu. Meski saat ini kamu belum pernah melihatnya, dia akan terus memantaumu.”

“Siapa dia?”

“Sandra, Ibu tirimu,” sahut Kelia, “Selama ini dia begitu lihai memakai topeng. Ada sesuatu—yang belum aku tahu apa itu—yang membuat Sandra begitu gencar melakukan segala upaya untuk menghancurkan kita semua. Dia juga pasti memiliki tujuan dan alasan tertentu sehingga mau menikah dengan Papa. Seperti serigala berbulu domba, dia tidak sebaik dan selembut wajahnya,” jelas Kelia panjang.

Raina terdiam sambil menunduk, otak kecilnya sedang mencerna kalimat Kelia yang terdengar sulit dipecahkan. Raina mengangkat kepalanya, menatap sang lawan bicara yang masih setia memandang ke arah depan.

“Apa selama ini kamu menyayangi Algha dan Alvarez?” tanyanya. Entah kenapa, tiba-tiba pikirannya tertuju pada kedua anak malang itu.

Kelia menoleh. Sudut bibirnya terangkat, hanya sekejap. Sebelum kembali datar seperti semula.

“Ya, tak ada orang tua yang benar-benar membenci anaknya. Hanya saja, selama ini aku tak tahu dan tak mau berperan sebagai ibu yang baik. Cukup kamu, Raina. Ya, cukup kamu yang menjadi ibu idaman mereka, yang memberikan kasih sayang secara berlimpah untuk mereka. Meski kamu sebelumnya belum pernah memiliki anak, tapi aku tahu bahwa hatimu begitu mudah menyayangi mereka.”

Apa yang diucapkan oleh Kelia memang benar adanya. Kedua anak itu sudah berhasil mengambil separuh hatinya. Raina sudah menganggap mereka seperti anak kandung sendiri. Algha dan Alvarez, nama yang telah Raina sematkan pada bagian hati terdalamnya.

“Aku pasti akan memberikan seluruh ingatanku untukmu.” Kelia menepuk pundak Raina beberapa kali. “Kamu pasti merindukan kehidupanmu sebelumnya. Apakah kamu ingin berkunjung dan melihat keadaan kehidupanmu yang sebelumnya?”

Tawaran itu seketika membuat Raina mendongak. Dengan cepat, kepalanya mengangguk. Ia amat tak sabar bertemu dengan dua orang yang amat berarti dalam hidupnya. Dua orang yang namanya tak akan tergantikan dan akan selalu tertanam dalam sanubarinya. Dua orang yang sangat Raina rindukan kehadirannya.

“Bagaimana keadaanku di sana?”

“Kamu akan tahu nanti,” jawab Kelia, “sekarang pegang tanganku, dan tutuplah matamu,” suruhnya kemudian.

Raina mengangguk. Ia memejamkan mata dan mulai memegang tangan Kelia. Tak berselang lama, Raina merasa dirinya seperti terjun ke alam bebas; tanpa tepian.

“Buka matamu, Raina.”

Perlahan Raina membuka matanya. Di depannya, tersaji pemandangan di mana ibunya tengah menangis sembari menggenggam tangan seseorang yang tengah terbaring lemah di atas bad hospital. Raina melangkah mendekat, ditatapnya lamat-lamat wajah sang mama.

Wajah yang terlihat lelah dengan garis hitam di bawah mata. Raina mengulurkan tangannya, hendak menyentuh pundak  Reni. Namun, bukan sentuhan yang ia rasakan, melainkan tangannya yang tak dapat menyentuh apa pun; tembus begitu saja.

Raina memandangi tangannya sejenak. Ia menoleh, menatap Kelia yang berdiri tak jauh darinya. Kini Raina sadar, bahwa hanya jiwanya saja yang berada di sini. Menarik napas pelan, perempuan itu kembali menoleh, kali ini ia membawa pandangannya ke arah seseorang yang terbaring.

Saat itu juga, mata Raina terbelalak. Seseorang itu adalah dirinya, ah tidak, lebih tepatnya adalah tubuh lamanya. Raina terus menatapnya. Wajah itu terlihat sangat pucat. Di hidungnya terdapat alat bantu pernapasan. Sedangkan di tangannya, jarum infus menembus kulitnya. Melihatnya saja membuat Raina ikut merasakan ngilu.

“Kapan kamu bangun, Nak? Mama rindu sama kamu, Sayang,” ucap Reni, yang tanpa sadar membuat jiwa Raina yang sudah berdiri di sampingnya meneteskan air mata. “Kalau kamu bangun, Mama janji tidak akan memaksa dan menanyakan kapan kamu akan menikah. Mama akan menunggu kamu siap dan menemukan pilihan yang tepat untukmu, Nak,” lanjut Reni sembari mencium punggung tangan sang anak yang masih berada di genggamannya.

“Mama sedih melihatmu terbaring tak berdaya seperti ini, Rei. Andai bisa, biarkan Mama saja yang menggantikan semua sakitmu. Mama ....” Reni sudah tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Wanita itu kembali menangis, untuk yang ke sekian kalinya.

“Mama,” lirih Raina. Ia kembali memegang pundak sang mama, meskipun harus kembali tembus. “Reina juga kangen sama Mama. Reina ingin sekali memeluk Mama erat-erat. Raina ingin kembali merasakan semua kasih sayang Mama.”

Hati Raina terasa begitu sakit melihat mamanya menangis sedih. Bukan ini yang Raina inginkan. Ia merasa telah gagal menjadi seorang anak jika melihat mamanya menangis sedih begini. Bagi Raina, Reni itu seperti mataharinya. Ketika awan mendung datang dan menurunkan hujan, maka sinar mentari perlahan akan tertutupi.

Ceklek!

Bunyi pintu terbuka membuat Raina menatap ke arah pintu. Di sana, terlihat Rudi yang berjalan menghampiri Reni. Raina kembali menjatuhkan air matanya. Pria itu, pria yang sangat Raina rindukan. Gurat lelah di wajahnya juga terlihat. Pria itu terlihat berusaha untuk tegar, walau siapa pun tahu bahwa hatinya sedang tak baik-baik saja.

“Ma, Reina pasti baik-baik saja, dan akan segera sadar,” ucap Rudi, berusaha menenangkan. Kendatipun dirinya merasa skeptis dengan ucapannya sendiri.

“Kapan, Pa?” tanya Reni, “Mama rindu dengan dia.”

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang